Kamis, 25 Februari 2010

Yang Terlupakan (5-End)

Chapter 5
40 Hari

Empat puluh hari sudah berlalu. Tepat hari ini aku akan pergi nyekar ke makamnya. Menabur bunga di sana, sambil membawakan diary kesayangannya. Aku pergi mengendarai mobil. Hari masih pagi, namun langit mendung, awan gelap, matahari tertutup awan, mungkin sebentar lagi hujan. Sambil mengendarai mobil sebentar-sebentar aku teringat kenangan bersama Nayshila. Peristiwa-peristiwa lucu, sedih, terlintas begitu saja dalam otakku tanpa dapat kukendalikan.

Aku teringat saat pergi ke mall bersamanya. Kami memasuki sebuah toko sepatu. Aku ingat betul saat itu, kami lewat jalan sempit karena diapit tumpukan boks-boks sepatu. Aku jalan di depan dan Nayshila di belakangku. Tak sengaja kemudian aku menyenggol boks di sampingku, lalu jatuh berserakan. Para pegawai toko melihat ke arah kami, aku malu bukan main, dengan spontan aku berkata kepada Nayshila, “Ya ampun Nay, kalau jalan pelan-pelan dong.” Kami segera keluar dari toko itu, aku tertawa terbahak-bahak. Nayshila pun ngambek padaku.

“Masih pagi sudah gerimis.” Gerutuku sebal. Jalanan basah, namun sepi, membuatku leluasa menyetir, bebas sebentar dari hiruk pikuk kota seperti hari-hari biasanya. Mungkin karena hari ini hari libur, makanya jalanan lenggang.

Aku teringat lagi saat classmeeting perutku sakit bukan main padahal saat itu kami sepakat jadi satu tim, bertanding basket bersama, agar kelas kami jadi juara. Sudah kukatakan pada Nayshila agar ia meninggalkanku sendiri dan tetap bertanding, namun ia malah mencari pengganti kami dan menemaniku di kelas.

Perhatian seperti itulah yang tidak dimiliki teman-teman lain. Hanya Nayshila yang sebegitu perhatiannya, sampai tak mempedulikan dirinya sendiri.

Petir menggelegar, memecah lamunanku tentang dirinya. Sebuah motor menyalip mobilku, melaju dengan cepatnya. Aku kembali fokus menyetir. Sudah setengah perjalanan sebentar lagi aku sampai.

Pernah sewaktu pelajaran kesenian, kami mendapat tugas menggambar bebas. Waktu itu Nayshila bilang malas menggambar, sudah berpikir lama mau gambar apa, namun tak juga mendapat ide. Berbeda denganku, aku langsung menggambar pemandangan, seperti anak TK katanya, ada dua buah gunung dengan matahari di tengahnya, rumah kecil di sebelah kanan dan sawah di kirinya. Nayshila pun kemudian mengumpulkan kertas putih dan meminta nilai. Gita berdalih dengan mengatakan gambar yang ia buat itu transparan yang hanya bisa dilihat oleh dirimu. Tak kusangka Nayshila dapat nilai 7,5, sedangkan aku yang susah-susah menggambar dan mewarnai hanya mendapat 70. Aku kesal dan berkata, “Dasar guru aneh.” Nayshila malah ketawa cekikikan.

Aku tersadar. Hujan mulai turun, deras sekali. Penglihatanku sedikit kabur. Tiba-tiba aku melihat Nayshila di depanku. Nayshila berkata, “Key, temani aku. Aku kesepian disini.”

Aku terkejut. Aku injak rem mendadak, namun di depanku sebuah truk melaju dengan cepatnya… dan, “Arrrggghhh… … …”



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Yang Terlupakan (4)

Chapter 4
Kepergian Nayshila

Saat ini pun aku masih dalam keadaan tidak percaya bahwa aku telah kehilangan orang yang begitu dekat, begitu berarti bagiku. Ia selalu ada saat kubutuhkan, ia satu-satu nya teman yang mau mendengarkanku ataupun teman-teman lain saat kami tak tahu mau cerita pada siapa, saat kami memiliki masalah. Kini Nayshila telah tiada.

Aku baru tahu bahwa hari itu ketika ia datang ke rumahku dan kabur dari rumahnya adalah lagi-lagi karena ayahnya memukuli ibunya. Mereka berdua bertengkar dan sepakat untuk bercerai. Nayshila anak tunggal yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari kedua orangtuanya justru merasakan hal sebaliknya. Hari itu ia kabur dari rumahnya, tak tahan mendengar pertengkaran ayah ibunya. Anehnya kenapa orangtuanya tak sadar atas kepergian anak mereka? Ah mereka pun sama sepertiku pusing dengan masalah mereka sendiri! Pikirku kemudian.

Aku tahu air mata dan rasa penyesalan ini tak akan dapat mengembalikan dirinya, dan menebus seluruh perbuatanku padanya. Aku selalu berpikir seandainya saat itu aku mau mendengarkannya. Seandainya saat itu aku mau menemaninya atau mendengarkannya. Seandainya aku tidak menulikkan hati dan telinga. Seandainya aku menahanya, tidak menyuruhnya pulang, membiarkannya bermalam di rumahku. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Kalau saja…

Aku bertekad kuat sejak hari itu tak akan kubiarkan ada Nayshila-Nayshila lain di sekelilingku. Aku akan berubah. Tak akan lagi jadi Keyla yang egois. Aku akan lebih perhatian, aku akan mendengarkan teman-teman yang membutuhkan telingaku. Aku akan berusaha menebus kesalahanku pada Nayshila, mungkin hanya ini yang dapat kulakukan.

Yang Terlupakan (3)

Chapter 3
Berita Duka

Keesokan harinya Tante Maya-ibu Nayshila meneleponku dan memberi tahu bahwa Nayshila tertabrak mobil.

Aku terbujur kaku, aku duduk terdiam. Tak dapat berkata apa-apa. Berusaha lama mencerna kata-kata Tante Maya. Aku berharap kata-kata itu hanya imajinasiku. Pipiku panas, air mata turun setetes demi setetes aku menangis meraung-raung. Semua karena aku, karena aku…

Yang Terlupakan (2)

Chapter 2
Pertemuan Terakhir


Hari mulai gelap. Hujan sudah berhenti. Aku menyuruh Nayshila pulang ke rumahnya. Aku khawatir kalau-kalau orangtuanya panik mencari Gita yang pergi tanpa pamit.

“Makasih ya Key. Aku pulang dulu.”

“Eh, kamu pernah bilang nggak boleh ada kata terimakasih dalam persahabatan jadi, jangan bilang seperti itu!”

“Iya Key.” Nayshila tersenyum tipis.

Aku mengantarnya sampai ke pagar rumahku, aku peluk Nayshila dan berpesan agar ia lekas pulang. Tak kusangka itu kali terakhir aku memeluk dan melihat senyumnya.

Memang akhir-akhir ini ia sedang menghadapi masalah, di sekolah ataupun di rumahnya. Ia pernah bercerita bahwa ia selalu merasa orang-orang di sekitarnya selalu menyalahkan dirinya, membebaninya dengan berbagai tugas yang seharusnya dilakukan secara bersama-sama, dan ketika ia ingin berbagi masalah dengan teman-teman di sekelilingnya, mereka menulikkan telinga begitu saja, tidak peduli apa yang ia katakan sampai selesai. Hal itu membuatnya memendam seluruh perasaan dan masalah-masalahnya sendiri.

Aku sadar bahwa aku tidak pernah menjadi seorang sahabat bagi dirinya, karena aku terlalu egois, tak pernah ada di sisinya untuk mendengarkan atau hanya menemaninya.

Yang Terlupakan (1)

Chapter 1
Catatan Harian Nayshila

Catatan harian ini ditemukan setelah kepergiannya…
11 Maret 2010

Aku mencari seseorang yang mau mendengarkanku
tapi aku tak menemukannya…
Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Tolong!!!
Tolong aku!!!
Aku tertekan dalam lingkaran yang tak berujung.
Sepi… sunyi… sendiri…
Aku hanya perlu teman
yang mau mendengarkanku, menemaniku, mengertiku.
Tapi di mana mereka semua???
Di mana???
Bunga perhatian itu kini layu, dan hampir mati
Ketika setiap orang, hanya peduli pada diri sendiri
Tanpa peduli akan sekitarnya…



***


Nayshila adalah sahabatku, namun karena aku yang selalu sibuk dengan diriku sendiri dan masalahku sampai-sampai aku tak sadar kalau ia sudah sangat jauh dariku. Aku memang tak pernah mengerti dirinya. Apa yang ia pikirkan dan rasakan aku tak tahu, walau kami sudah lama saling mengenal. Sampai saat ketika aku menyadari bahwa sesungguhnya ia hanya membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Semua terlambat karena ia kini sudah tiada. Hanya kesedihan dan penyesalan yang kurasakan.

***

Hari itu, 12 Maret 2010 masih teringat jelas dalam benakku. Langit kelabu, awan abu-abu menutupi mentari sedari pagi. Mendung, senja yang indah tak nampak, tertutup awan. Gerimis mulai turun disertai petir yang menggelegar, tak lama disusul hujan dengan derasnya.

Tiba-tiba Nayshila datang ke rumahku, tetapi perasaanku sedang tak enak, dan aku hanya sedang memusingkan diriku sendiri dan pacarku tentunya. Ketika ia datang ke rumahku, aku sungguh terkejut, ketika kubuka pintu dan melihatnya, ia langsung memelukku dengan erat…

“Nayshila ada apa?” tanyaku heran.

Aku sadar, bahwa ia sedang punya masalah, ia hanya menangis. Tidak berkata apa-apa.

“Ya ampun Nay, kamu basah kuyup. Cepat masuk, ganti bajumu dengan bajuku! Jangan sampai kamu sakit. Orangtuamu pasti khawatir padamu.” kataku panik.

“Tidak! Mereka tidak peduli padaku.” jawabnya ketus.

Aku menatap Nayshila dengan heran, namun tak kupusingkan. Lekas aku bawa Nayshila masuk ke dalam kamarku, aku meminjaminya bajuku. Setelah Nayshila sedikit baikkan, ia kembali diam tak berkata apa pun.

Nayshila memulai percakapan, “Key, aku…”

“Kenapa Nay? Pokoknya kamu harus beri tahu orangtuamu kalau kamu ada di sini, biar mereka nggak khawatir! Pakai telepon rumahku saja, biar aku yang hubungin.”

Aku meraih telepon yang ada di samping tempat tidurku hendak memutar nomor telepon rumah Nayshila.

Nayshila menggeleng, “Jangan Key! Aku tidak mau mereka tahu aku di sini!” pintanya. “Key, kamu beruntung punya kedua orangtua yang sangat menyayangimu. Aku ingin sepertimu. Sebenarnya Key…”

“Jangan bilang begitu Nay! Tak ada orangtua yang tak sayang pada anaknya. Kamu sudah makan belum Nay? Aku ambilkan makanan untukmu ya.”

“Nggak usah repot-repot Key, aku masih kenyang.” katanya.

“Nggak akan repot. Makan dulu ya, Nay! Mukamu pucat sekali.” Aku berusaha membujuknya.

“Bener, nggak usah!”

“Ya sudah. Kalau begitu, aku buatkan teh manis hangat untukmu ya.”

Aku pergi ke dapur membuatkan teh manis hangat untuknya. Hari ini aku seorang diri di rumah, orangtuaku sedang pergi baru pulang nanti malam. Entah mengapa perasaanku hari ini sangat tak biasa. Ada rasa resah, gelisah yang tak kutahu kenapa.

“Nay, ini minum tehnya mumpung masih hangat.” Aku menyuguhkan teh itu padanya.

“Makasih, Key,” sambil melihatku penuh selidik, “Kamu kenapa, Key? keliatan beda banget hari ini. Cerita aja sama aku, siapa tahu aku bisa bantu.”

Nayshila tahu, tak kusangka ia perhatian padaku. “Masa’? Hmm, rasanya hari ini aku sedikit gelisah. Aku juga nggak tahu kenapa.”

“Ada masalah dengan Bima ya?” tanyanya.

Aku menghela nafas, “Ah, iya. Akhir-akhir ini Bima menjauh, aku nggak tahu apa salahku.”

Nayshila menatapku, “Coba tanya baik-baik, aku kenal kalian berdua sedari lama. Jika ada masalah bicarakan, jangan pendam dalam hati!”

“Iya Nay.” jawabku menurut.

Aku menatap Nayshila tersenyum, masih saja Nayshila perhatian padahal dia sendiri sedang ada masalah, pikirku.

Yang Terlupakan (Sinopsis)

Yang Terlupakan
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Selasa <> 230210, 0930AM)



Yang Terlupakan
Chapter 1 Catatan Harian Nayshila
Chapter 2 Pertemuan Terakhir
Chapter 3 Berita Duka
Chapter 4 Kepergian Nayshila
Chapter 5 40 Hari


Sinopsis
...
“Aku tahu air mata dan rasa penyesalan ini tak akan dapat mengembalikan Nayshila, dan menebus seluruh perbuatanku padanya. Aku selalu berpikir seandainya saat itu aku mau mendengarkannya. Seandainya saat itu aku mau menemaninya atau mendengarkannya. Seandainya aku tidak menulikkan hati dan telinga. Seandainya aku menahanya, tidak menyuruhnya pulang, membiarkannya bermalam di rumahku. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Kalau saja…”
(Keyla Adya Mecca_Keyla)

“Jangan Key! Aku tidak mau mereka tahu aku di sini! Key, kamu beruntung punya kedua orangtua yang sangat menyayangimu. Aku ingin sepertimu. Sebenarnya Key…”
(Nayshila Jelita_Nayshila)


Karakter Tokoh Yang Terlupakan


Keyla Adya Mecca (Keyla)
Keyla Adya Mecca (Keyla) menyesal karena selama ini kurang peduli pada Nayshila Jelita (Nayshila)-sahabatnya. Membiarkan sahabatnya itu menanggung permasalahannya sendiri.


Nayshila Jelita (Nay)
Anak tunggal yang kurang perhatian dari kedua orang tuanya. Nayshila Jelita (Nayshila) selalu merasa tidak nyaman bila berada di rumah karena kedua orang tuanya selalu saja bertengkar.



Oh,Ternyata (2-End)

Chapter 2
Gara-Gara Hujan

Keesokan harinya tepat seperti keingginanku, cerah sekali. Aku sangat tak sabar menunggu nanti malam. Ingin cepat-cepat rasanya. Bunga dan boneka kesukaan Adeline sudah kusiapkan. Tinggal mempersiapkan penampilan dan mental pastinya.

Sore harinya hal yang tak terduga terjadi. Langit mendung, gerimis, lalu hujan turun dengan derasnya, diiringi petir menggelegar. Aku kesal bukan main. Aku marah pada adikku, sampai-sampai ia menangis. Aku buang tiga boneka yang kemarin kubuat. Aku menghubungi Adeline membatalkan rencana kami. Karena terlalu kesal, aku masuk ke dalam kamar dan tertidur dengan lelapnya. Tak peduli mau hujan atau gempa sekali pun.

***

“Ram, kamu tidur pulas sekali kemarin. Mama panggil-panggil kamu nggak dengar ya?” tanya mamaku penuh selidik.

“Emangnya kenapa Ma?” jawabku heran.

“Kemarin sore nggak jauh dari rumah kita ada kebakaran loh, Ram.”

“Ah yang benar?” jawabku terkejut.

“Rumah siapa Ma?” tanyaku cepat.

“Rumah Pak Sunu, untung kemarin hujan deras jadi cepat padam apinya kalau tidak apinya bisa menjalar ke rumah-rumah yang lain. Kamu si tidur aja. Kemarin ramai sekali di luar. Orang-orang bahu-membahu memadamkan api.” cerita mama menggebu-gebu.

“Syukur Ram, nggak ada korban jiwa. Mama takut sekali kemarin.” Lanjut Mama.

“Ya, ampun Ma,” jawabku tak percaya, masih terkejut dengan cerita mamaku.

“Oh, ternyata…” Aku pun mengerti.

“Sesuatu hal itu bisa terjadi karena ada maksud dan tujuannya, karena ada sebab dan akibatnya.”



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Oh,Tenyata (1)

Chapter 1
Ngedate

Hari ini langit begitu cerah, awan seakan-akan menari di atasku. Matahari bersinar begitu terangnya, walau hari begitu panas, aku tetap bersemangat. Semua tampak begitu indah hari ini. Besok aku akan pergi dengan Adeline. Rasa-rasanya aku jadi begitu puitis jika mengingatnya. Sudah kurencanakan dengan matang, besok aku akan menyatakan perasaan yang telah lama kupendam ini. Aku akan membawakan bunga yang kupetik di pinggir jalan untuknya, karena ia tak suka bunga mawar seperti kebanyakan perempuan lainnya.

Lebih baik aku telepon Adeline untuk memastikan rencana kami esok hari.

“Halo, bisa bicara dengan Adel?”

“Rama ya? Kenapa, Ram?”

Dia hafal suaraku, senangnya, pikirku dalam hati, “Cuma mau mengingatkan, besok kita jadi pergi berdua ‘kan?”

“Ya, jadi dong.” suaranya yang merdu terdengar di telingaku.

“Pokoknya tepat jam tujuh malam aku jemput ya Del! Aku akan traktir kamu besok. Aku ‘kan sudah janji sebelumnya.”

“Tapi…”

“Tapi apa Del?”

“Tapi, kalau besok hujan deras aku ngggak bisa pergi Ram.”

“Kenapa?” jawabku galau.

“Masa’ kamu lupa aku ‘kan takut petir.”

“Oh iya ya, aku lupa. Kalau begitu kita berdoa saja semoga besok cerah seperti hari ini!”

“Amin.”

“Sampai besok Del.” kataku bersemangat tak sabar menunggu hari esok. Tiara pun menutup teleponnya.

***

Sepanjang hari aku gelisah memikirkan hari esok.

“Ada nggak ya cara supaya besok nggak turun hujan?” kataku pelan. Memang cuaca akhir-akhir ini sukar diprediksi. Sebentar hujan, sebentar panas. Serba tiba-tiba.

“Bang Rama, kenapa?” tanya adik perempuanku.

“Aku tahu, besok Bang rama mau pacaran sama Kak Adel ‘kan? Pasti Bang Rama takut kalau besok turun hujan.” kata adikku sok tahu.

“Kok, kamu tahu? Nguping ya tadi?” tanyaku ketus padanya.

“Aku punya cara biar besok nggak hujan.” katanya merayuku.

“Gimana De’ caranya?” Penasaran juga aku dibuatnya.

“Bang Rama buat boneka penangkal hujan aja, kayak di Jepang itu loh Bang! Buatnya dari kain putih ada kepalanya dikasi mata sama mulut lagi senyum.” saran adikku.

“Aneh ah. Masa kayak begitu dipercaya?!”

“Ya sudah kalau nggak mau.” Adikku pun pergi meninggalkanku.

Setelah kupikir-pikir, daripada nggak ada kerjaan aku pun akhirnya membuat tiga boneka penangkal hujan, kemudian aku gantung di jendela kamarku. Siapa tahu boneka ini manjur, seperti kata adikku.

Oh,Ternyata (Sinopsis)

Oh, Ternyata…
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Rabu <> 170210, 0357PM)




Oh, Ternyata...
Chapter 1 Ngedate
Chapter 2 Gara-Gara Hujan


Sinopsis
...
“Tapi, kalau besok hujan deras aku ngggak bisa pergi Ram… Masa’ kamu lupa aku ‘kan takut petir.”
(Adeline Chintya_Adel)

“Pokoknya tepat jam tujuh malam aku jemput ya Del! Aku akan traktir kamu besok. Aku ‘kan sudah janji sebelumnya.”
(Rama Aprilio_Rama)
...


Karakter Tokoh Oh, Ternyata...


Rama Aprilio (Rama)
Jatuh cinta pada temannya yang bernama Adeline Chintya (Adel). Karena tidak ingin acara kencannya bersama Adeline Chintya (Adel) gagal, Akhirnya Rama Aprilio (Rama) menuruti ide adik perempuannya untuk membuat tiga boneka jepang penangkal hujan, yang kemudian ia gantung di jendela kamarnya. Berharap 3 boneka itu manjur untuk menangkal hujan.


Adeline Chintya (Adel)
Gebetan Rama Aprilio (Rama). Jika ada hujan deras dan petir, Adeline Chintya (Adel) rela membatalkan acara kencannya bersama Rama Aprilio (Rama), Yang sudah mereka rancang jauh-jauh hari.

Diary Tiara (2-End)

Chapter 2
Diary Biru Tiara

Malam menjatuhkan jubah hitamnya.

Rendy masih mematung di jendela kamarnya, menikmati ribuan bintang yang berkedip manja di langit Bandung. Bayangan Tiara berkelebat di benaknya. Rendy tahu, gadis itu sangat mengagumi bintang, dan Tiara tidak pernah sekalipun membiarkan malam tanpa menyaksikan parodi bintang-bintang.

“Tiap malam, kalo nggak mendung, aku pasti curhat-curhatan sama bintang-bintang,” kata Tiara suatu malam saat mereka bertiga ngobrol di taman depan rumah Dara.

“Oh ya? Curhat apa saja?” tanya Rendy penasaran.

“Mmm… secret!”

“Tapi aku tau lho…” celetuk Dara.

“Huss, jangan ngebongkar hal yang nggak perlu begitu.” Tiara melotot.

Dara tertawa kecil, Tiara pun mengimbanginya dengan tawa lebar. Lantas keduanya mengumbar gelak tawa. Rendy tersenyum mengingatnya. Ada rindu yang menyergapnya begitu saja.

Rendy menutup jendela kamar dan melangkahkan kaki menuju meja belajar. Tangannya meraih diary biru yang menggeletak, dan mendekapnya hangat. “Diary ini untukku, ya ini pemberian terakhirnya.” Batinya. Perlahan, Rendy membuka lembar demi lembar. Isinya kisah biasa, cerita tentang kisah-kisah lucu mereka, dirinya, Dara dan Tiara. Rendy menyemat senyum sebentar.

Rendy terkejut saat mendapati tulisan lain Tiara, “Tiara naksir seseorang? Tapi dia tak pernah memberitahuku!” Batinnya. Penasaran mengiring Rendy menelusuri lembar-lembar berikutnya, tak ada petunjuk hingga meninggalkan lembar terakhir.

Bedroom, 230810
Hai Diary-ku,

Aku lagi kangen banget nich sama “dia” hehehehe… tapi Dara bilang, aku nggak boleh cengeng. Iya juga sich, “dia” kan lagi berjuang keras di Jakarta, demi masa depannya dan juga band-nya. Aku senang akhirnya band-nya tampil juga di festival itu. Apalagi mewakili Bandung. Pasti pendukungya banyak. Aku nggak mau ganggu kosentrasinya. Hmmm…. Diary, lama-lama aku ngerasa makin sayang sama dia. Tapi aku nggak bisa ngungkapin semuanya. Aku hanya berani ngomong semuanya ke bintang, soalnya aku takut kalo Rendy tau aku suka sama dia, dia bakalan benci dan ninggalin aku. Persahabatan buatku lebih sejati…

“No! ini nggak mungkin.” Batin Rendy.

“Tiara suka sama aku?”

Mendadak jantung Rendy berdegup tidak karuan. Tiara bercerita detil di halaman terakhir diary-nya ini setelah dua hari Rendy berangkat ke Jakarta, tepat sehari sebelum kecelakaan itu. Tiba-tiba rasa sedih menyergap hati Rendy, membuat cowok itu memohon kepasrahannya___ “Tuhan aku mohon kembalikan Tiara.” Permohonan konyol itu tak akan pernah terwujud. Tiara tak akan pernah kembali.

Rendy menangis dalam diam, menggenggam diary dengan rasa kehilangan. Tiara sudah pergi… pergi dengan membawa sepenggal rasa yang sejujurnya bisa dirasakannya. Rendy menyesal, tak sempat mengungkapkannya sebelum gadis itu pergi. Bahwa dirinya pun memiliki rasa yang sama dengan apa yang dirasakan Tiara. Dan kini… yang ada hanya penyesalan…



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Diary Tiara (1)

Chapter 1
Tiara Pergi

“Tiara kecelakaan, dan dia ninggalin kita.”

Kata-kata Dara barusan membuat Rendy terhenyak, antara percaya dan tidak. Ia tertegun sebentar, berharap berita itu hanya keisengan Dara dan Tiara yang sering mengerjai dirinya. Tapi… haruskah Rendy berpikir demikian? Sedang air mata Dara jelas menunjukan rasa kehilangan terlampau besar. Perlahan, isakan Dara mulai terdengar. Rendy mengamati siluet wajah Dara. Segera cowok itu menundukan kepalanya dalam diam. Kedua kelopak matanya terasa berat. Ada yang mendesak ingin keluar dari mata indah itu, tapi Rendy berusaha menahannya.

“Waktu Tiara di rumah sakit, dia meminta untuk nggak ngasih tahu kamu. Biar kamu lebih fokus ke festival… dan aku sama sekali nggak bisa nolak permintaan itu. Maafin aku Ren…” Jelas Dara terbata-bata.

Rendy berusaha menenangkan Dara, meskipun suasana hatinya mulai terasa kacau. Kali ini Rendy tak mampu lagi menahan butiran-butiran kristal itu. Kedua pipinya mulai basah.

Sesaat Rendy dan Dara terdiam, membiarkan memori tentang Tiara bermain di benak mereka. Tiara yang bawel, lucu, penuh perhatian dan cantik. Tiara yang selalu memberi solusi saat masalah menerpa pribadi Rendy maupun Dara, Tiara yang… akh, semakin diingat semakin tak sanggup otak mereka mengulangnya. Sosok itu sudah tak ada lagi, selamanya!

Usai dapat mengendalikan diri, Dara pamit. Tapi sebelumnya, gadis berambut panjang itu memberikan sesuatu pada Rendy. Sebuah diary berwarna biru–warna favorit Dara.

“Tiara nitip ini untuk kamu.”

Diary Tiara (Sinopsis)

Diary Tiara
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Senin <> 150210, 0213PM)



Diary Tiara
Chapter 1 Tiara Pergi
Chapter 2 Diary Biru Tiara


Sinopsis
...
“Aku lagi kangen banget nich sama ‘dia’ hehehehe… tapi Dara bilang, aku nggak boleh cengeng. Iya juga sich, ‘dia’ kan lagi berjuang keras di Jakarta, demi masa depannya dan juga band-nya. Aku senang akhirnya band-nya tampil juga di festival itu. Apalagi mewakili Bandung. Pasti pendukungya banyak. Aku nggak mau ganggu kosentrasinya. Hmmm…. Diary, lama-lama aku ngerasa makin sayang sama dia. Tapi aku nggak bisa ngungkapin semuanya. Aku hanya berani ngomong semuanya ke bintang, soalnya aku takut kalo Rendy tau aku suka sama dia, dia bakalan benci dan ninggalin aku. Persahabatan buatku lebih sejati…”
(Tiara Zalianty_Tiara)

“Waktu Tiara di rumah sakit, dia minta aku untuk nggak ngasih tahu kamu. Biar kamu lebih fokus ke festival… dan aku sama sekali nggak bisa nolak permintaan itu. Maafin aku Ren…”
(Andara Dewinta (Dara)

“Tuhan aku mohon kembalikan Tiara. Kini Tiara sudah pergi… pergi dengan membawa sepenggal rasa yang sejujurnya bisa kurasakan...”
(Rendy Pratama_Rendy)
...



Karakter Tokoh Diary Tiara


Tiara Zalianty (Tiara)
Memedam rasa cinta pada sahabatnya sendiri-Rendy Pratama (Rendy). Tiara Zalianty (Tiara) menyimpan rahasia cintanya karena ia tak ingin mengganggu konsentrasi Rendy Pratama (Rendy) untuk ikut festival band. Dia lebih memilih persahabatan daripada kisah cintanya.




Andara Dewinta (Dara)
Andara Dewinta (Dara) selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap masalah pribadi yang selalu diceritakan Rendy Pratama (Rendy) atau Tiara Zalianty (Tiara) Hanya Andara. Dewinta (Dara) dan Diary biru Tiara Zalianty (Tiara) yang menjadi saksi cinta dalam hati Tiara Zalianty (Tiara).



Rendy Pratama (Rendy)
Rendy Pratama (Rendy) menyesal, tak sempat mengungkapkan isi hatinya sebelum Tiara Zalianty (Tiara) pergi. Bahwa dirinya pun memiliki rasa yang sama dengan apa yang dirasakan Tiara Zalianty (Tiara). Dan kini… yang ada hanya penyesalan…

Suatu Senja... Di Bulan Mei (2-End)

Chapter 2
Menghilag Di Suatu Senja, Di Bulan Mei


Itulah pertemuan pertama sekaligus terakhirku dengan Meichan. Hari-hari setelah senja itu, meski telah kudatangi rumah kontrakannya, dan supermarket tempatnya bekerja, tak juga kutemukan dia hingga kini. Dari informasi tak lengkap yang kudengar dari tetangga kontrakannya dan mereka yang bekerja di supermarket, terakhir kali mereka melihat Meichan adalah di hari pertemuan dan perpisahan kami itu. Setelahnya, mereka tak lagi pernah melihatnya. Tak ada hal lain yang mereka tahu. Siapa pihak keluarga atau temannya yang bisa dihubungi, dan di mana keberadaan Meichan kini, apakah dia masih hidup atau… tidak…? Sungguh, tak ada yang tahu atau dari kesan yang kutangkap, sepertinya mereka memang tak ingin tahu.

“Di halte bis ini, aku masih menunggumu Meichan, meski setiap kali menantimu di sini aku selalu merasakan kesedihan. Akankah penantianku ini berakhir? Aku ragu, sebab kau menghilang di suatu senja, di bulan Mei tahun itu.”




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Suatu Senja... Di Bulan Mei (1)

Chapter 1
Gadis Itu Bernama Meichan Bumi Langit

Waktu itu hujan rintik. Kami berdua sama-sama berteduh di halte ini meski tak sedang menunggu bis kota. Dia sedikit basah, sedangkan aku basah kuyup. Ia berikan sehelai sapu tangan berenda bunga dari dalam tas kerjanya kepadaku, sebelum ia sendiri mengelap basah yang ada padanya.

Aku tak segera mengambil sapu tangannya. Aku mempersilakan ia menggunakannya terlebih dulu. Namun, gadis itu tetap tak mau. Ia justru mendesakku, “Kamulah yang lebih pantas menggunakannya pertama kali. Kamu basah kuyup, aku hanya basah sedikit.”

Aku pun mengambil sapu tangan itu, mengelap wajahku, kemudian kedua lenganku. Usai itu, aku mengangsurkan sapu tangan itu kembali kepadanya. Ia mengambilnya dan tak risih sedikit pun menggunakan bekasku itu untuk mengelap wajah dan pundaknya, dua bagian yang basah terkena tetes hujan rintik.

“Mau pulang?” Aku bertanya.

“Oh, nggak. Aku masuk malam.” Dia menunjuk sebuah nama supermarket 24 jam yang terjahit di atas saku baju sebelah kirinya.

“Kamu?”

“Aku mau pulang. Kontrakanku tak begitu jauh dari sini. Biasanya, aku jalan kaki sekitar lima menit-an.”

“Kerja di mana?”

“Belum dapat. Aku baru wisuda dua minggu yang lalu…”

“Oh?”

Terasa aneh jika kami ingin melanjutkan perbincangan demi membunuh waktu, tapi tak saling mengetahui nama. Untuk itu, kuulurkan tanganku kepadanya, memperkenalkan namaku… “Laut.”

Dia tak segera mengambil tanganku. Mata sipitnya menyorotkan kebingungan dan dahinya berlipat, menandakan ia butuh penjelasan.

“Ya, namaku Laut. Lengkapnya Laut Liu Chow,” Setelah mendapat penegasan itu, barulah ia menyambut salam tanganku lantas menyebutkan sebuah nama…

“Meichan Bumi Langit. Panggil saja Mei…”

Sebuah perkenalan yang hangat di tengah udara dingin yang terus berembus menerbangkan jarum-jarum gerimis yang jatuh miring, pecah, kemudian bergabung dalam genangan dan aliran air.

“Nama kamu… ?”

“Namaku aneh ‘kan?”

“Maksudku bukan itu. Aku tak menganggapnya aneh. Aku justru merasa itu adalah nama yang unik. Sorry, Kamu Chinese…?”

“Oh, nggak. Aku Melayu. Memang, namaku seperti nama Chinese. Sebenarnya, nama itu ada sejarahnya. Aku lahir dalam sekoci di tengah lautan dan persalinan ibuku dibantu oleh seorang dokter yang bernama Liu Chow…”

“Ha? Di dalam sekoci? Di tengah laut?”

“Ya…”

“Kok’ bisa?”

“Kamu tahu tragedi Boegenville?”

“Ya, aku tahu. Kapal yang terbakar di tengah laut itu ‘kan?”

“Ya.”

Aku kemudian menceritakan padanya bahwa ayah dan ibu yang tengah mengandung sembilan bulan adalah penumpang di kapal yang na’as itu. Meski demikian, ayah dan ibu selamat dan sempat masuk ke dalam sekoci sebelum diturunkan dari kapal yang terus dilalap api. Malam itu juga, aku dilahirkan dalam sekoci itu. Ibu selamat, ayah juga, dan aku pun selamat dan akhirnya bisa hidup di dunia ini berkat jasa seorang dokter yang kebetulan juga ada di dalam sekoci itu. Namanya dokter Liu Chow.

“Wah… sungguh cerita yang luar biasa.”

“Kamu percaya?”

“Iya. Kenapa nggak?”

“Banyak yang tidak percaya jika aku ceritakan ini. Kamu barulah orang kedua yang memercayainya dari ratusan orang yang aku ceritakan.”

Mengenai Dokter Liu Chow, aku ceritakan juga bahwa hubungan keluarga kami dengannya seperti hubungan persaudaraan saja setelah kejadian di tengah lautan itu. Beberapa kali, kami sekeluarga berkunjung ke rumahnya di Semarang. Ia juga pernah datang ke rumah kami di Balikpapan.

“Namu kamu sendiri seperti Chinese, atau justru kamu sendiri yang keturunan Tionghoa?”

“Nggak, mataku saja yang sipit. Aku juga Melayu seperti kamu. Mungkin ketika Ibuku mengandungku, ia sangat menggemari Drama Taiwan…”

“Ha…ha…”

Kini, hujan rintik tak mereda. Justru hujan lebat yang kemudian menghajar sudut Kota Jakarta ini. Kami terkurung dan tak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Sebenarnya, bisa saja aku berlari, terus melintasi guyuran hujan dan dalam waktu lima menit sudah sampai di rumah kontrakan. Toh, aku juga sudah biasa melakukannya dan tak pernah terserang sakit apapun yang biasanya sering menyerang orang yang kehujanan. Meski demikian, aku tak melakukannya sebab ada Meichan.

Meichan kemudian menceritakan kepadaku bahwa tadinya ia diantar seorang teman dengan menggunakan sepeda motor. Namun kemudian, mendadak temannya itu harus ke rumah sakit setelah menerima kabar dari seseorang lewat Hp-nya bahwa Ayahnya sakit keras. Ia kemudian tak mengantarkan Meichan sampai ke tempat kerja. Ia berbelok menuju ke rumah sakit dan Meichan berinisiatif untuk menyarankan padanya, menurunkan Meichan di halte bis kota ini. Dari sini, Meichan berencana naik ojek untuk mencapai tempat kerjanya. Namun, hujan buru-buru ‘bertamu’ sebelum ia bisa menemukan seorang tukang ojek yang biasanya banyak mangkal di depan sini.

Dalam perbincangan kami seterusnya, aku menyinggung masalah ketidakbiasaan suasana yang terpampang di depan kami. Apakah di semua penjuru Jakarta juga seperti ini adanya menjelang malam ini? Tak ada kemacetan. Jalanan aspal yang membentang di hadapan kami lengang. Biasanya, meski hujan, bukankah Jakarta selalu ramai?

“Ada apa ya?” Kami sama-sama bertanya, kami sama-sama tak bisa memberikan jawaban. Kami pun sepakat untuk membuang jauh kesibukan pikiran tentang apa yang sesungguhnya melanda Ibukota ini. Kami kembali asyik merangkai cerita-cerita dan sama-sama berbagi keluh kesah sebagai orang rantau. Ternyata, Meichan dari Palembang. Kubilang kepadanya aku dari Kalimantan. Kami sama-sama, orang rantau yang mencari penghidupan di Ibukota.

Halte ini, masih kami berdualah yang menghuninya. Maksud kami untuk melanjutkan perjalanan masing-masing belum kesampaian, baik karena hujan tak mengizinkan atau memang kami sengaja untuk terus mengobrol karena kami menemukan kecocokan.

Aku kemudian iseng menanyakan mengenai asal usul keluarganya. Dia tak canggung mengatakan bahwa nenek buyutnya adalah perantau dari Aceh yang datang ke Palembang sebagai buruh kapal. Dia pun seperti mengerti kebingungan yang ada di kepalaku, yang belum mengerti mengapa dia bekerja sebagai Cleaning Service di supermarket? Bukankah ‘cewek’ jarang yang mau bekerja sebagai Cleaning Service? Dia lantas tertawa dan menegaskan bahwa apapun pekerjaannya jika itu halal, ia akan mengerjakannya.

Aku kemudian paham dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan alamat tempat tinggalnya dan bermaksud suatu kesempatan akan menyempatkan diri untuk bertamu.

“Aku belum punya banyak teman di Jakarta,” kukatakan kepadanya. Dia dengan terbuka memberitahu alamatnya dan bersedia menerimaku datang kapan pun, asal jangan pada saat dia tengah bekerja.

“Kalau kamu kurang yakin aku ada di rumah atau tidak, teleponlah dulu ke nomor itu. Kalau aku tak ada di sana berarti aku di rumah…” Dia mencatatkan pada sesobek kertas notes, nomor telepon supermaket tempatnya bekerja dan alamat rumah kontrakannya.

“Ya, tentu. Terima kasih. Aku pasti datang nanti.”

Hujan lebat menjadi hujan rintik seperti semula untuk kemudian lenyap seluruhnya. Langit menjelang malam itu cerah dengan tiba-tiba. Mungkinkah pengaruh dari lampu-lampu jalan yang mulai menyala?

Dia meminta diri, pamit untuk berjalan kaki saja menuju supermarket dan aku pun berdiri melepas kepergiannya. Andaikan saja kami searah, akan lebih banyak lagi yang bisa kami bicarakan meski untuk mencapai supermarket tempatnya bekerja hanya akan butuh waktu lima belas menit lamanya.

Suatu Senja... Di Bulan Mei (Sinopsis)

Suatu Senja, Di Bulan Mei
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Sabtu <> 130210, 1121AM)


Di Suatu Senja, Di Bulan Mei
Chapter 1 Gadis Itu Bernama Meichan Bumi Langit
Chapter 2 Menghilang Di Suatu Senja, Di Bulan Mei


Sinopsis
...
“Oh, nggak. Aku Melayu. Memang, namaku seperti nama Chinese. Sebenarnya, nama itu ada sejarahnya. Aku lahir dalam sekoci di tengah lautan dan persalinan ibuku dibantu oleh seorang dokter yang bernama Liu Chow…”
(Laut Liu Chow_Laut)

“Nggak, mataku saja yang sipit. Aku juga Melayu seperti kamu. Mungkin ketika Ibuku mengandungku, ia sangat menggemari Drama Taiwan…”
(Meichan Bumi Langit_Mei)
...


Karakter Tokoh Di Suatu Senja, Di Bulan Mei

Meichan Bumi Langit (Mei)
Meichan Bumi Langit (Mei) adalah anak seorang perantau dari Aceh yang datang ke Palembang sebagai buruh kapal. Ia sendiri bekerja di Jakarta sebagai Cleaning Service di supermarket 24 jam.

Laut Liu Chow (Laut)
Ayah dan ibunya yang tengah mengandung sembilan bulan adalah penumpang di kapal Boegenville yang terbakar. Meski demikian, ayah dan ibunya selamat dan sempat masuk ke dalam sekoci sebelum diturunkan dari kapal yang terus dilalap api. Malam itu juga, ia dilahirkan dalam sekoci itu. Ibunya selamat, ayahnya juga, dan ia pun selamat dan akhirnya bisa hidup di dunia ini berkat jasa seorang dokter yang kebetulan juga ada di dalam sekoci itu. Namanya dokter Liu Chow, karena itulah ia diberi nama Laut Liu Chow (Laut).

Langit Menggelap Di 'Lavender Park' (2-End)

Chapter 2
Akhir Sebuah Pertemuan

Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan ‘Lavender Park’ lagi. Tetapi Zidan masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.

Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Zidan lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di ‘Lavender Park’. Namun ia harus menelan kecewa karena Zidan tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.

Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Zidan!

Dear Reyna,
Kekasih Senja-ku...

Tak merah senja di musim hujan ini punggung bukit dijala mendung yang sepi sedang matahari tanpa jawaban lagi masihkah tergantung di ilalang atau telah tiba di lain belahan bumi tapi yang pasti semakin jauhlah buat kita tunaikan janji bahwa hujan tak akan pernah jadi jeruji untuk bertemu dan bernyanyi di sini, di bangkai petang yang tertambat di tepi langit tak merah senja di musim hujan ini, bahkan kelam telah datang walau belum waktunya sampai sia-sia romantisme matahari terbenam untuk dinanti lihat, suit-suit angin mulai menyapu suasana kita dengan dingin dan hampa lalu menggelar gulungan gerimis di hamparan lembab dan menulis cerita bahwa semua telah usai tak akan datang lagi seperti waktu lalu selamat sore...... ijinkan senyumku menyapamu menyambut senja........

Resah semakin membelit Harapan menggantung pada entah Kulihat kau… Dan, langit seakan dekat Lalu purnama berbisik, Tentang retaknya langit ditambal mendung___ Kelam seperti cinta yang kuraba, kurasa. Padat hati ini, semakin sesak oleh rintihan-rintihan kecil tentangmu, bias, sangat bias, jauh kutatap jauh, Dihilir perasaan hening, dingin, mencekam nadi-nadi, Sampai air mata kering, mengendap, Menjadi lumut-lumut penantian. Entah ber__akhir kapan?...

Aku sendiri disini gelap tanpa cahaya mentari dan rembulan tiada celah untuk seberkas sinar akupun tak dapat berdiri hanya berbaring menanti panggilan saat hancurnya bumi satu yang bisa kulakukan adalah datang dalam mimpimu dan memandangmu karena roh ini selalu merindukan tiupan hangat nafasmu untuk yang terakhir kunikmati tiap lekuk wajahmu dan kuucap selamat tidur kekasih jiwaku......

…hujan begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.

From Zidan,
Lelaki Senja-mu...

“Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif,” kata laki-laki itu. “Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…”

Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Zidan untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.

Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa rintik hujan sayup terdengar dari sela-sela ranting pohon. Sebaris kalimat di surat terakhir Zidan meluncur dalam gumaman. “…hujan begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.”




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Langit Menggelap Di 'Lavender Park' (1)

Chapter 1

Awal Sebuah Pertemuan




Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.



Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.



Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. “Apa kabar?” katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.



“Kamu di sini?” Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.



Begitu juga Zidan, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.



Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Zidan di sebelahnya.



“Kaget?” tanya Zidan, duduk di sebelah Reyna.



Reyna tertawa kecil. “Gimana?” tanya Reyna tak jelas arahnya. “Lama sekali kita tidak bertemu.”



“Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?”



“Tiga puluh tahun!” jawab Reyna pasti.



“Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu.”



“Terima kasih,” Reyna tersenyum geli. Masih ‘semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.



“Kapan datang?” tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.



“Belum seminggu,” jawab Zidan.



“Mencariku?” Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.



Zidan tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, “Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu,” tawanya menghilang.



Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Zidan tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.



Reyna dan Zidan. Zidan pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang seorang istri dan ibu seorang anak, dan Zidan yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.



Reyna hampir saja meninggalkan Bram-suaminya ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Bram. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Zidan.



Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Zidan tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Zidan yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Zidan berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.



“Berapa lama kamu akan tinggal?” tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.



“Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku,” jawab Zidan, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. “Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini.”



“Itu sebabnya kamu kemari?”



“Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali,” lanjut Zidan tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. “Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari.”



“Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu.”



Zidan menggeleng.



“Atau membangun hubungan baru.”



Zidan menggeleng lagi, “Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…”



“Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!” potong Reyna. “Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih.”



Kebekuan kembali merajai perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.



Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.



Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Zidan. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Zidan pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Zidan tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Zidan tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Bram mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.



Terdengar Zidan menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.

Langit Menggelap Di 'Lavender Park' (Sinopsis)

Langit Menggelap di ‘Lavender Park’
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Sabtu <> 130210, 1053AM)



Langit Menggelap di ‘Lavender Park’
Chapter 1 Awal Sebuah Pertemuan
Chapter 2 Akhir Sebuah Pertemuan


Sinopsis
...
“Itu sebabnya kamu kemari? Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu, atau membangun hubungan baru. Atau kamu hanya butuh teman … Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan! Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih.”
(Reyna Anandyta_Reyna)

“Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali, Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari. …hujan begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas...”
(Zidan Maheswara_Zidan)



Karakter Tokoh Langit Menggelap di ‘Lavender Park’


Reyna Anandyta (Reyna)
Reyna Anandyta (Reyna) hampir saja meninggalkan Bram-suaminya ketika itu. Kala itu Reyna Anandyta (Reyna) adalah seorang Ibu muda yang merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Bram. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Zidan Maheswara (Zidan).


Zidan Maheswara (Zidan)
Zidan Maheswara (Zidan) hanya butuh teman bermesra dan bercinta untuk sesekali singgah. Zidan Maheswara (Zidan) tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna Anandyta (Reyna). Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Ia hanya membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.

Senin, 22 Februari 2010

Sumpah I Love You (2-End)

Chapter 2
My Lovely, Sheila

“Loh… Rizal?” Sebuah suara cewek memanggilku dengan lembut. Aku menoleh dan… itu Sheila!! Aku kaget! Aku buru-buru hapus air mata dipipiku dan bertanya heran.

“Loh… kam… kamu La? Belom berangkat? Tadi aku lihat… pesawatnya udah…” Sheila tersenyum malu-malu.

Sheila menatapku lalu berkata… “Nggak jadi berangkat Zal!”

“Loh kenapa?” Tanyaku.

Sheila terdiam. Agak lama Sheila baru menjawab… “Paspornya ketinggalan dirumah kamu…”

GUBRAK!! Paspor?? Iya ya!! Waktu kemarin berantem, kita berdua emang lempar-lemparan, mulai dari bantal guling, panci, piring, kulkas, radio sama… paspor!!

“Oh gitu ya!! Aduh, jadi gimana dong… kalo gitu aku minta maaf deh…”

Sheila tertawa. “Nggak usah minta maaf Zal, aku juga udah berpikir kayaknya ngapain sekolah jauh-jauh, disini juga bisa dan lagi kalo disini… kan bisa deketan sama kamu…” Aiiih romantis!!

“Loh La, bukannya kemaren teh kita udah putus??”

“Kamu masih mau putus??”

“Ya kalo aku mah nggak mau putus atuh…”

“Ya udah, kalau gitu aku juga sama nggak mau putus…”

“Jadi, kita jadian lagi?”

Sheila mengangguk. Aku tersenyum dan mengecup pipi kanannya lembut... Cup! hehehe... gini nih yang namanya jodoh, mau berantem kayak gimana juga, kalo udah jodoh mah nggak akan kemana... “Sheila, Sumpah I Love You.”



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Sumpah I Love You (1)

Chapter 1
Salah Masuk


Aku menyesal. Akulah yang salah. Semalam, aku dan Sheila, kekasihku bertengkar hebat. Kami tidak mencapai kata sepakat tentang kepergiannya ke London untuk melanjutkan sekolah. Aku tahu. Aku yang egois. Tapi, jika dia pergi lalu aku bagaimana? Sekarang, aku benar-benar menyesal. Setelah semuanya terlanjur terjadi, setelah kata perpisahan itu terlontar dari mulutku, aku sadar, kalau aku sangat mencintainya.

“La, maafin aku, ya… Bagaimana pun caranya, aku harus segera pergi ke bandara, aku harus minta maaf, aku harus katakan kepadanya, jika aku sangat mencintainya…”

Aku lihat jam ditanganku, “Buset!! Sudah jam 12! Berarti penerbangan menuju London tinggal 3 jam lagi!” Aku harus buru-buru. Aku pakai motor balapku kencang melewati keramaian kota dan kemacetan kota bandung. Sempet ditilang polisi, nyaris keserempet bus, nabrak tiang listrik dan dilempar nenek-nenek gara-gara ngelindes jempol kakinya…. Tapi aku tak peduli, aku pacu terus motorku, sampe tangan pada pegel-pegel. Aku tidak boleh gagal, Sheila, kekasihku tercinta harus tahu, kalo aku sangat mencintainya…. Sesampainya di bandara, aku kebingungan setengah mati, karena disana kosong! Nggak ada orang!! Alamak! Pada kemana semuanya…? Aku pun bertanya pada seseorang yang berjaga disana. Seorang lelaki tua.

“Maaf pak, numpang tanya?”

“Oh boleh…”

“Kenapa kosong ya?”

“Ya… biasanya juga gini Nak…”

“Bukannya bandara biasanya penuh? banyak orang?” Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya.

“Bandara?” tanyanya.

“Iya bandara, ini bandara kan?”

“Nak… ini mah kuburan, kalo bandara mah sebelah sana, yang ujung!!”

GUBRAK!!! Pantesan sepi, salah masuk!!

Aku tinggalkan motorku dan segera berlari kencang menuju bandara. Napas udah senin kemis kayak penderita TBC. Ah, itu dia. Disana penuh!! Banyak orang!! Ini pasti bandara!! Dan aku lihat papan keberangkatan besar, melihat data pesawat yang menuju london dan… Aku langsung lemas… Pesawat itu sudah berangkat. 10 menit yang lalu. Seandainya aku tidak kesasar dulu dikuburan tadi, mungkin nggak akan jadi begini… Mungkin aku masih bisa menahannya pergi, masih bisa mengatakan rasa cintaku padanya. Penyesalan memang selalu datang di belakang. Aku pun terduduk dilantai bandara, meratapi nasibku yang malang, dan mulai menangis. Tidak peduli beberapa orang melihatku dengan tatapan keheranan. Mungkin mereka menyangka aku anak hilang. Sebodo amat. Aku tidak perduli lagi. Sheila telah pergi dan cintaku hilang untuk selamanya, sampai…

Sumpah I Love You (Sinopsis)

Sumpah I Love You
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Jum’at_120210`0423PM)



Sumpah I Love you
Chapter 1 Salah Masuk
Chapter 2 My Lovely, Sheila


Sinopsis
...
“Nggak jadi berangkat, Zal. Paspornya ketinggalan dirumah kamu…”
(Sheila Natasya_Sheila)

“Oh gitu ya!! Aduh, jadi gimana dong… kalo gitu aku minta maaf deh. Sheila, sumpah i love you...”
(Rizal Prakarsa_Rizal)



Karakter Tokoh Sumpah I Love You


Sheila Natasya (Sheila)
Sheila Natasya (Sheila) diusir oleh petugas bandara karena tidak membawa paspor, Ia baru sadar ternyata paspornya tertinggal di rumah Rizal Prakarsa (Rizal)-kekasihnya setelah pertengkaran hebat semalam, karena memutuskan untuk meneruskan sekolah ke London.


Rizal Prakarsa (Rizal)
Rizal Prakarsa (Rizal) menyesal. Ia mengaku salah. Semalam, ia dan Sheila, kekasihnya bertengkar hebat. Mereka tidak mencapai kata sepakat tentang kepergian Sheila Natasya (Sheila) ke London untuk melanjutkan sekolah. Iau tahu. Ia yang egois. Sekarang, Rizal Prakarsa (Rizal) benar-benar menyesal. Setelah semuanya terlanjur terjadi, setelah kata perpisahan itu terlontar dari mulutnya, ia sadar, kalau ia sangat mencintai Sheila Natasya (Sheila).



Where My Honey??? (2-End)

Chapter 2
Ternyata…

Aku terus mendapat informasi ‘menyakitkan’ dari Tari. Ternyata Tari juga melihat Farel bersama seorang ‘tante-tante’. Oh my God, jangan bilang Farelku itu.

“… aarrggghhh… kenapa bisa begini sihh??” Akhirnya setelah seminggu, aku mengurung diriku… aku memutuskan untuk menemui Farel dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya…

“Tar, lo dimana sekarang?”

“Gue di MMB (Murah Meriah Banget) resto, jl. Batu bata no. 301!”

“Farelnya ada nggak di sana?”

“Ada koq’, cepetan lo datang sebelum Farel pergi!”

Aku pun cepat-cepat menancap gas mobilku, agar cepat sampai di MMB resto. Sesampainya di sana, aku segera berlari memasuki resto itu. Aku melihat Farel tengah duduk berduaan dengan seorang cewek yang menurutku nggak terlalu cantik koq’, lebih cantikan aku (narsiz mode : on) hehe… Cuma gendutan aku dikit. Aku langsung menghampiri Farel dan segera tangan kananku menempel keras ke pipi kiri Farel.

“Gini ya kamu ternyata… tukang selingkuh!”

“Tunggu, Vi! Dengerin penjelasan aku dulu.”

“Apalagi yang perlu lo jelasin semua udah jelas, ternyata lo itu nggak jauh dari cowok penipu… pembohong… culas… jahat… kejam… jorok !!!”

“Wadoeh gue udah kayak lalat kotor di iklan pembasmi nyamuk nih!” Tanggap Farel dengan nada berguraunya, berharap dapat mencairkan suasana. Tetapi kali ini aku teguh pada pendirian, aku nggak akan pernah mencair walau diberi humor selucu apapun.

“Sorry, humor murahan kayak gitu nggak mempan ama gue lagi Rel!” Mendengar jawabanku itu, wajah Farel menjadi kecewa berat. Aku tahu Farel, dia paling sedih kalo ada orang yang tidak suka dengan humornya. “Maaf Rel, tapi aku bener-bener sebel ama kamu.” Kulanjutkan lagi perkataanku diiringi dengan tangisanku.

“Gue itu cinta ama lo, tapi lo tega banget ngehianatin gue… !” Di sela-sela adu mulutku dengan Farel, muncullah seorang tante-tante yang datang langsung menarik tangan Farel.

“Ada apa ini?”

“Tante tanya aja ama cowok muda tante ini!” Jawabku ketus.

“Bicara apa kamu ini?” Lanjutnya lagi, “Dia itu anak saya!”

“Ooohh my God… kayaknya ada masalah baru lagi nih! Aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban tante-tante yang ternyata adalah Mama Farel. Aku pun menatap Farel perlahan, dengan maksud Farel mau memaafkanku.

“Tapi cewek ini siapa?” Tandasku lagi, berharap caraku berhasil untuk mengalihkan pembicaraan.

“Dia itu adek gue!”

Jeddaaarrr…. bagaikan kilat di siang bolong lagi yang mau menimpaku terus. Aku langsung secepat kilat mengubah ekspresiku yang tadinya penuh amarah menjadi lebih kalem, berharap mendapat simpati dari Farel dan keluarganya.

“Tadinya gue nggak ngehubungin lo, karena gue mau buat surprise buat lo!” Lanjutnya lagi, “Gue mau ngasih lo… cincin! Gue mau ngelamar lo, jadi tunangan gue.”

Aku pun langsung tidak bisa berkata apa-apa lagi, tidak terasa air mataku jatuh. Tetapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan. Aku tidak menyangka selama 3 tahun aku menjadi pacarnya, tidak pernah sekalipun ia membahas mengenai “pertunangan”. Farel pun mengambil sebuah kotak cincin berwarna biru tua dihiasi pita merah dari dalam kantong celananya dan membukanya, lalu bersiap untuk memasukkan cincin itu ke dalam jari manisku.

“Silvia, mau nggak lo jadi tunangan gue?” Karena aku tidak tahu harus berkata apalagi, aku pun hanya bisa menganggukkan kepalaku sambil tidak henti-hentinya aku berpikir... “apakah ini hanya mimpi?”, karena biasanya Farel tidak pernah serius dalam mengatakan sesuatu. Farel kemudian memasukkan cincin indah itu ke dalam jari manisku. Lalu spontan aku memeluknya dan rasanya kali ini aku tidak mau melepasnya lagi. Tidak akan pernah!!!




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Where My Honey??? (1)

Chapter 1
Dimana Farel??


Aku sebel banget sama pacarku Farel. Sudah lebih dari 2 minggu belakangan ini dia tidak pernah lagi menghubungiku, baik lewat telepon maupun sms. Apa mungkin Farel sudah nggak cinta lagi ama aku? Jangan-jangan Farel udah selingkuh? Dia udah punya pacar lagi? Atau… Ahhh… sudahlah… ! Mungkin dia lagi sibuk banget. Arggghhh… Where my honey???


***



Keesokan harinya, ‘Ku akan selalu mencintaimu... Walau kita tak mungkin bersama...’ nada dering KD-ku berbunyi pertanda ada telepon yang masuk. Segera aku berlari, berharap itu telepon dari Farel…

“Ya… telepon dari Tari.” ucapku kecewa Lalu kutekan 'yes’ di HP-ku untuk menerima telepon Tari itu…

“Hallo… kenapa, Tar?”

“Gini nih, Vi! Kemaren waktu gue ke restoran gitu … gue nggak sengaja ngeliat Farel lagi jalan ama cewek gitu deh!” Lanjut Tari lagi, “Emang kalian udah putus ya, Vi?”

Jedddaaaarrr… bagaikan kilatan petir di siang bolong, hatiku serasa begitu sakit… pikiranku melayang entah ke mana… Farelku yang kucintai ternyata selingkuh… Oh my God, tega banget si Farel…

“Hallo, Vi?? Jawab dong!” Aku langsung segera mematikan handphoneku… Dan segera berlari menuju ranjangku, aku menutup wajahku dengan bantal, lalu menangis tersedu-sedu…

Where My Honey??? (Sinopsis)

Where My Honey ??
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda,Jum’at_120210`0356PM)




Where My Honey ??
Chapter 1 Dimana Farel ??
Chapter 2 Ternyata…


Sinopsis
...
“Mereka itu nyokap ama adek gue!”
(Farel Narendra_Farel)

Jeddaaarrr…. bagaikan kilat di siang bolong yang mau menimpa Silvia Maharani (Via) setelah mendengar jawaban Farel Narendra (Farel). Ia langsung secepat kilat mengubah ekspresi wajahnya yang tadinya penuh amarah menjadi lebih kalem, berharap mendapat simpati dari Farel Narendra (Farel) dan keluarganya.



Karakter Tokoh Where My Honey ??


Silvia Maharani (Via)
Silvia Maharani (Via) merasa kesal pada Farel Narendra (Farel)-kekasihnya. Yang sudah lebih dari 2 minggu belakangan ini dia tidak pernah lagi menghubunginya, baik lewat telepon maupun sms.


Mentari Aristya (Tari)
Sahabat karib Silvia Maharani (Via), yang pernah melihat Farel Narendra (Farel)-kekasih Silvia Maharani (Via) bersama Tante-tante dan seorang gadis belia di sebuah Resto.



Farel Narendra (Farel)
Karena ingin membuat surprise untuk Silvia Maharani (Via)-kekasihnya yang sudah dipacari Farel Narendra (Farel) selama 3 tahun, ia tak pernah sms atau telpon untuk memberi kabar. Yang akhirnya membuat Silvia Maharani (Via) salah paham.




Aku Rela, Jika Kau Bahagia (7-END)

Chapter 7
Pemakaman Satria


Satu persatu peziarah mulai meninggalkan gundukan tanah merah di depanku. Aku masih tertegun tidak percaya. Di sampingku tante Olivia dan anggota keluarganya yang lain juga menatap hampa bersama air mata yang menganak sungai.

“Ayo Tya, kita pulang…” ajak tante Olivia. Dan aku mengangguk, mengikuti.

“Kenapa Tya tidak melihat…” Aku mencari kata-kata untuk memanggil istri Satria, maklum sampai sekarang aku tidak tahu namanya. Tante Olivia tersenyum.

“Tiara mendahului Satria 3 hari yang lalu…” Aku kembali terhenyak.

“3 hari yang lalu tante?”

“Ya, mereka berdua menderita kanker hati. Ketika Satria dalam keadaan kritis, Tiara meninggal.” Tante Olivia tersenyum lagi.

“Sebelum Satria benar-benar koma, ia masih saja memanggil namamu…”

“Dia titip maaf buat kamu, begitu pula Tiara. Mereka memutuskan menikah setelah keduanya sama-sama tahu mereka mengidap kanker stadium 4. Sebelum meninggal mereka ingin melaksanakan sunnah rasul untuk menikah. Satria tidak ingin membuatmu terluka, menikahimu dan meninggalkanmu…”

“Dia ingin kamu bahagia Tya…”

Aku tidak lagi bisa berkata-kata. Air mata yang hampir terhenti, tiba-tiba menyeruak semakin hebat.

“Maafkanlah mereka, ikhlaskan mereka pergi dengan bahagia…”

Dengan mantap hatiku berkata, “Aku tidak pernah membencimu Satria. Aku ingin kamu selalu bahagia. Aku rela, jika kau bahagia…”



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (6)

Chapter 6
Kepergian Satria


“Tari, line 3 buat lo…?”

“Siapa sih yang berani gangguin gue di jam sibuk begini.” Protesku pada Reza, rekan kerjaku.

“Siapa…?!” sapaku ketus.

“Tari, ini Silvia…”

“Ada apa?!”

“Ikut gue,” aku mengeryit.

“Ini masih jam kantor!”

“Iya, gue tahu… gue tunggu di parkiran…”

“Iya, tapi kemana Sil?” belum sempat aku mendengar jawabannya. Aku sudah mendengar tanda putus. “Ada apa sih nih orang seenaknya aja ganggu orang kerja.” Rutukku sendiri. Namun aku bergegas ke ruangan Boss untuk minta ijin. Dan tidak lama kemudia aku sudah melihat wajah Silvia diantara barisan mobil-mobil di parkiran.

“Cepetan…!!”

“Enak aja lo, nyuruh-nyuruh anak orang! Berani bayar berapa?” Protesku tidak berkesudahan seraya tersenyum. Silvia sama sekali tidak menggubrisku dan aku berhenti meledek. Wajah Silvia yang terlihat bingung membuatku konyol. Bagaimana mungkin Silvia yang selalu ceria bisa benar-benar serius. Dan aku ikut saja diam.

“Ayo turun…” Ajak Silvia. Aku diam tidak bergerak. Untuk apa Silvia harus mengajakku ke rumah Satria.

“Untuk apa?” tanyaku curiga.

“Turun aja…” Silvia menyeretku dengan paksa. Aku memberontak. Tapi melihat wajahnya yang masih saja serius tanpa ekspresi, aku menurut. Perasaanku mulai tidak enak.

“Gue bisa jalan sendiri…” Sekali lagi aku protes karena Silvia masih saja menggandeng tanganku.

Aku heran, pakaian hitam seolah menjadi dress code di rumah ini. Dan aku tidak menjumpai satu wajah pun yang bisa aku kenali. Apa yang terjadi? Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa. Aku menurut saja, mengekor Silvia yang berjalan terburu-buru. Semua orang yang sempat berpapasan denganku seolah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kamar Satria!!! Sayup-sayup aku mendengar suara tangis, mungkinkah istrinya meninggal seperti cerita Silvia beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa istrinya sakit. Ya Tuhan secepat itukah. Mmm… tapi untuk apa aku harus datang. Apakah Satria akan merengek untuk memintaku menjadi istrinya. Aku tersenyum, memikirkan bagaimana aku bisa menikah dengan seorang duda. Agak ragu aku melangkah. Suara tangis makin nyaring kudengar. Ketika wajahku tersembul dari balik pintu, aku mengenali satu persatu wajah itu. Tante Olivia-Mama Satria dan suaminya Oom Arya-Papa Satria. Anandyta, adik semata wayangnya dan saudaranya yang lain yang tidak bisa aku kenali satu persatu.

“Masuklah Tya…” Pinta tante Olivia, dengan wajahnya yang sembab. Aku berjalan mendekati kerumunan itu, sementara Silvia memilih berhenti dan berdiri tepat di depan pintu.

“Satria, sudah lama menunggumu…” kata tante Olivia lagi. Satu persatu orang mulai menjauh dan aku melihat tubuh itu. Tubuh yang tergolek tidak berdaya dengan selang infus dan oksigen berselang-seling dari mulut dan hidungnya.

“Satria…” desisku perlahan. Aku terhenyak, sedih. Aku berdiri tepat, disamping ranjangnya. Dia mencoba tersenyum dengan kepayahan. Tangannya bergerak mencari tanganku dan aku menggenggamnya hingga tangan itu diam dengan sendirinya, bersama senyum yang masih mengembang. Matanya menutup perlahan dan tangis mulai menyayat.

“Satriaaa…” teriakku histeris. Aku bingung. Tangan itu masih saja diam, meski aku meremasnya.

“Dia sudah pergi nak…” Sebuah suara di belakangku, mengabarkanku akan apa yang baru saja terjadi.

“Innalillahi wa inna illaihi roji’un…” Kalimat itu saling bersahutan ku dengar dan aku menimpalinya dalam hati.

“Satria…” desisku tertahan. Aku lunglai tidak berdaya. Mengapa secepat itu dia Pergi…

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (5)

Chapter 5
Mimpi


“Selamat ya, Sat…” Aku tersenyum bersamaan dengan jabatan yang erat.

“Semoga bahagia ya… Aku selalu mendoakanmu…” ucapku mantap.

“Kamu tampak tampan dengan pakaian pengantin ini…” ledekku, Satria tersenyum bahagia.

“Istrimu juga cantik, cantik sekali. Kebaya itu memang lebih pantas dipakainya daripada aku. Kalau aku yang pakai pasti nggak sebagus dia…” Aku tertawa lepas dan satria membalasnya dengan tawa pula.

“Selamat ya…” ucapku sekali lagi, ketika aku harus melangkah maju bersama barisan tamu undangan yang lain.

Setengah berbisik dalam pendengaranku Adi berkata, “Maafkan aku Tya…” aku tersenyum dan melangkah. “Aku tidak pernah membencimu Satria…” jawabku.

“Krinnnnngggggggggg……… krongggggggggg…… krungggggggggg………” Aku menggeliat. Perlahan membuka kedua mataku dan memicingkannya setelah sadar. Jam wekerku berbunyi. Jam 5 pagi. Saatnya aku harus bangun.

“Ehm… ehmmm…” Aku menggeliat lagi, seolah tidak rela melepas selimut yang membalut tubuhku. Kantuk masih tersisa bersama hawa dingin yang menyerang. Toleransi 5 menit. Aku menutup mata lagi, namun tidak kubiarkan kantuk kembali membuaiku dalam bayangan mimpi. Mimpi… aku mengingatnya, mimpikah aku semalam. Datang ke pesta pernikahan Satria. Aku membuka mataku dan berfikir. Mengapa aku bermimpi tentang Satria dan pestanya. Bukankah pestanya sudah lewat 2 bulan yang lalu. Sudahlah, namanya tidur pasti ada bunganya… (Nggak nyambung ya?)

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (4)

Chapter 4
Kanker???

Aku masih asyik, di depan layar monitorku. Mengedit laporan keuangan yang belum sempat aku selesaikan kemarin di kantor. Seharusnya liburan seperti ini, aku menikmatinya. Tetapi aku telah kehilangan selera untuk menikmatinya. Aku memilih mengerjakan apapun agar rasa sepi yang seringkali menemaniku terasa berkurang. Silvia juga menemaniku. Maklum sama-sama JOJOBA (JOmblo-JOmblo BAhagia).

“Hmmm… Tari…” panggil Silvia menggantung padaku. Aku hanya meliriknya sedikit dengan ujung mataku dan tidak meninggalkan sedikit pun pandanganku dari layar untuk merespon panggilannya. Dan Silvia lama untuk meneruskan panggilan itu, mungkin saja pikirannya masih asyik dengan majalah di pangkuannya itu.

“Lo tahu nggak istrinya Satria?” Aku heran untuk apa Silvia tanyakan itu, karena itu tidak lagi penting untukku. Meski 2 bulan yang lalu sebelum mereka menikah, Silvia juga hampir menunjukkan karateristiknya. Dan masih seperti kemarin, aku menganggap itu semua tidak penting lagi dan aku tidak peduli.

“Dia sakit kanker…”

“Whattt…” tiba-tiba tanganku meng-klik huruf itu sehingga terbaca di layar dan aku menghapusnya setelah sadar. Aku menoleh, mencari keterangan lebih lanjut pada Silvia.

“Sakit…?!”

“Ya…” jawabnya singkat.

“Darimana lo tahu? Udah lama? Kenapa lo nggak bilang waktu itu sama gue?”

“Bukannya lo bilang itu nggak penting?” Silvia menggodaku.

“Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit.” Lanjutnya.

“Satria???”

“Hallooo… istrinya, Tari sayang… bukan Satria.”

“Ya, maksud gue… Satria gimana? Ah sudahlah emangnya penting ya, apa gue harus tahu…” Kali ini aku mencibir, karena sadar Silvia telah mengejekku.

“Apa Satria nggak tahu ya kalau “Nenek Sihir” sakit?” tanyaku sendiri, bengong.

“Apa…?!” ulangi kata-katamu tadi, istrinya Satria… bukan “Nenek Sihir”…!!”

Aku tersenyum. “Ya maaf, habisnya gue kan nggak tahu namanya siapa?”

“Emang penting ya?” Silvia tersenyum. Sekali lagi mengejek.

“Terserah, mau istrinya yang sakit atau Satria yang sakit, bodo’ amat…!!”

“Bener nih, kalau Satria yang sakit, lo nggak bakalan menangis iba? Eh, kenapa kita malah ngetawain orang yang dapat bencana sih…” tiba-tiba Silvia menjadi seorang peri sok bijak.

“Ya udah… gue ucapin… semoga… bahagiaaa… buat mereka…” ucapku dengan nada tidak ikhlas.

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (3)

Chapter 3
Melupakan Satria

Aku harus melupakan Satria. Dan harus mulai dari awal lagi. Aku harus jadi Tya yang kuat. Upss… namaku Tari, mengapa aku begitu suka dipanggil Tya hanya karena Satria suka memanggilku begitu. Namaku Mentari Aristya, biasa dipanggil Tari dan Tya adalah nama belakangku yang kupakai pertama kali ketika aku mencoba berkenalan dengan Satria, namun Satria tetap memanggilku Tya meski ia tahu nama panggilanku Tari. Tidak ada yang perlu aku sembunyikan, termasuk semua sikap burukku. Dan Satria menerimanya tanpa penolakan sedikitpun. Namun Satria menolak setelahnya, setelah aku bersedia menyerahkan sepenuh hatiku. Ughhh… mengapa aku mengulang cerita itu lagi.

Aku mulai menghapus memory inboxku, sms sejak pertama kali aku dan Satria menjalin perkenalan. Aku tidak berani membacanya, aku takut mengingatnya lagi. Seperti ketakutanku, tidak bisa melupakannya. Dan aku takut merasakannya lagi, mungkinkah ada laki-laki yang baik tersisa untukku, seorang perawan tua. Ughh… aku tidak tahu lagi betapa beratnya menanggung status itu. Belum lagi Mama dan Papa. Tuhan… aku memandang sekeliling kamarku, tidak akan kubiarkan satupun wajah Satria nongol di depan mataku. Melihat wajahnya sama saja aku melihat monster paling menakutkan, yang aku takuti selama ini.

“Ihhh… ihhh…” aku mengambil dengan jijik sebuah foto yang terpajang tepat diatas tempat tidurku. Membongkar piguranya dan kudapati fotoku dengan senyum manis tepat di samping manusia berwajah monster itu. Foto ketika aku dan Satria bertemu untuk ketiga kalinya di sebuah taman hiburan.

“Sebenarnya cakep juga…” aku tersenyum, melihat wajah tirus manis dengan kulit kecoklatan dan tubuh yang tegap semampai.

“Huekkk…” aku tidak boleh mengaguminya. Aku tidak boleh buta lagi karena wajah itu. Andai waktu itu Tuhan membuka mataku untuk menatapnya lebih jelas, mungkin fotoku disampingnya bukan tersenyum manis, tapi terbelalak histeris.

“Haha…” aku tertawa, hambar. Perlahan aku memotong foto itu. Memisahkan wajah manisku dengan wajah monster itu. Aku menyimpan bagian fotoku dan memotong kecil-kecil foto bagian Satria-monster itu, seakan-akan dia ada di depanku. Terserah mau sakit, mau merintih, masa bodoh… tapi, apa kabar dengan fotoku yang ada padanya? Mungkinkah akan mengalami nasib yang sama atau mungkin lebih parah. Apalagi jika ditemukan istrinya.

“Ughhh… ughhh…” aku mengelus wajahku, tidak tega membayangkan jika wajahku yang manis ini harus terbakar api. Oh Tuhan…

“Tarii…” aku mengeryit, panggilan untukku?

“Tariiiii…” ternyata memang betul. Ada instruksi dari Mama pasti. Dan aku bergegas mencari sosok Mama. Mungkin saja di dapur.

“Ini untukmu…”

“Untukku…?!!” tanyaku heran, ketika sebuah buket bunga mawar putih terulur untukku. Deggg… bukankah biasanya Satria yang selalu mengirimkannya untukku. Apakah ini juga dari Satria? Aku tersadar untuk segera bertanya.

“Dari siapa, Ma?” Mama menggeleng tidak tahu. Aku mencari kertas kecil berisi memo yang selalu diletakkan di dalam rangkaian bunga itu.

To Tya
Maafkan aku…
From Satria

“Ughhh…!!!” aku mendengus kesal dan meletakkan bunga itu serampangan. Tidak seperti biasanya memang, bunga itu selalu terpajang segar di atas meja riasku. Untuk apa lagi aku harus merawatnya. Dan… untuk apa lagi Satria harus mengirimnya untukku. Meskipun ia belikan aku toko bunga, kata maaf tidak juga bisa aku berikan untuknya…

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (2)

Chapter 2
Pernikahan Satria

“Kenapa kamu tidak datang??” Aku terdiam.

“Pertanyaanmu penuh kekonyolan! Setelah semua yang kamu lakukan padaku. Masih sanggupkah kamu mempertanyakan itu?” lanjutku.

“Kenapa, Tya? Aku tahu kamu sakit hati, tapi andai kamu tahu aku lebih sakit dari apa yang kamu rasa. Bolehkah aku betemu denganmu? Sekali lagi saja, please…”

“Untuk apa?! Untuk kembali menambah lukaku yang hampir meluber karena tidak sanggup kutampung lagi!!!” sindirku.

“Tya, maafkan aku. Aku tidak sepicik yang kamu pikir.”

“Aku tidak pernah berpikir kamu picik, Sat! Tapi, kamu… kamu… kamulah laki-laki menjijikkan yang pernah aku kenal!” makiku.

“Hmmmmpf… percuma berbicara denganmu saat ini, kamu begitu membenciku. Tya, andai kamu tahu betapa aku sangat ingin bertemu denganmu.”

“Tidak usah!!!” aku menekan tombol merah pada HP-ku. Aku memutuskan hubungan telepon itu secara sepihak. Dan menelungkupkan wajahku dalam bantal, mencoba menyembunyikan air mataku.

Bagaimana mungkin disaat Satria merasakan kebahagiaan karena pernikahannya yang baru saja usai, ia mengatakan ingin bertemu denganku. Terbuat dari apakah hatinya, hingga bisa setega itu. Tidak salah kata-kataku tadi yang mengatakan, kalau dialah laki-laki menjijikkan yang pernah aku kenal. Pakaian pengantin yang ia kenakan mungkin belum sempat ia tanggalkan. Senyuman para tamu dan hangatnya ucapan selamat pun mungkin belum berhenti, namun mengapa Satria malah menghubungiku. Apa salahku ya Tuhan, mengapa begitu berat KAU kirim cobaan ini. Betapa aku ingin melupakan Satria, Namun mengapa ia justru datang mengacaukannya.

“Huuhaaa…. Huuuu… Aku tidak peduli, jika ada yang menertawakanku karena tangisan ini. Tangisan cengeng untuk gadis yang tidak lagi berusia muda karena 3 bulan lagi usiaku genap 30 tahun.

“Huhuuu…”

“Kapan aku akan menikah…”

“Huhuhuuu…”

“Kapan aku akan bertemu jodohku, ya Tuhan…”

“Huhuuuu… aaaaa….” Isak ini semakin lama semakin tidak tertahankan, meski aku coba untuk menghentikan.

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (1)

Chapter 1
Undangan Pernikahan Satria


Inilah salah satu kegilaan dalam hidupku, ketika aku masih saja mengingat Satria. Masih saja memikirkannya, meskipun ia telah jauh meninggalkanku dengan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Aku menutup undangan bercorak hijau daun itu dengan perasaan yang tidak jelas. Mengakhiri ungkapan hatiku yang sempat tertulis di atasnya. Marah, kecewa, sedih, bahagia atau apapun lah namanya?

“Lo datang nggak?” Tanya Silvia-sang pengantar undangan, sekaligus sahabat karibku. Aku mengangkat kedua bahuku tanda penuh kebimbangan. Dan Silvia hanya diam saja.

Dua hari lagi ‘Nenek Sihir’ itu-wanita yang akan dinikahi Satria akan mengenakan kebaya itu, kebaya yang aku pilih bersama Satria waktu itu. Mudahnya Satria mengakhiri pertunanganku dan dirinya, hanya karena sebuah alasan yang tidak jelas. Apa yang tidak Satria mengerti tentangku?? Tidakkah cukup perkenalanku dan dirinya selama 2 tahun ini. Bahkan aku sudah lebih mengenalnya melebihi bagaimana aku mengenal diriku sendiri. Air mataku mulai menetes lagi dan membuatku jengkel. Sedikit saja air mataku menetes, selalu saja tampak lain di mataku. Dan itu akan menimbulkan kecurigaan Mama.

“Kamu masih memikirkan Satria?” Itulah yang selalu dipertanyakan Mama, setiap melihatku menangis. Dan aku tidak pernah bisa menjawab karena itulah kenyataannya. Aku tidak pernah bisa menghapus namanya sedetikpun meskipun penuh dengan rasa kebencian. Aku sadar, akulah yang terlalu bodoh dengan semua ini. Dengan mudahnya percaya pada seorang pecundang seperti dirinya. Mengapa aku bisa saja tertipu dengan kalimat indah pada smsnya atau suara merdunya ketika aku dan dirinya berbicara melalui perantara kabel.

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (Sinopsis)

Aku Rela, Jika Kau Bahagia
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda,Jum’at_120210,0313PM)



Aku Rela, Jika Kau Bahagia
Chapter 1 Undangan Pernikahan Satria
Chapter 2 Pernikahan Satria
Chapter 3 Melupakan Satria
Chapter 4 Kanker???
Chapter 5 Mimpi
Chapter 6 Kepergian Satria
Chapter 7 Pemakaman


Sinopsis

“Aku tidak pernah membencimu Satria. Aku ingin kamu selalu bahagia. Aku rela, jika kau bahagia…”
(Mentari Aristya_Tari/Tya)

“Tya, maafkan aku. Aku tidak sepicik yang kamu pikir. Aku tahu kamu sakit hati, tapi andai kamu tahu aku lebih sakit dari apa yang kamu rasa. Bolehkah aku betemu denganmu? Sekali lagi saja, please. Hmmmmpf… aku tahu percuma berbicara denganmu saat ini, kamu begitu membenciku. Tya, andai kamu tahu betapa aku sangat ingin bertemu denganmu.”
(Satria Hirata_Satria)

“Lo tahu nggak istrinya Satria? Dia sakit kanker… Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit.”
(Silvia Maharani_Silvia)


Karakter Tokoh Aku Rela, Jika Kau Bahagia


Mentari Aristya (Tari/Tya)
Merasa hidupnya berakhir setelah mengetahui bahwa Satria Hirata (Satria)-kekasihnya meninggalkannya begitu saja tanpa pesan untuk menikahi gadis lain bernama Tiara Zalianty (Tiara), yang ternyata menderita kanker hati stadium 4.


Satria Hirata (Satria)
Karena tidak ingin membuat Mentari Aristya (Tari) terluka setelah menikahinya dan harus meninggalkannya… Karena sebuah alasan yang tak pernah diungkapkan Satria Hirata (Satria), karena hidupnya sudah tidak lama lagi.



Silvia Maharani (Silvia)
Sahabat karib Mentari Aristya (Silvia) yang selalu hadir menemani Mentari Aristya (Tari) dimasa-masa terpuruknya setelah ditinggal Satria Hirata (Satria)-kekasihnya yang menikahi gadis lain.

Senin, 15 Februari 2010

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 4-Tamat)

Chapter 4
Raka Dan Bella


Raka membuka matanya dengan perlahan. Melihat seisi ruangan dengan mata nanar. Putih, semua serba putih.

'Apa aku sudah mati?' batinnya. Pandangannya buram, dan masih sangat buram.

"Raka...? Kamu sudah sadar?" Suara seseorang menghentakkan hatinya.

"Bella...." gumamnya parau.

"Sudah dua hari kamu tidak sadarkan diri. Kata dokter, kamu gegar otak ringan. Kamu harus banyak istirahat."

Raka tersenyum tipis. Menggenggam jemari tangan Bella yang semula beku. Kini hangat bagaikan matahari yang menyinari lubuk hatinya. Mengapa ia harus mengejar gadis yang tidak mencintainya sama sekali. Ia merasa berdosa telah membiarkan Bella diselimuti kabut tebal. Kini ia berusaha menepis kabut-kabut itu dari kehidupannya.

"Jangan tinggalkan aku, ya?" ujar Raka sendu. Suaranya masih terdengar parau.

Bella tersenyum tipis dengan mata penuh airmata.

"Aku tidak akan meninggalkan kamu, Rak. Selamanya. Percayalah."

Raka tersenyum. Diciuminya jemari Bella dengan lembut.

"Aku sayang kamu, Bel," ujarnya lirih dan pelan.

Bella tersipu bahagia dengan pipi merona merah.

Kini kabut cinta tersebut tak lagi menutupi hati mereka. Kabut telah berlalu. Terhembus angin yang sepoi nan semilir.

Keduanya tersenyum bahagia. Terlebih Bella, yang kini mendapatkan kembali hati pujaannya.




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
(www.dindasweet-86.blogspot.com)

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 3)

Chapter 3

Cinta Tania Untuk Dira




Terlihat Raka mengibaskan kotoran yang menempel di celana jinsnya. Membetulkan kancing jaket parasutnya hingga menutupi lehernya yang jenjang. Memakai penutup kepala dan syal. Entah mengapa bayangan-bayagan Tania bermain-main lagi di benaknya. Bayangan itu seakan tidak mau pergi.



'Mengapa Tania menolak cintaku?' batinnya lagi. 'Aku harus mendapatkannya. Harus!'

Raka menuruni anak tangga gasebo dan berjalan melewati semak belukar. Langkah terhenti oleh suara canda seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Raka berusaha mempertajam pendengaranya. Sepertinya ia kenal betul dengan suara itu. Ya, tidak salah lagi!



Raka berjalan menghampiri sebuah gasebo lain didepannya. Dengan lampu remang dan redup. Ia melihat dua orang anak manusia sedang memadu kasih.



"Tania?" jeritnya, mengerutkan dahi.



"Dira?" lanjutnya terbelalak tak percaya.



Dira terbelalak kaget melihat kehadiran Raka.



"Raka...."



"Kalian ngapain di sini?" tanya Raka menahan gejolak cemburu yang telah membakar di hatinya.



Ternyata Tania mencintai Dira, sahabatnya. Pantas saja Tania menolak cintanya.



"Kamu keterlaluan, Dir! Kamu keterlaluan!" sergah Raka emosi.



"Raka! Apa maksud kamu!"



Raka menarik baju Dira dengan kasar. Matanya melotot tajam menahan kemarahan. Melirik ke arah Tania dengan tatapan mata tajam pula. Sedangkan Tania hanya tertunduk melihat Raka yang tengah kalut. Tania meringkuk ketakutan di tempat duduknya. Matanya hanya sesekali memicing memperhatikan Raka dan Dira.



"Kamu pagar makan tanaman. Kamu tahu kan kalau selama ini aku cinta banget sama Tania."



"Sudahlah, Rak!" tepis Dira. "Tania tidak mencintaimu."



"Hei, kamu pikir kamu hebat?! Sahabat macam apa kamu?!" Raka mempererat tarikan pada kerah baju Dira. Dan dengan kasar dihentaknya tubuh tegap itu hingga terjerembab di atas rerumputan.



Tak lama kemudian Dira bangkit dengan emosi yang membara. "Kamu mau apa sih, Rak?! Kamu tahu diri sedikit, dong. Tania itu tidak mencintai kamu! Tapi mencintai aku!"



"Hei, kurang ajar!" Raka mendorong tubuh Dira. "Yang pertama kali mengenal Tania itu aku! Bukan kamu!"



"Hm... apa kamu lupa, kamu itu tidak pantas mendapatkan Tania. Kamu itu pecundang!"



"Arrghhh...."



Buuuk! Braakkk. Duuk....



Raka memukul tubuh Dira berkali-kali. Dan menghajarnya tanpa ampun. Raka dan Dira terus berkelahi. Saling baku hantam memperebutkan seorang gadis yang sama-sama mereka cintai.



Dira balik memukul Raka dengan keras. Beberapa kali Raka tersungkur dan bangkit dengan tertatih. Dengan terhuyung Raka menghantam wajah Dira. Dan Dira yang sudah kalap juga memukul tubuh Raka dengan kuat hingga ia terpelanting jauh di rerumputan.



"Sudah, Dir! Sudah...! Jangan berkelahi lagi!" Suara Tania terdengar menengahi kegaduhan mereka.



Raka bangkit dengan sakit di sekujur tubuhnya. Semakin terasa sakit saat melihat Tania lebih memperhatikan Dira. Ternyata benar, Tania sama sekali tidak mencintainya.



Raka beringsut dengan mata memar. Hidungnya berdarah dan pelipisnya sobek. Ia sempoyongan di antara semak belukar. Berjalan tertatih dengan langkah yang tidak teratur. Dan mendadak saja ia tergelincir di bebatuan. Terperosok jatuh di dasar bukit. Terguling hingga terpental dan akhirnya terlentang tak sadarkan diri. Ranting-ranting kecil dan berduri menyayat jaket parasutnya.



Jeritan keras Raka membelah sunyi malam di hutan pinus. Bella tercengang di depan unggun yang masih berkobar. Ia bangkit berdiri dan segera mencari asal suara yang telah mengisi hatinya sekian lama.

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 2)

Chapter 2
Cinta Bella


Kabut tipis mulai menyelimuti hutan-hutan kecil di lereng bukit. Angin dingin menusuk tulang hingga ke ulu hati. Pohon-pohon pinus masih basah dan lembab. Api unggun mulai meninggalkan bara berwarna kemerahan. Dengan asap menjulang tinggi.

Di gasebo kecil Raka termangu. Memperhatikan siluet pinus yang berjejer rapi. Bak raksasa yang sangat menakutkan. Sesekali ia mendekap jaket parasutnya. Sambil teringat dengan seorang gadis yang pernah mencuri perhatiannya. Tania, nama gadis itu. Mahasiswi ekonomi di sebuah universitas swasta.

Pertemuan itu memang begitu singkat. Di sebuah toko buku. Saat Raka menabraknya tanpa sengaja, dan gadis itu memaki-maki Raka seenak hatinya. Raka pun berang dan membalas makian kecil itu. Dan ternyata mereka bertemu lagi di salah satu universitas di Jakarta. Pertemuan itu membuat Raka terbayang-bayang dengan gadis judes yang menghardiknya. Kebencian itu pun timbul dengan sendiri. Raka mengolok-olok si Gadis di depan umum. Bahkan di depan mahasiswa lainnya.

Namun kebencian itu mendadak berubah menjadi sebuah kerinduan di hati Raka. Raka berkali-kali mencoba merayunya. Meminta maaf kepada si Gadis. Tapi si Gadis menolaknya mentah-mentah. Ia sama sekali tidak mempedulikan Raka. Meski Raka sangat mengharapkan cinta sang Gadis, namun tetap saja ditolak.

Hal itu membuat Raka sakit hati. Perih rasanya. Terasa kabut-kabut tipis menyelubungi relung hatinya. Entah mengapa kabut-kabut itu semakin menebal, rasanya.

Raka mendesah pelan. Desahan angin menghapus tubuhnya yang beku. Gesekan angin membuat dahan-dahan pinus bergoyang dan riuh dengan suara yang syahdu. Saat menikmati semilir angin, sebuah tangan tiba-tiba saja menutup mata Raka dari belakang. Raka tercekat merasakan tangan dingin yang menutup kedua matanya.

"Dira!" tebaknya asal.

Namun si pemilik tangan diam saja.

Raka berusaha menebaknya lagi. Mungkin hal ini keisengan teman-temannya. "Fadlan! Lepasin, dong," tebak Raka lagi.

Namun lagi-lagi orang di belakangnya itu diam saja. Raka mengulurkan tangannya dan menebak lagi. Namun tidak ketebak.

"Aduh, siapa sih. Jangan bercanda terus, dong," seru Raka menyerah.

Kemudian tangan itu pun membuka matanya dengan perlahan.

"Hei! Bengong aja," sapa seseorang padanya.

Raka mengucek-ucek matanya. Melihat seseorang di depannya dengan terpana.
"Bella?" gumamnya.

Gadis itu tersenyum. Duduk di depannya kemudian.

"Kamu kenapa sih, Rak. Melamun terus. Kamu lagi kasmaran, ya?" selidik Bella.

"Ah, nggak kok. Aku nggak melamum."

"Sudah, jangan bohongi aku. Buktinya, dari tadi aku perhatiin, kamu bengong terus. Aku tahu ada seorang gadis yang mencuri perhatianmu. Siapa sih dia?"

Raka terbelalak sambil menelan air liurnya.

"Melamun? Melamunkan siapa?"

"Udah deh, nggak usah bohong lagi."

Raka mengerinyitkan keningnya. "Kamu tahu dari mana?"

"Aku sudah membaca semua buku catatan harian kamu. Maaf ya, kalau aku lancang."

"Bel...! Ja-jadi... kamu.... " Raka menatap wajah Bella dengan lekat, seperti tidak percaya atas pendengarannya sendiri.

"Maaf, aku nggak sengaja, Rak. Kamu marah?"

Raka diam. Hening. Namun hanya sesaat.

"Siapa Tania? Kamu mengenalnya?" tanya Bella memecahkan keheningan

"Hm, dia anak ekonomi."

Bibir Bella membulat. "Oo."

Hening lagi. Perasaan Bella tercabik-cabik. Sesungguhnya dia sangat mengharapkan Raka menjadi kekasihnya. Namun Raka tidak pernah menggubris perasaan itu. Meski perhatian yang diberikan Bella sangat lebih untuk Raka, Raka seakan tidak peduli.

Tak berapa lama Raka beringsut dari duduknya. Angin dingin semakin menggila seakan menghunus jantungnya.

"Aku pergi dulu, ya. Aku ngantuk," ucap Raka sambil berlalu meninggalkan Bella yang terpaku.

"Tapi, Rak. Tunggu... jangan tinggalkan aku dong, Rak."

"Udah deh, besok aja ngobrolnya," tolak Raka apatis (tanpa perasaan).

Bella terpaku. Kali ini hatinya seolah terhempas ke dalam cadas-cadas yang tajam. Namun Bella dengan sabar hati menunggu kepastian yang tak pasti. Meski berkali-kali hatinya tersayat pedih karena Raka memikirkan gadis lain, Bella tetap saja memberi perhatian penuh terhadap Raka.

Bella terpaku memperhatikan Raka yang meninggalkannya begitu saja. Malam seakan menghadirkan giris sunyi yang luar biasa. Tak terasa airmatanya menitik. Dan setiap begitu, maka ia hanya dapat menuangkan baur perasaannya lewat lembar-lembar buku diarinya. Di sana, ia menaburkan kalimat dalam bentuk puisi. Puisi cinta buat Raka.

Ketika hasrat hatiku
mendambakan dirimu
namun bayanganmu
hanya terlintas dalam angan dan mimpiku

Aku begitu mendambakanmu
mengharap kau merajut benang cintaku
agar menjadi sebuah sutra
yang indah dalam hatiku
dan terlukis sejuta namamu

(Di sudut kamar-Bella Raflesia)


Bella meremas buku diari yang senantiasa menyertainya kemana pun ia pergi. Hatinya masih berdarah dalam penantian. Pemuda itu terlalu angkuh di dalam obesesinya. Dipandanginya jelaga langit. Gemintang bermain mata dalam kerlap-kerlip abadinya. Mereka indah namun tak tergapai tangan. Seperti itulah Raka sekarang. Ia gemintang yang tak terjamah!