Sabtu, 29 Mei 2010

Sepi Malam Minggu Yang Indah (4-End)

Chapter 4
Keputusan Yasmine


Yasmine memandang tubuh Dewa yang melangkah gontai. Maafkan aku, Dewa….batinnya. Cinta memang tidak bisa dipaksa. Dan, aku nggak ingin pura-pura mencintaimu hanya untuk membuang sepi malam mingguku.

Biarlah malam minggu tetap begini. Mungkin belum saatnya dewi amor singgah di hatiku. Toh, usiaku masih muda. Masih banyak waktu. Aku yakin, suatu hari nanti aku pasti menemukan dia, sang kekasih pujaan.

Dan, malam minggu Yasmine tetap sunyi. Tapi dia tidak sedih lagi. Dia menikmati sepi itu, sepi yang indah.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com


Sepi Malam Minggu Yang Indah (3)

Chapter 3
Perang Batin Yasmine


Malam sudah larut. Yasmine merebahkan tubuhnya menghadap dinding. Dia berusaha memejamkan mata tapi tidak bisa. Kantuknya belum datang juga. Sementara perang batin berkobar terus, antara menerima atau menolak Dewa.

Hhhh! Yasmine mendesah. Posisi tubuhnya kini terlentang. Ditatapnya langit-langit kamar. Ada bayang-bayang Dewa di sana, lengkap dengan segala keurakannya. Tuhan, aku nggak bisa mencintainya. Aku….aku harus menolaknya. Ya, harus! Berpikir begitu, Yasmine merasa lega. Perang itu telah usai.

Dan kala jam berdentang satu kali, Yasmine tertidur pulas.

Sepi Malam Minggu Yang Indah (2)

Chapter 2
Perasaan Yasmine


Sudah jam tujuh kurang sepuluh menit, Indy belum datang juga. Yasmine duduk gelisah di bangkunya. Sebentar-sebentar ia melongokkan kepalanya ke jendela yang terletak di samping tempat duduknya. Tidak biasanya Indy terlambat. Apalagi ini hari Senin, harinya upacara bendera. Sebagai anggota pasukan pengibar bendera, seharusnya Indy datang agak pagi. Tapi, bukan karena itu Yasmine menunggu Indy. Dia hanya ingin cepat-cepat menceritakan kejadian malam minggunya.

Yasmine melirik jam di pergelangan tangan kirinya. 5 menit lagi bel berbunyi. Anak-anak sudah berhamburan ke lapangan siap mengikuti upacara. Bahkan, anak-anak kelas 3 IPA 1 yang terkenal tertib sudah mengatur barisan. Ah, Yasmine merasa kecewa. Percuma saja dia menunggu Indy. Toh, tidak ada waktu lagi untuk bercerita.

Di lapangan, mereka harus tekun mengikuti jalannya upacara. Payahnya, pelajaran pertama sesudah upacara adalah Matematika yang gurunya terkenal killer. Nah,mana ada kesempatan ngobrol? Padahal, Yasmine sudah tidak sabar ingin cerita.

Tepat jam 7, saat anak-anak sudah berbaris. Indy datang dengan nafas terengah-engah. Untung upacara baru akan dimulai. Tergesa, gadis itu menggabungkan diri dengan kelompok Pengibar bendera. Seorang gadis yang sudah siap menggantikannya kembali masuk ke barisannya.

Di barisannya, Yasmine menghela nafas lega. Dia sudah takut saja, Indy tidak hadir.

Upacara pagi itu terasa berlangsung berjam-jam. Pikiran Yasmine tidak terpusat pada jalannya upacara. Kata-kata Dewa terus mengiang di telinganya. O, betapa ingin dia mendengar komentar Indy bila gadis itu tahu apa yang diucapkan Dewa. Indy pasti terkejut. Matanya yang bulat pasti terbelalak. Ah, Yasmine tersenyum sendiri. Untung tidak ada yang melihat. Kalau tidak, mungkin dia disangka tidak waras.

“Aduh, kukira kamu nggak datang.” Yasmine menghampiri Indy setelah upacara selesai.

“Hm, biasanya kalau aku terlambat, kamu nggak ngomong begitu. Kok, sekarang?” Dengan curiga, Indy menatap Yasmine. “Memangnya ada apa sih?”

“Ada….,” Yasmine tidak meneruskan ucapannya. “Istirahat nanti aku ceritain deh. Yuk, masuk ke kelas. Ntar si killer ngamuk lho.” Ditariknya tangan Indy.

Dua jam dijejali aneka perhitungan rumit membuat kepala Yasmine pening. Terlebih lagi bila ingat kejadian malam minggu. Uh, rasanya mau pecah! Yasmine melirik jam tangannya. 1 menit lagi istirahat.

Teng…teng..teng..! Lonceng berbunyi tanda istirahat tiba. Barengan, Yasmine dan Indy menarik nafas lega.

“Fiuh! Gila tuh si killer!” Indy melap keningnya yang dihiasi butiran keringat dengan tissue.

“Ngasih soal nggak tanggung-tanggung. Emangnya kita Einstein,” Yasmine menyambung. “Ke kantin yok!” Ajaknya, menggamit lengan Indy.

“Wah, ada kabar seru ya? Kok baru istirahat pertama sudah ngajak ke kantin.” Indy penasaran.

“Bukan seru lagi, tapi super seru!” Yasmine memasukkan dompet mungilnya ke saku rok abu-abunya.

Di kantin, Yasmine memesan es jeruk 2 gelas.

“Waktu malam Minggu Dewa ke rumahku,“ Kata Yasmine setelah pesanan mereka datang.

“Enggak heran. Dari dulu dia naksir kamu kan?” Indy mengaduk-aduk esnya.

“Tapi kamu pasti heran kalau malam itu juga dia….,” Yasmine menggantung kalimatnya. Dia menunggu reaksi Indy.

“Dia kenapa?” Desak Indy, semakin penasaran.

Yasmine tersenyum. “Dia bilang, mau nggak kamu jadi pacarku?”

“Wow, berani juga tuh anak!” Setengah melongo Indy berseru.”Terus, apa jawaban kamu, Yas?”

“Beri aku waktu.” Sahut Yasmine pendek.

Indy meneguk esnya yang sudah mencair. Ditatapnya Yasmine lama-lama.

“He, kok menatapku terus?” Yasmine mengibaskan tangannya di depan wajah Indy.

“Yas, gimana perasaanmu terhadap Dewa?” Pelan suara Indy seolah takut ada yang mendengar.

“Perasaanku? Mm….gimana ya?” Yasmine mengerutkan kening “Akh, biasa aja tuh.”

“Kalau biasa aja, kenapa kamu bilang ‘beri aku waktu’? Tolak aja. Kan beres!”

Yasmine diam. Benar juga apa yang dikatakan INdy. Toh, sebenarnya dia tidak menyukai Dewa. Tapi, Dewa lumayan juga kok. Dia tampan, baik, walau agak urakan.

“Aku rasa, aku menyukainya.” Ujar Yasmine kemudian. “Sedikit, tapi lambat laun kan jadi bukit.”

“Gila! Kamu pikir, cinta itu mainan? Kalau kamu nggak mencintainya, ya…jangan dipaksa.”

Sekali lagi Yasmine terdiam. Dia jadi bingung. Kalau dia menolak Dewa, berarti malam minggunya akan tetap sepi. Atau…. menerimanya….akh…..apa betul dia bisa pelan-pelan belajar mencintai Dewa?

“Pikir baik-baik, Yas. Jangan memainkan perasaan orang lain.“ Indy menasihati. Yasmine manggut-manggut. Makin bingung deh.

Sepi Malam Minggu Yang Indah (1)

Chapter 1
Malam Minggu


Pukul 7 malam. Yasmine duduk termangu di teras rumahnya. Angin malam mengelus wajah mulusnya, mesra. Sepertinya ingin mengajak gadis itu bercumbu. Tapi Yasmine tidak peduli dengan angin genit itu. Rambutnya yang lembut dan tergerai sebahu dibiarkannya menutupi sebagian wajahnya. Yasmine memang sedang kesal. Betapa tidak, di malam Minggu seindah ini dia hanya berteman dengan sepi. Padahal, dia ingin seperti Indy, sahabatnya yang juga teman sebangkunya.

Indy tidak pernah kesepian bila malam minggu tiba. Ada Edo, pacar setianya yang selalu menemani dan mengajaknya pergi menikmati malam minggu.

Dulu, ketika Yasmine baru saja menginjakkan kakinya di bangku SMA, dia tidak pernah merasa sepi seperti ini. Hobinya membaca dan menulis cerpen telah menghabiskan waktu malam minggunya. Bahkan dia selalu merasa kekurangan waktu.

Ilham yang muncul di kepalanya terus mengalir seperti air bah. Sampai-sampai dia merasa kewalahan. Apalagi, kalau lagi musim ulangan. Wah, Yasmine sampai bingung. Soalnya, dia harus memilih belajar atau menulis cerpen? Padahal dia ingin keduanya berjalan lancar.

Tidak heran, bila malam minggu tiba, Yasmine selalu menyambutnya dengan gembira. Sebab dia ingin lekas-lekas menumpahkan sang ilham itu di atas kertas folio. Malam Minggu memang waktu yang paling tepat karena dia dapat mengetik tanpa ada yang menganggu. Dan, Yasmine menikmati semua itu.

Tapi itu dulu. Sekarang, Yasmine mulai merasakan betapa menjemukan malam minggunya. Hanya bergelut dengan buku dan Laptop. Lagian, dia juga ingin menceritakan tentang kencan malam minggunya pada Indy, seperti yang dilakukan Indy setiap hari Senin tiba.

Malam kian merangkak. Jam di ruang tamu berdentang. Suaranya mengusik Yasmine yang masih melamun. Gadis itu mendesah. Tangannya menyibak rambut hitamnya yang dipermainkan angin. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, masuk ke dalam rumah.

Di ruang tengah, Yasmine melanjutkan lamunannya. Ia berkhayal, andai saja ada pemuda tampan yang mengunjunginya malam ini. O, betapa bahagianya!

Sedang asik-asiknya berkhayal begitu, terdengar suara motor sport meraung-raung. Yasmine segera beranjak ke depan. Dari balik tirai jendela, dia melihat seorang pemuda tengah mencopot helmnya. Mendadak, Yasmine merasa dadanya berdebar-debar. Apalagi pemuda itu kini memijit bel yang terletak di samping pintu pagar.

Sesaat, nada-nada manis yang ditimbulkan oleh bel itu menggema di seluruh ruangan. Yasmine menenangkan dirinya, lalu melangkah keluar.

“Hai, Wa! Kok, tumben kemari?” Sapa Yasmine setelah ia tahu siapa pemuda itu. Dewa adalah kakak kelasnya. Cowok tampan bertubuh jangkung itu sudah lama naksir Yasmine. Yasmine tahu itu. Cuma, dia merasa kurang sreg dengan cowok itu. Baginya, Dewa terlalu urakan. Pakaiannya tidak pernah rapi. Selalu jins belel dengan kaos tanpa lengan. Sepatunya apalagi, ampun dekilnya! Padahal, Yasmine adalah gadis yang menyukai kerapian.

“Ah, cuma iseng aja. Daripada bengong di rumah.” Ujar Dewa membalas sapaan Yasmine.

“Ayo masuk deh,” Yasmine membuka pintu pagar.

“Kok, sepi Yas?” Dewa mengedarkan pandang sambil mengikuti Yasmine masuk ke ruang tamu.

“He eh,” Yasmine mengangguk. “Papa dan mama pergi menghadiri pesta pernikahan putri sahabat papa.

“Kak Sony sudah sejak sore sibuk dengan pacarnya.”

“Kamu kok nggak sibuk seperti Sony?” Tanya Dewa memancing seraya duduk di sofa.

“Ah, gimana mau sibuk. Pacar aja belum punya kok. “ Yasmine tersipu.

“Kalau ada yang mau jadi pacarmu, diterima enggak?” Pancing Dewa lagi.

Yasmine diam. Dia mulai dapat meraba ke arah mana pembicaraan Dewa. Terlebih lagi melihat tatapan mata Dewa yang menusuk.

“Aku ambilin minum dulu ya?” Kata Yasmine akhirnya berusaha mengelak. Dewa mengangguk. Dipandanginya tubuh semampai Yasmine yang masuk ke ruang dalam.

Beberapa saat kemudian, Yasmine muncul dengan dua gelas sirup merah.

“Silakan minum, Wa.” Katanya.

“Manis sekali sirup ini,” Dewa tersenyum setelah meneguk minuman itu. “Semanis orang yang membuatnya.”

“Wah, Bik Inah pasti senang dipuji begitu.” Yasmine tertawa kecil. Dia tahu, sebenarnya pujian itu ditujukan untuknya. Tapi, bukankah bik Inah yang disuruhnya membuat minuman itu? Sedang dia sendiri, cuma ingin menghindar dari tatapan Dewa, lalu berpura-pura masuk membuat sirup.

Dewa ikut tertawa kecut. Dia tidak menyangka kalau minuman itu dibuat pembantu Yasmine.

“Yas, boleh nggak setiap malam Minggu aku kemari?” tanyanya kemudian.

Yasmine ingin mengangguk, tapi entah kenapa dia menjawab “Boleh saja tapi….,”

“Tapi apa?”

“Tiap hari kan kita ketemu di sekolah.”

“Betul. Cuma kalau di sekolah rasanya enggak bebas.”

Yasmine terdiam. Keheningan menyergap.

“Yas, kamu mau kan jadi pacarku?” pertanyaan Dewa membuyarkan hening. Ditatapnya Yasmine dengan mata penuh pijar bintang.

Yasmine menunduk. Rasanya terlalu cepat Dewa mengucapkan kalimat itu. Terlalu tiba-tiba meski dia mendambakan seorang cowok tapi bukan begitu caranya. Lagipula, dia tidak merasakan adanya debar-debar manis mendengar kalimat itu. Padahal Indy pernah bilang, kalau kita jatuh cinta sama seseorang, pasti kita merasa berdebar-debar bila dia mengucapkan kata cinta atau kata lainnya yang menjurus ke situ. Tapi, aku tidak merasakan hal itu, pikir Yasmine. Aku ragu, apakah aku juga menyukai Dewa.

“Dewa….,” Yasmine mengangkat kepalanya setelah membisu beberapa saat. “Aku…eh, beri aku waktu untuk menjawabnya.”

“Oh, tentu Yas.” Dewa tersenyum. “Aku akan menanti jawabanmu.”

Sepi Malam Minggu Yang Indah (Sinopsis)

Sepi Malam Minggu Yang Indah
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Rabu <> 120510, 1140AM)



Sepi Malam Minggu Yang Indah
Chapter 1 Malam Minggu
Chapter 2 Perasaan Yasmine
Chapter 3 Perang Batin Yasmine
Chapter 4 Keputusan Yasmine


Sinopsis

“Waktu malam Minggu Dewa ke rumahku,“ Kata Yasmine setelah pesanan mereka datang.
“Tapi kamu pasti heran kalau malam itu juga dia….,” Yasmine menggantung kalimatnya. Dia menunggu reaksi Indy.
Yasmine tersenyum. “Dia bilang, mau nggak kamu jadi pacarku?”
“Beri aku waktu.” Sahut Yasmine pendek.
“He, kok menatapku terus?” Yasmine mengibaskan tangannya di depan wajah Indy.
“Perasaanku? Mm….gimana ya?” Yasmine mengerutkan kening “Akh, biasa aja tuh.”
Yasmine diam. Benar juga apa yang dikatakan Indy. Toh, sebenarnya dia tidak menyukai Dewa. Tapi, Dewa lumayan juga kok. Dia tampan, baik, walau agak urakan.
“Aku rasa, aku menyukainya.” Ujar Yasmine kemudian. “Sedikit, tapi lambat laun kan jadi bukit.”
Sekali lagi Yasmine terdiam. Dia jadi bingung. Kalau dia menolak Dewa, berarti malam minggunya akan tetap sepi. Atau…. menerimanya….akh…..apa betul dia bisa pelan-pelan belajar mencintai Dewa?
(Yasmine Artalyta_Yasmine)

“Enggak heran. Dari dulu dia naksir kamu kan?” Indy mengaduk-aduk esnya.
“Dia kenapa?” Desak Indy, semakin penasaran.
“Wow, berani juga tuh anak!” Setengah melongo Indy berseru.”Terus, apa jawaban kamu, Yas?”
Indy meneguk esnya yang sudah mencair. Ditatapnya Yasmine lama-lama.
“Yas, gimana perasaanmu terhadap Dewa?” Pelan suara Indy seolah takut ada yang mendengar.
“Kalau biasa aja, kenapa kamu bilang ‘beri aku waktu’? Tolak aja. Kan beres!”
“Gila! Kamu pikir, cinta itu mainan? Kalau kamu nggak mencintainya, ya…jangan dipaksa.”
“Pikir baik-baik, Yas. Jangan memainkan perasaan orang lain.“ Indy menasihati. Yasmine manggut-manggut. Makin bingung deh.
(Indy Inarosamaya_Indy)

“Kok, sepi Yas?” Dewa mengedarkan pandang sambil mengikuti Yasmine masuk ke ruang tamu.
“Kamu kok nggak sibuk seperti Sony?” Tanya Dewa memancing seraya duduk di sofa.
“Kalau ada yang mau jadi pacarmu, diterima enggak?” Pancing Dewa lagi.
“Yas, boleh nggak setiap malam Minggu aku kemari?” tanyanya kemudian.
“Yas, kamu mau kan jadi pacarku?” pertanyaan Dewa membuyarkan hening. Ditatapnya Yasmine dengan mata penuh pijar bintang.
“Oh, tentu Yas.” Dewa tersenyum. “Aku akan menanti jawabanmu.”
(Dewa Pramudia_Dewa)



Tokoh Sepi Malam Minggu Yang Indah
Yasmine Artalyta (Yasmine)
Dulu, ketika Yasmine baru saja menginjakkan kakinya di bangku SMA, dia tidak pernah merasa sepi seperti ini. Hobinya membaca dan menulis cerpen telah menghabiskan waktu malam minggunya. Bahkan dia selalu merasa kekurangan waktu.

Ilham yang muncul di kepalanya terus mengalir seperti air bah. Sampai-sampai dia merasa kewalahan. Apalagi, kalau lagi musim ulangan. Wah, Yasmine sampai bingung. Soalnya, dia harus memilih belajar atau menulis cerpen? Padahal dia ingin keduanya berjalan lancar.

Tidak heran, bila malam minggu tiba, Yasmine selalu menyambutnya dengan gembira. Sebab dia ingin lekas-lekas menumpahkan sang ilham itu di atas kertas folio. Malam Minggu memang waktu yang paling tepat karena dia dapat mengetik tanpa ada yang menganggu. Dan, Yasmine menikmati semua itu.Tapi itu dulu. Sekarang, Yasmine mulai merasakan betapa menjemukan malam minggunya. Hanya bergelut dengan buku dan Laptop.


Indy Inarosamaya (Indy)
Indy Inarosamaya (Indy) adalah sahabat yang juga teman sebangkunya Yasmine Artalyta (Yasmine). Indy tidak pernah kesepian bila malam minggu tiba. Ada Edo, pacar setianya yang selalu menemani dan mengajaknya pergi menikmati malam minggu. Dan tidak pernah lupa untuk menceritakan tentang kencan malam minggunya pada Yasmine Artalyta (Yasmine) setiap hari Senin tiba.



Dewa Pramudia (Dewa)
Dewa Pramudia (Dewa) adalah kakak kelas Yasmine Artalyta (Yasmine). Cowok tampan bertubuh jangkung itu sudah lama naksir Yasmine Artalyta (Yasmine). Yasmine Artalyta (Yasmine) tahu itu. Cuma, dia merasa kurang sreg dengan Dewa Pramudia (Dewa). Bagi Yasmine Artalyta (Yasmine), Dewa Pramudia (Dewa) terlalu urakan. Pakaiannya tidak pernah rapi. Selalu jins belel dengan kaos tanpa lengan. Sepatunya apalagi, ampun dekilnya! Padahal, Yasmine Artalyta (Yasmine) adalah gadis yang menyukai kerapian.

Biarkan Waktu... (4-End)

Chapter 4
Biarkan Waktu Yang Menjawabnya


Ketika pulang sekolah, Kamila langsung lari ke toko buku tempat ia janjian dengan Dimas.

Lima belas menit ia menunggu.

Akankah Dimas benar-benar muncul seperti janjinya?

Buk!

Sebuah pukulan kecil dengan buku mengenai punggung Kamila. Kamila menengok. Dimas!!!!

“Hai, udah lama nunggu?” Dimas menebarkan senyum manisnya yang sangat memukau bagi Kamila….

“Aduh, usil banget sih. Gue kaget….” Hati Kamila panas dingin nggak karuan.

“Sorry….”

“Ada apa? Kayaknya penting?”

Dimas tersenyum.

“Nggak papa kok… cuman pengen ketemu aja….”

Ah, hati Kamila terbang setinggi langit.

Hingga siang terasa begitu sempit.

“Mil….” Tiba-tiba Dimas menatap Kamila dengan tajam. Kamila salah tingkah. Pipinya merah. Tatapan Dimas begitu dalam.

“Ada yang mau gue omongin sama lo….”

“Apa sih?” Tanya Kamila. Entah kenpa, jantung Kamila berdebam keras. Suasana terasa sangat romantis baginya. Apa kira-kira yang akan Dimas katakan padanya?

Tapi Dimas terdiam.

Dimas nggak bicara apa-apa kecuali hanya diam seribu bahasa. Menatap lembut Kamila.

Keduanya akhirnya terdiam.

“Kita pulang aja?” Tanya Dimas.

Kamila mengangguk.

“Gue anter?”

Kamila menggeleng.

“Nggak usah. Gue bisa sendiri….” Ah, itulah Kamila. Selalu aja gengsi untuk berkata “iya” akan semua tawaran Dimas.

“Bener? Ati-ati ya? Makasih udah mau datang…. Sekedar lihat wajah elo, gue udah bahagia. Lo cantik, smart… Lo ikut pemilihan miss-miss-an pasti bakalan menang….”

“Pemilihan bintang misteri gunung berapi maksudnya?” Kamila mencoba ngocol. Dimas tersenyum.

Kaku sekali keduanya bertatatapan.

Yang jelas, keduanya berjalan dengan saling berbeda arah.

Tapi tahukah kita tentang cinta?

Cinta itu memang misteri yang tidak dapat terpecahkan oleh siapa pun. Andai Kamila tahu, sebenarnya pertemuan tadi, Dimas ingin mengatakan pada Kamila, bahwa ia sangat mencintai Kamila. Andai mungkin Dimas lebih memilih Kamila daripada Stella. Tapi Dimas mencoba tetap setia pada komitmennya dengan Stella.

Berhari-hari Dimas kepikiran sosok Kamila yang di mata Dimas sangat mandiri dan smart.

Dimas hanya ingin Kamila tahu bahwa ia, sangat mencintai Kamila.

Walau Dimas tahu, saat ini keduanya nggak mungkin bisa bersatu….

Tapi ternyata hari itu mulut Dimas terasa terkunci.

Ia tak mampu mengutarakan isi hatinya.

Sama persis seperti yang dirasakan Kamila.

Ketika ia hanya ingin ucapkan, Dimas I love U, itu juga sangat berat baginya.

Dalam hati Dimas berkata, andai Kamila tahu betapa ia merasa kurang nyaman dengan Stella karena Stella bukan cewek idamannya. Stella bener-bener seperti kucing anggora yang hanya suka dandan dan sangat manja. Sementara cewek idaman Dimas adalah cewek yang mandiri dan nggak manja-manja amat.

Sementara Kamila sangat suka cowok yang energik, nggak males, care dengan dia. Dan semua itu nggak pernah ia dapetin dari Andhika yang terlalu asyik dengan dirinya sendiri.

Tapi keduanya mencoba bertahan, menjaga komitmen masing-masing yang sudah terbangun terlebih dahulu.

Tanpa diucapkan secara langsung melalui kata-kata, keduanya memiliki sikap yang sama.

Mencoba setia dengan apa yang sudah dijalani. Mengorbankan perasaan dan rasa cinta yang lebih kuat tercipta.

Andai keduanya tahu saat itu keduanya sama-sama dalam konflik batin yang amat dalam….

Ingin menyatukan cinta dalam satu kebersamaan, namun dipupuskan agar tidak menyakiti hubungan yang sudah lebih dahulu terbangun….

“Mil… lo satu-satunya cewek di hati gue yang sudah menempati kisi batin gue yang paling dalam. Belum ada yang menggantikan, Mil…. Sahabat cewek gue banyak, tapi lo adalah yang terbaik bagi gue….” Itu kata-kata yang terucap dari batin Dimas.

“Dimas, I love U… gue cinta elo dengan tulus…. Biarlah waktu yang mempertemukan kita, Dim….” Desah Kamila sambil mengusap airmata yang menetes di pipinya. Ia berjalan dalam alunan lagu Nidji, HAPUS AKU.

Kutuliskan kesedihan
Semua tak bisa kau ungkapkan
Dan kita kan bicara dengan hatiku

Buang semua puisi
Antara kita berdua
Kau bunuh dia sesuatu
Yang kusebut itu cinta

Yakinkan aku Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu waktu
Hapus aku

Sadarkan aku Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu waktu
Hapus aku….
(Nidji_Hapus Aku)


Sementara itu di rumahnya yang bergaya Timur Tengah, Syafa baru saja selesai sholat, masih pake mukena, berdoa dengan khusyu’ untuk sahabatnya, “Ya Allah, jika Dimas adalah yang terbaik bagi Kamila, fertemukan mereka dalam naungan cinta sejati-Mu….”

Dan Syafa pun juga tak kalah menangis, tergugu.

Kini masing-masing hanya mampu menunggu waktu….





TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Biarkan waktu... (3)

Chapter 3
Harapan Kamila


“Gue kan cewek biasa, Sya. Gue butuh disayang. Gue butuh diperhatiin….”

“Ssst… Masyaallah. Gue juga butuh. Nggak hanya lo….”

“Sya…. Gue capek selalu jadi hero bagi Andhika…. Andhika sangat manja…. Tapi gue nggak mungkin putus sama Andhika. Mami papi gue dan mami papi Andhika udah kompakan mo ngejodohin gue….” Kata Kamila lagi.

“Lalu apa mau lo, Mil….”

“Gue hanya ingin Dimas tahu kalau gue sayang sama dia…. Itu saja, Sya…. Tanpa harus jadian sama Dimas, gue udah bahagia….”

“Subhanallah. Sederhana sekali mimfi lo. Fercaya sama gue, Mil. Tanfa lo ngomong sama Dimas, Dimas sudah tahu…. Trust me, Mil….”

“Sungguh?”

“Ya. Dan elo musti makin kuat nanamin rasa cinta pada Dimas…. Lo bisa jadian sama Dimas kalau Dimas udah futus dengan Stella. Tapi lo nggak mo doain Dimas futus dengan Stella kan? Mereka berdua udah klop. Nggak ada froblem…”

Kamila tertunduk sedih.

“Jadi?”

“Jadikan Dimas jadi seberkas sinar yang menyinari hati lo. Tanfa lo harus memiliki sinar itu…”

Kamila mengangguk. “Makasih, Sya. Kata-kata lo puitis banget….”

Dan esoknya pagi-pagi Kamila jadi hepi nggak kepalang. Baru bangun, buka mata, ia melihat ada sms dari Dimas di hape-nya.

Kamila, have a nice day ya! Pulang sekolah, gue tunggu di toko buku seperti biasa.

Wah, Kamila jadi mabuk kepayang nggak kepalang.

Sepanjang hari, di sekolahan Kamila jadi semangat banget. Wajahnya penuh senyum. Membayangkan hari ini bertemu dengan cowok yang ia anggap sempurna di matanya.

Biarkan Waktu... (2)

Chapter 2
Perhatian Dimas


Yang barusan itu tadi baru prolog.

Yang jelas selama ini Kamila memang jatuh cinta banget dengan Dimas, kakak kelasnya yang di mata Kamila cakepnya nggak ketulungan. Bahasa romantisnya, kharisma dalam diri Dimas luar biasa.

Tapi Kamila tahu kalau Dimas sudah punya cewek.

Ya, Kamila dan Dimas memang sangat dekat dan bersahabat. Kamila merasa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang luar biasa dari Dimas. Setiap pagi selalu ada SMS masuk dalam hp Kamila. Walau hanya sebatas bertanya, how ‘bout this day?

Tapi hal kecil seperti itu bagi Kamila udah luar biasa.

Maklum, semua itu nggak pernah ia dapetin dari Andhika, yang udah jadi cowoknya sejak kelas 1 SMP. Andhika terlalu cuek. Asyik dengan dirinya sendiri. Nggak pernah perhatian pada Kamila apalagi manjain.

Dan perhatian Dimas bagi Kamila adalah hal yang sangat luar biasa. Hingga Kamila tahu kalau ternyata Dimas memang sering melakukan itu pada beberapa temen cewek lain.

Itu yang membuat Kamila kecewa.

Biarkan Waktu... (1)

Chapter 1
Perasaan Kamila


“Gue down banget, Sya…” kata Kamila dengan tangan terus mencorat-coret buku diary-nya pada Syafa, sahabat karibnya. Syafa menatap Kamila bingung.

“Subhanallah. Kenafa?” Tanya Syafa.

“Duh, Sya… ayo dong latihan. Kamu sudah di Indonesia. Bukan tinggal di Arab Saudi lagi. Kok masih juga nggak bisa ngucapin huruf p?” ucap Kamila gemes.

“Allahu akbar. Duh, gue nggak bisa. Gue kan keturunan Arab, Mil….” Jawab Syafa polos.

“Iya. Tapi kan nggak harus seperti itu. Bilang Pizza, Fizza. Nggak papa jadi nggak fafa….”

“Iya, iya….Gue coba deh. Trus ngafain lo down lagi? Kayak listrik aja sering down? Nanti gue fasangin stabilizer, baru tahu rasa….” Kata Syafa lagi. Tetep pake f. Bukan p.

“Sya, lo tahu kan kalau gue ada hati sama si Dimas?”

“Astaghfirullah…. Ya tahu dong. Lo kan naksir banget si Dimas…”

“Iya, trus?”

“Ternyata, I am only one of them. He treats me not as special as I look at him, I am like another girl he has….” Kata Kamila dengan mata berkaca-kaca.

Syafa berdiri.

“Mau ke mana! Gue belum selesai curhat….”

“Ambil kamus. Gue nggak ngerti kalau lo ngomong fake bahasa Inggris…”

“Nggak usah deh, nggak usah. Gue terjemahin. Maksud gue, ternyata bagi Dimas gue bukan satu-satunya cewek yang dekat dengan dia. Gue bukan cewek spesial si Dimas….” Kata Kamila sedih.

“Nggak fafa, Mil… Dimas memang bukan cowok elo kan? Kamu bilang dia hanya teman tapi mesra….”

“Tapi gue cinta Dimas, Sya….”

“Iya. Tafi lo juga udah jadian sama Andhika dan Dimas udah punya cewek, Stella….”

“Iya… Tapi rasa ini nggak bisa gue enyahkan. Gue suka mikirin dia. Dia nyaris sempurna di mata gue, Sya. Dia cakep, keren, pinter, jago basket….”

“Gue ngerti, Mil. So what gitu loh… Lo harus ‘bumbata’. Buka mata buka telinga. Si Dimas udah punya cewek. Biar namanya kayak pengharum ruangan, tapi Stella juga manusia….”

“Trus gimana dong, Sya…. Gue nggak bisa lari dari rasa ini. Setiap saat gue pengen ketemu dia, pengen sms dia, pengen denger kabar dia….”

“Nggak fafa…. Lo jangan mellow ya? Lo musti terus fufuk rasa cinta lo pada Andhika. Lo kan belum putus sama Andhika….”

“Sya, gue sedih…. Ajak gue ke mana aja lo pergi. Biar suntuk gue ilang….”

“Masyaallah. Ke mana? Lihat fentas tari ferut?”

“Ih, yang bener dong. …”

“Subhanallah… Mil, saran gue, mending lo ngomong sama Dimas apa adanya….”

“Bahwa gue cinta dia? Nggak, Sya. Cukup rasa itu gue aja yang miliki. Gue memang harus terima kenyataan bahwa Dimas bukan milik gue….” Kata Kamila.

“Bagus. Kata fak ustad, kamu adalah cewek yang sabar. Sabar itu dicintai Allah. Berarti kamu hamba yang dicintai Allah. Subhanallah…. Alhamdulillah. Allahu akbar….” Kata Syafa panjang lebar.

“Sya… lo banyak zikirnya kalau ngomong. Lo emang udah ngebet banget pengen jadi ahli surga ya nanti…” kata Kamila.

“Amin, amin. Betul. Abi gue yang ngajarin. Di mana-mana kita kan harus berzikir. Ingat Allah….”

“Tapi lebih baik disimpan dalam hati aja zikirnya. Nanti orang bilang, mentang-mentang keturunan Arab…. Dikira riya’ lho…”

“Innalillah. Betul lo, Mil. Alhamdulillah lo udah ingetin gue….”

Biarkan Waktu... (Sinopsis)

Biarkan Waktu…
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Rabu <> 120510, 0848AM)



Biarkan Waktu…
Chapter 1 Perasaan Kamila
Chapter 2 Perhatian Dimas
Chapter 3 Harapan Kamila
Chapter 4 Biarkan Waktu Yang Menjawabnya


Sinopsis

Yang jelas selama ini Kamila memang jatuh cinta banget dengan Dimas, kakak kelasnya yang di mata Kamila cakepnya nggak ketulungan. Bahasa romantisnya, kharisma dalam diri Dimas luar biasa.

Tapi Kamila tahu kalau Dimas sudah punya cewek.

Ya, Kamila dan Dimas memang sangat dekat dan bersahabat. Kamila merasa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang luar biasa dari Dimas. Setiap pagi selalu ada SMS masuk dalam hp Kamila. Walau hanya sebatas bertanya, how ‘bout this day?

Tapi hal kecil seperti itu bagi Kamila udah luar biasa.

Maklum, semua itu nggak pernah ia dapetin dari Andhika, yang udah jadi cowoknya sejak kelas 1 SMP. Andhika terlalu cuek. Asyik dengan dirinya sendiri. Nggak pernah perhatian pada Kamila apalagi manjain.

Dan perhatian Dimas bagi Kamila adalah hal yang sangat luar biasa. Hingga Kamila tahu kalau ternyata Dimas memang sering melakukan itu pada beberapa temen cewek lain.

Itu yang membuat Kamila kecewa.



Tokoh Biarkan Waktu…

Syafania Kirana (Syafa)
Sementara itu di rumahnya yang bergaya Timur Tengah, Syafa baru saja selesai sholat, masih pake mukena, berdoa dengan khusyu’ untuk sahabatnya, “Ya Allah, jika Dimas adalah yang terbaik bagi Kamila, fertemukan mereka dalam naungan cinta sejati-Mu….”
Dan Syafa pun juga tak kalah menangis, tergugu.
Kini masing-masing hanya mampu menunggu waktu….

Kamila Callystania (Kamila)
Sama persis seperti yang dirasakan Kamila. Ketika ia hanya ingin ucapkan, Dimas I love U, itu juga sangat berat baginya. Sementara Kamila sangat suka cowok yang energik, nggak males, care dengan dia. Dan semua itu nggak pernah ia dapetin dari Andhika yang terlalu asyik dengan dirinya sendiri.

Tapi keduanya mencoba bertahan, menjaga komitmen masing-masing yang sudah terbangun terlebih dahulu. Tanpa diucapkan secara langsung melalui kata-kata, keduanya memiliki sikap yang sama. Mencoba setia dengan apa yang sudah dijalani. Mengorbankan perasaan dan rasa cinta yang lebih kuat tercipta. Andai keduanya tahu saat itu keduanya sama-sama dalam konflik batin yang amat dalam…. Ingin menyatukan cinta dalam satu kebersamaan, namun dipupuskan agar tidak menyakiti hubungan yang sudah lebih dahulu terbangun….


Dimas Prasetya (Dimas)
Cinta itu memang misteri yang tidak dapat terpecahkan oleh siapa pun. Andai Kamila tahu, sebenarnya pertemuan tadi, Dimas ingin mengatakan pada Kamila, bahwa ia sangat mencintai Kamila. Andai mungkin Dimas lebih memilih Kamila daripada Stella. Tapi Dimas mencoba tetap setia pada komitmennya dengan Stella.

Berhari-hari Dimas kepikiran sosok Kamila yang di mata Dimas sangat mandiri dan smart. Dimas hanya ingin Kamila tahu bahwa ia, sangat mencintai Kamila. Walau Dimas tahu, saat ini keduanya nggak mungkin bisa bersatu…. Tapi ternyata hari itu mulut Dimas terasa terkunci. Ia tak mampu mengutarakan isi hatinya.

Dalam hati Dimas berkata, andai Kamila tahu betapa ia merasa kurang nyaman dengan Stella karena Stella bukan cewek idamannya. Stella bener-bener seperti kucing anggora yang hanya suka dandan dan sangat manja. Sementara cewek idaman Dimas adalah cewek yang mandiri dan nggak manja-manja amat.

Tapi keduanya mencoba bertahan, menjaga komitmen masing-masing yang sudah terbangun terlebih dahulu. Tanpa diucapkan secara langsung melalui kata-kata, keduanya memiliki sikap yang sama. Mencoba setia dengan apa yang sudah dijalani. Mengorbankan perasaan dan rasa cinta yang lebih kuat tercipta. Andai keduanya tahu saat itu keduanya sama-sama dalam konflik batin yang amat dalam…. Ingin menyatukan cinta dalam satu kebersamaan, namun dipupuskan agar tidak menyakiti hubungan yang sudah lebih dahulu terbangun….

Akhir Perjalanan (3-End)

Chapter 3
Akhir Dari Segalanya


9 Mei pukul 17.05

Bima tersenyum lebar dan melonjak gembira. Ia tak perlu menunggu terlalu lama. Dilihatnya gadis itu tengah menyeberang jalan dan susah-payah berkelit dari padatnya lalu lintas di depan Balaikota pada sore hari.

“Adelia!” Bima berteriak sambil melambaikan tangannya ketika gadis itu telah berhasil menyeberangi jalan.

Adelia, gadis itu, memutar kepala untuk menemukan darimana panggilan itu berasal. Demi dilihatnya Bima berdiri di bawah pohon rindang itu, tanpa ragu lagi Adelia berlari menghampirinya.

Di bawah pohon yang rindang itu keduanya berpelukan erat. Erat sekali..

TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovwl-lovers86.blogspot.com


Akhir Perjalanan (2)

Chapter 2
Keyakinan Bima


Di Indramayu bis malam antar kota itu berhenti di restoran untuk memberi kesempatan pada semua penumpang untuk makan malam. Bima dan Adelia duduk berhadapan di salah satu sudut, menyantap menu pilihan masing-masing.

“Kenapa nggak ngajak cowokmu untuk menemanimu? Atau jangan-jangan kalian backstreet?”

“Oh, no! Nggak gitu! Dia cowok yang super-sibuk dengan kuliah dan seabreg kegiatan akademisnya. Tapi giliran dia yang punya mau, aku yang harus mengalah.”

“Kasihan. Itu namanya egois, maunya memang sendiri. Kamu pasti tertekan jadi pacarnya.”

“Biasa aja.” Adelia mengaduk-aduk isi piringnya dengan gerakan sendok yang tak beraturan.

“Mungkin sudah saatnya kamu mengalihkan perhatian.”

“Maksudmu?” Adelia menatap cowok tampan di depannya tanpa berkedip.

“Mungkin kamu lebih tepat jika punya cowok yang lebih fresh. Yang masih SMA, yang nggak terlalu sibuk dan... tampan seperti aku.”

Adelia terbelalak dan kemudian melemparkan segumpal tisu yang persis mengenai wajah Bima.

“Kamu memang cowok yang aneh dan bikin aku suka kaget-kaget dengan candamu.”

“Tapi suka, kan?”

“Suka,” jawab Adelia tanpa bisa dibendung. “Tapi... Sony juga baik dan setia.”

“Baik dan setia...? A-ha! Bukankah kamu habis bertengkar dengannya lagi?”

Adelia tersentak. Wajahnya seketika merah padam.

“Sorry, Del. Tadi aku membuntuti kamu pas kamu ke toilet dan aku menguping pembicaraanmu lewat telpon.”

“Kamu jangan suka menguping kemudian berprasangka buruk,” desis Adelia.

“Apa yang kamu pikirkan jika kamu mendengar nada ucapan yang keras dan bentakan?” desak Bima.

“Kadang pacaran memang nggak selalu mulus. Ada aja kerikil-kerikil kecil yang.... Ah, cuma kesalahpahaman kecil yang nggak berarti.” Adelia masih mengaduk-aduk isi piringnya dan kemudian menyingkirkan piring itu. Ia minum air putih segelas penuh.

Setengah jam kemudian bis malam meninggalkan Indramayu. Bima dan Adelia kembali duduk berdampingan, mengabaikan waktu dan jam tidur, untuk bicara. Mereka bicara tentang sekolah, pelajaran ekstra kurikuler yang membosankan, musik, televisi, film Indonesia yang semakin latah dan banyak lagi. Sesekali tawa keras Bima membangunkan seorang ibu tua yang telah tertidur tak jauh dari posisi mereka. Sesekali pula jeritan kaget Adelia mengusik orang-orang di depannya.

“Kenapa kita nggak ketemu setahun yang lalu ketika kamu belum punya Sony? Apakah Solo terlalu luas?”

“Pasti karena kita nggak berjodoh.”

“Kamu yakin bahwa Sony adalah jodoh kamu? Sony yang temperamental itu? Kenapa kamu nggak berpikir bahwa jodohmu baru saja kamu temukan?”

“Ah, jangan kelewatan!”

“Siapa yang tahu, Del? Mungkin aja perjumpaan kita yang nggak kita duga ini adalah sebuah awal...”

“Sadarlah, Bim! Ada Sony yang pagi nanti menjemputku di terminal!”

Tiba-tiba Bima berteriak dan mendorong wajah Adelia ke jendela. “Lihat! Ada bintang jatuh! Mintalah sesuatu, Del. Make a wish!”

Adelia menegaskan pandangannya ke luar jendela, ke langit malam yang pekat di luar sana.

“Tadi aku sempat melihatnya, Del! Sebuah bintang jatuh. Cukup besar dan sinarnya amat tajam.”

“Dan kamu mengucapkan permintaan dalam hati?”

“Ya. Aku ingin suatu hari kita ketemu dan...”

“Lupakanlah, Bim! Kita hanya bertemu dan berteman selama perjalanan ini. Setelah turun dari bis ini di terminal Solo nanti, kita akan saling melupakan. Nggak ketemu, nggak berhubungan. Nggak ada telepon, meski sekedar say hello. Cerita kita berakhir pagi hari nanti.”

“Ya, baiklah. Aku menghormati keinginanmu. Tapi... aku akan menunggu kamu pada tanggal 9 Mei, jam 5 sore di depan Balaikota Solo. Kamu paham tempat itu?”

“Kamu?”

“Ya. Tepat sebulan lagi, aku menunggumu. Jam 5 sore, aku pasti ada di depan Balaikota pada tanggal 9 Mei nanti. Aku siap untuk kecewa jika kamu nggak datang menjumpaiku. Tapi... datanglah jika kamu memang ingin bertemu denganku.”

“Lupakanlah angan-angan gilamu itu, Bim. Kamu akan melakukan hal sia-sia yang hanya akan membuatmu kecewa. Aku memiliki Sony.”

“Kamu akan merindukan aku.”

“Aku akan melupakan kamu karena hari-hariku selalu terisi Sony. Kita cuma punya semalam yang menyenangkan dan harus dilupakan.”

“Andai nggak ada Sony, kamu akan datang menjumpaiku?” Adelia terlihat bimbang dan akhirnya ia benar-benar tidak menjawab.

Bima menghela nafas panjang. “Aku akan menantimu di depan gedung Balaikota. Di bawah pohon yang rindang itu ... 9 Mei pukul 5 sore waktu Indonesia bagian barat.”

Adelia tetap membisu.

Waktu seolah berlari lebih cepat dari lajunya bis malam antar kota. Setidaknya itulah yang Bima rasakan ketika tahu-tahu bis telah memasuki batas kota Solo bagian barat.

Adelia mengambil ponsel-nya dan menelpon seseorang.

“Aku sudah hampir tiba. Kamu udah di terminal, kan?”

Kurang dari setengah menit Adelia sudah mengantongi kembali teleponnya.

“Mana nada-nada rindu itu, Del? Cowok setiamu tetap kesal dan uring-uringan? Menjemputmu dengan setengah hati?”

Adelia tertunduk, menyembunyikan mendung di wajahnya. Untunglah suasana di dalam bis amat temaram. Andai lampu di dalam bis dinyalakan, pastilah Bima mengetahui sepasang mata yang buram itu.

“Aku menunggumu di tempat itu, Del ...” bisik Bima. “Kamu boleh datang atau tidak sama sekali. Aku siap kecewa.”

Pukul 5 pagi. Bis malam antar kota itu akhirnya memasuki terminal Tirtonadi Solo. Bima meraih dan menjabat tangan Adelia sebelum Adelia meraih tas punggungnya yang ada di bawah bangku.

“Sampai ketemu sebulan lagi, Del ...”

“Terima kasih untuk perjalanan yang menyenangkan,” bisik Adelia seolah tak menghiraukan ucapan Bima.

Bima membiarkan Adelia mendahuluinya turun dari atas bis. Bima membuntuti langkahnya dengan jarak yang cukup jauh.

Bima melihat gadis itu melangkah lesu. Rambut panjangnya tergerai dipermainkan oleh angin pagi yang bertiup cukup keras. Seseorang menyeruak dari segerombol orang di tepian sana. Cowok itu berdiri menunggu. Bima yakin, cowok itu adalah Sony. Adelia menghampiri cowok itu, menyentuh lengannya dengan ragu. Keduanya telah berdiri berhadapan dan kini saling bicara. Bima terus melangkah dan sebentar kemudian melewati keduanya. Bima tak ingin menoleh apalagi menyapa Adelia. Ia terus melangkah dan membisu, meski hatinya amat ingin meneriakkan nama Adelia.

Serangkaian kalimat terdengar lapat-lapat di telinga Bima.

“Lain kali kamu harus bicara, Del! Emangnya kamu ini siapa? Wonder Woman, hah?!”

Bima menoleh dan melihat Adelia tengah ditunjuk-tunjuk wajahnya oleh Sony. Adelia hanya menunduk dalam-dalam.

Bima mempercepat langkahnya, keluar dari terminal dan menghampiri taksi. Ia benar-benar tak ingin menoleh lagi.

Akhir Perjalanan (1)

Chapter 1
Teman Seperjalanan


Bima berdiri memberi jalan setelah yakin gadis itu memang hendak duduk di sebelahnya. Ia sengaja mengalah, mempersilakan gadis itu duduk di dekat jendela. Setahunya, penumpang bis lebih suka duduk di dekat jendela. Sebuah tindakan awal yang diharapkan bisa menumbuhkan simpati.

Bima tersenyum lagi.

“Kok senyum-senyum sendiri?” tegur gadis itu setelah duduk dan seketika membuat Bima makin lega dan gembira. Setidaknya ia punya teman seperjalanan yang tidak hanya cantik tetapi juga ramah dan suka bicara. Bima berharap, perjalanan semalam dengan bis antar kota ini tidak membosankan seperti biasanya.

“Kok kamu nanya begitu?” Bima balik bertanya.

“Heran aja,” kata gadis itu sambil menyempurnakan posisi duduknya. “Kamu senyum-senyum terus.”

“Aku cuma merasa senang dan lega aja. Bukankah lebih enak duduk berdampingan dengan seorang cewek cantik yang enak diajak bicara daripada seorang nenek yang tidur mendengkur?”

Gadis itu tersenyum tipis. “Jangan berharap lebih.”

“Maksudmu?”

“Mungkin aku akan tidur dan mendengkur lebih keras dari dugaanmu.”

Sebuah jawaban yang bagi Bima mengisyaratkan keramahan sekaligus kecerdasan.

“Kamu ke Solo?”

“Tentu aja. Memangnya bis ini mau ke mana?”

“Bisa aja kamu turun di Pekalongan, Semarang atau ...”

“Yogyakarta. Kamu?”

“Sama.”

“Tinggal di Solo?”

“Sekolah di sana. Aku tinggal bersama tanteku yang single parent. Sebulan sekali aku kembali ke rumah. Kamu?” Hati Bima semakin gembira. Jelas, ia punya teman seperjalanan yang enak diajak bicara.

“Aku tinggal di Solo.”

“Jadi kamu pulang setelah mengunjungi Jakarta? Seorang diri, cewek secantik kamu... nggak takut?”

“Aku sudah beberapa kali melakukan perjalanan seperti ini. Ada salah seorang sepupuku yang menikah dan aku menghadiri pestanya.”

“Sendiri?”

Gadis itu tersenyum getir. “Mewakili ortu yang... biasa, sibuk!”

“Kamu cewek pemberani.”

Gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku jins-nya. Menelepon seseorang.

Ia bicara cukup keras untuk mengimbangi bisingnya terminal Pulogadung yang menerobos ke dalam bis.

“Aku udah di atas bis dan segera berangkat. Jangan lupa jemput ya.... Jam berapa? Entahlah... nanti aku telepon setelah dekat Yogyakarta.” Gadis itu menutup sebelah telinganya. “Apa? Apa? Jangan gitu, dong! Please, kamu harus jemput aku. Nanti aku telepon lagi pas berhenti makan.”

Gadis itu menyudahi pembicaraan dan sesaat terlihat kesal.

“Kakakmu yang juga sibuk?” usik Bima.

“Cowokku.”

“Ooo...”

“Dia masih marah dengan kencan kami terganggu karena aku harus berangkat ke Jakarta agak mendadak.”

“Dia pasti menyesal.”

“Kenapa?”

“Sayang kalau sampai kehilangan gadis secantik kamu.”

Gadis itu menoleh dan menatap Bima sambil mendekap mulutnya untuk menyembunyikan tawa kecilnya. “Kamu merayuku? Sudah tiga kali kamu memujiku. Kamu tipe cowok yang gampang mengobral pujian!”

“Hanya ingin jujur aja.”

“Cewekmu pasti senang menerima pujianmu.”

Bima tertawa sengau. “Kami putus dua bulan yang lalu. Sekarang aku jomblo. Coba tebak, kenapa aku putus sama pacarku?”

“Kamu selingkuh? Mengobral pujian untuk cewek lain?”

“Bukan! Semakin lama dekat dengannya aku semakin nggak bisa memujinya.”

Gadis itu mengkerutkan keningnya, pertanda ia agak sulit mengartikan ucapan Bima.

Percakapan semakin seru. Mereka telah bertukar nama. Bis antar kota itu telah meninggalkan senja Jakarta.

“Kenapa aku nggak boleh tahu nomor telponmu, Del?”

“Nggak usah, Bim. Aku udah ada yang punya dan nggak ingin menebar benih masalah.”

“Pikirmu aku ini biang masalah?” Bima menyeringai. “Cowokmu cemburuan?”

“Jujur, kamu cowok yang menyenangkan, setidaknya sebagai teman seperjalanan. Tapi aku nggak ingin kamu muncul di antara aku dan Sony.”

“Kamu takut aku akan menyaingi Sony-mu? Membuatmu bimbang?”

“Jangan takabur!” Adelia berkata sengit.

Bima tertawa puas.

Akhir Perjalanan (Sinopsis)

Akhir Perjalanan
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Selasa <> 110510, 0410PM)



Akhir Perjalanan
Chapter 1 Teman Seperjalanan
Chapter 2 Keyakinan Bima
Chapter 3 Akhir Dari Segalanya


Sinopsis

Bima berdiri memberi jalan setelah yakin gadis itu memang hendak duduk di sebelahnya. Ia sengaja mengalah, mempersilakan gadis itu duduk di dekat jendela. Setahunya, penumpang bis lebih suka duduk di dekat jendela. Sebuah tindakan awal yang diharapkan bisa menumbuhkan simpati.

Bima membiarkan Adelia mendahuluinya turun dari atas bis. Bima membuntuti langkahnya dengan jarak yang cukup jauh.

Bima melihat gadis itu melangkah lesu. Rambut panjangnya tergerai dipermainkan oleh angin pagi yang bertiup cukup keras. Seseorang menyeruak dari segerombol orang di tepian sana. Cowok itu berdiri menunggu. Bima yakin, cowok itu adalah Sony. Adelia menghampiri cowok itu, menyentuh lengannya dengan ragu. Keduanya telah berdiri berhadapan dan kini saling bicara. Bima terus melangkah dan sebentar kemudian melewati keduanya. Bima tak ingin menoleh apalagi menyapa Adelia. Ia terus melangkah dan membisu, meski hatinya amat ingin meneriakkan nama Adelia.

Bima tersenyum lebar dan melonjak gembira. Ia tak perlu menunggu terlalu lama. Dilihatnya gadis itu tengah menyeberang jalan dan susah-payah berkelit dari padatnya lalu lintas di depan Balaikota pada sore hari.

Di bawah pohon yang rindang itu keduanya berpelukan erat. Erat sekali..



Tokoh Akhir Perjalanan
Bima Antasena (Bima)
“Mungkin kamu lebih tepat jika punya cowok yang lebih fresh. Yang masih SMA, yang nggak terlalu sibuk dan... tampan seperti aku.”
“Kenapa kita nggak ketemu setahun yang lalu ketika kamu belum punya Sony? Apakah Solo terlalu luas?”
“Kamu yakin bahwa Sony adalah jodoh kamu? Sony yang temperamental itu? Kenapa kamu nggak berpikir bahwa jodohmu baru saja kamu temukan?”
“Siapa yang tahu, Del? Mungkin aja perjumpaan kita yang nggak kita duga ini adalah sebuah awal...”
Tiba-tiba Bima berteriak dan mendorong wajah Adelia ke jendela. “Lihat! Ada bintang jatuh! Mintalah sesuatu, Del. Make a wish!”
“Ya, baiklah. Aku menghormati keinginanmu. Tapi... aku akan menunggu kamu pada tanggal 9 Mei, jam 5 sore di depan Balaikota Solo. Kamu paham tempat itu?”
“Ya. Tepat sebulan lagi, aku menunggumu. Jam 5 sore, aku pasti ada di depan Balaikota pada tanggal 9 Mei nanti. Aku siap untuk kecewa jika kamu nggak datang menjumpaiku. Tapi... datanglah jika kamu memang ingin bertemu denganku.”




Adelia Florenza (Adel)
“Kamu memang cowok yang aneh dan bikin aku suka kaget-kaget dengan candamu.”
“Kamu jangan suka menguping kemudian berprasangka buruk,” desis Adelia.
“Kadang pacaran memang nggak selalu mulus. Ada aja kerikil-kerikil kecil yang.... Ah, cuma kesalahpahaman kecil yang nggak berarti.” Adelia masih mengaduk-aduk isi piringnya dan kemudian menyingkirkan piring itu. Ia minum air putih segelas penuh.
“Lupakanlah, Bim! Kita hanya bertemu dan berteman selama perjalanan ini. Setelah turun dari bis ini di terminal Solo nanti, kita akan saling melupakan. Nggak ketemu, nggak berhubungan. Nggak ada telepon, meski sekedar say hello. Cerita kita berakhir pagi hari nanti.”
“Lupakanlah angan-angan gilamu itu, Bim. Kamu akan melakukan hal sia-sia yang hanya akan membuatmu kecewa. Aku memiliki Sony.”

Mimpi Romantis Nadila (3-End)

Chapter 3
Cuma Mimpi


Oh God, cowok itu datang lagi. Nadila memekik histeris dan langsung menutup buku-bukunya dan tersenyum menyambut Ryan yang makin hari tambah keren di matanya.

“Hai Ryan,” sapa Nadila.

Cowok itu menoleh cepat. “Hai juga!”

Nadila memandang cowok itu dengan mata berbinar bak ribuan lampu. “Pesta dansanya gimana? Katanya mau ngajak aku, kapan dong?” tanyanya mengingatkan ajakan yang belum diucapkan Ryan kemarin.

“Pesta dansa?” tanya balik Ryan.

Nadila mengangguk pelan. “Pesta dansa berpasang-pasangan, dengan baju yang seksi,” ujar Nadila masih dengan senyumnya, melihat Ryan masih heran, Nadila melayangkan beberapa kali kibasan tangannya di depan wajah Ryan, dengan harapan Ryan tahu bahwa dia tak akan menolak ajakan Ryan.

“Oh… itu!? Ya ampun… gue lupa!” Ryan tampak baru mengerti. Ryan meneliti Nadila dari ujung kepala hingga sepatunya. Cewek berpenampilan aneh ini ge-er, gak nyambung, pikirnya. Cewek yang sehari-hari tenggelam di perpustakaan dengan rambut di kepang, kaos kaki belang-belang, wajahnya hitam banyak jerawat, bentuk pipinya yang menonjol, matanya yang seperti tak berkelopak… ah, kasihan.

“Kamu mau tahu siapa yang aku ajak?” Ryan tak ingin mengasihani cewek ini, percuma pikirnya.

Nadila mengangguk senang, matanya kian besar membola. Tentu saja kamu akan mengajakku kan sayang, aku tahu dari sorot matamu yang terpesona melihatku. Ayo katakan sayang, bisik hatinya tak sabar. Saat yang kutunggu-tunggu telah tiba, Nadila merasa tubuhnya mulai berkeringat, butiran besar-besar segede jagung hingga membasahi kemejanya. Ah... bahagianya aku….

“Aku akan mengajak Nayshila.”

Deg! Wajah Nadila langsung menegang dan bibirnya yang tebal membuka. Apa dia bilang? Tanya hati Nadila ragu. Ah pasti aku salah dengar, dia pasti tadi bilang Nadila.

“N-A-D-I-L-A?” ujar Nadila membenarkan.

Ryan menggeleng.

“Bukan kamu, tapi Nayshila, memang namanya mirip nama kamu?” Lalu Ryan menoleh keluar.

“Nah itu dia anaknya, akan kukenalkan sama kamu ya? Dil!” Ryan bergegas keluar.

Nadila merasa kepalanya pening, matanya kunang-kunang, darah rendahnya tiba-tiba kumat pula. Angan-angan indahnya langsung hancur berderai. Jantungnya terasa ditikam belati. Dia tiba-tiba melihat pangerannya digandeng seorang gadis cantik, tersenyum padanya.

Dan….

Brrruukkk!!!

Ryan masuk kembali.

“Nadila, kenalkan ini Nayshila,” ujar Ryan seraya menggandeng Nayshila, tapi seketika senyumnya menghilang.

“Lho mana dia? Kok menghilang tiba-tiba?” Ryan dan Nayshila mencari-cari.

“Siapa sih Ryan, cewek yang sering di sini?”

“Iya.”

“Ngapain kamu tiba-tiba perhatian sama dia, si kutu buku itu aneh, gak suka gaul sama anak-anak.”

“Tapi dia baik kok, dia ngerti banyak tentang buku.”

“Udah deh, kita pergi yuk, lagian perpustakaan ini katanya serem.” Nayshila cepat menarik tangan Ryan keluar.

Nadila tengah pingsan di lantai di bawah meja yang sering didudukinya. Tapi di dalam pingsannya, Nadila sedang digandeng Ryan menuju tempat pesta. Dia akan berdansa bersama Ryan malam ini.




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com



Mimpi Romantis Nadila (2)

Chapter 2
Pangeran Impian Nadila


Cowok keren yang bernama Ryan itu muncul lagi esok harinya, Nadila yang tengah sibuk dengan buku-buku yang dipinjamnya langsung tersenyum bahagia.

“Pagi,” sapa Nadila dengan ramah.

Eh kamu, pagi juga,” balasan yang tak kalah ramah.

“Gimana All About Love-nya? Udah baca?”

“Belum, eh kamu tiap hari nongkrong di sini deh kayaknya?” Nadila terlonjak senang, dia merasa diperhatikan.

“Aku suka buku, jadi tempat ini surga buatku. Saking seringnya aku di sini, anak anak kalau nyari buku pasti nanyanya ke aku.”

“Asyik dong, buku kan menambah wawasan.”

“Wah iya, orang yang suka buku kalo ngomong asyik, banyak pengetahuannya dan gak kuper. Kamu mau minjam buku apa?” Nadila memandang lekat-lekat wajah di depannya, dan angannya melayang lagi.

Cowok itu mencium pipinya….

Tapi cowok itu meninggalkan Nadila dan melihat-lihat rak buku.

“Aku punya buku bagus yang baru aja kubaca,” rayu Nadila dan dia berharap kalau cowok itu antusias dengan bukunya, dia pasti akan punya banyak waktu untuk ngobrol dan tentu pula angan-angannya akan semakin panjang... jang... jang… jang…

“Mm… sebenarnya aku lagi gak tertarik sama buku, aku lagi janjian di sini sama seseorang.”

“Menunggu seseorang?” tanya Nadila, jantungnya berdebar.

Nadila seketika kecewa. Siapa yang ditunggu pangeranku? Ceweknya kah? Tapi Nadila cepat berpikir nyari untungnya dulu sambil ngedoain yang ditunggu cowok itu nggak datang, dia akan memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk memandang wajah pangerannya lekat-lekat, hingga siapa tahu dia bernafsu untuk memeluk dan menciumnya barang sekejap di perpustakaan yang sepi ini.

“Sambil menunggu maukah kamu membaca buku ini?” Nadila menawarkan buku romance yang sedikit agak-agak liar yang pernah nyasar ke perpustakaan ini, dia berharap Ryan mengerti sinyal yang dilemparkannya.

Ryan melirik jam tangannya, dia kemudian menoleh kepada Nadila dan buku itu.

“Kamu semangat banget supaya aku tertarik dengan bukumu?” Senyum Ryan menggoda.

Wajah nadila merah padam, tapi hatinya senang Ryan bisa menangkap keinginannya.

“Tapi aku nggak konsen nih, aku lagi janjian soalnya. Lain kali aja ya?”

“Iya deh… tadi kamu janjian jam berapa?”

“Ya jam sekarang!” cowok itu mengacuhkan Nadila dan berdiri ke dekat jendela perpustakaan, lalu dia mondar-mandir gelisah sambil melihat-lihat keluar.

Nadila pelan-pelan mendekati. Angan-angannya lalu melayang, cowok itu akan mengusap wajahnya hingga kulit wajahnya yang hitam menjadi putih, dan ladang jerawatnya terhapus semua.

Cowok itu terlihat heran saat dia melihat Nadila sudah berdiri di belakangnya, Nadila gugup dan serba salah, tapi kemudian cowok itu tersenyum, senyumnya cute banget, kumis halusnya begitu indah.

“Kamu suka pesta…?”

“Pesta?”

“Ya, Pesta dansa!”

“Pesta dansa? Wah aku suka sekali itu, pesta kan selalu menyenangkan, saling berpasang-pasangan dan berpakaian seksi.” Nadila tertawa kecil.

“Anak-anak di kelas kami minimal sebulan sekali bikin acara pesta.”

Nadila ingat mimpinya berdansa dengan Ryan. Ryan yang mengajaknya turun melantai. Wah... mimpi-mimpiku akan jadi kenyataan, pikir Nadila girang.

“Nanti kamu aku undang, mau?”

Nadila langsung memegang tangan cowok itu. “Mau dong, kapan?”

“Kapan-kapan ya,” Ryan langsung melepaskan tangan Nadila.

“Ng….” Nadila melirik malu-malu. “Aku pergi sendirian?” tanyanya semakin berani.

“Tentu saja nggak.”

“Sama kamu?”

“Yah terserah kamu….”

Sheila memekik senang dalam hati, dia pun ge-er. Dia berpikir cowok itu juga sedang melancarkan rayuan-rayuan yang menjurus mewujudkan angan-angannya. Sebentar lagi Ryan akan bilang “Aku ingin mengajakmu ke pesta dansa, kamu mau?”

“Mau!” teriak Nadila dengan gembira.

Kening Ryan berkerut heran.

“Apa kamu bilang?”

Nadila kaget dan malu. Pangerannya belum ngajak kok udah teriak mau. Nadila buru-buru tersenyum.

“Kalau kamu ngajak, pasti aku nggak ke mana-mana deh. Kapan?”

“Ouh,” sahut Ryan pendek, alisnya tambah berkerut kerut, lalu melirik jam tangannya lagi.

Nadila menarik napas pendek, menunggu sang pangeran mengajaknya kencan di malam pesta. Ah, dia pasti sedang gugup, pasti dia lagi nyari-nyari ungkapan yang puitis untuk mengajakku, bisik hati Nadila. Atau jangan jangan dia takut aku menolaknya. Aha, bisa jadi, ge-er hati Nadila.

Dua menit berlalu, tiba-tiba cowok itu mendekati Nadila. “Aku….”

“Ya, gimana?” tanya Nadila cepat, matanya yang besar nyaris gak punya kelopak makin gede membola.

Cowok itu diam sejenak, menatap Nadila heran. Cewek aneh dengan penampilan yang juga aneh, bisik hatinya. Tapi lain bagi Nadila. Oh God… dia menatapku, dia terpesona, pekik hatinya histeris.

“Yuk deh, aku cabut dulu ya!”

Nadila tersadar. Bukankah dia belum mengungkapkan kata-kata puitisnya untuk mengajakku? Kenapa dia tiba-tiba pergi. Ah… sial! Pasti dia mengira aku menolaknya. nadila memaki-maki dirinya sendiri, mestinya dia lebih berani lagi merayu pangeran itu.

Ah, tolol banget aku!

Mimpi Romantis Nadila (1)

Chapter 1
Sebuah Khayalan Yang Indah


Cowok keren itu memandang Nadila lembut dari lantai dansa hingga Nadila merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Cowok itu mendatanginya. Berjuta rasa menyerang Nadila, cemas, gugup, senang, grogi dan entah apa lagi.

Cowok itu kian dekat, kaki Nadila gemetar.

“Hai…”

Oh God! Dia bilang hai, pekik hati Nadila. Nadila mencoba tersenyum, tapi suaranya untuk balas menyapa dirasanya seperti bebek, nggak enak didengar.

“Aku ingin mengajakmu berdansa….”

Mengajakku berdansa? Oh God! Nadila tambah gugup, kakinya tambah gemetar, dia tak mampu mengangkat wajahnya yang dirasanya pasti merah padam kayak kepiting rebus.

Cowok itu dengan lembut menarik jari jemari Nadila, memutuskan serba salahnya.

Nadila pun bangkit, dadanya makin keras berdebar, tangan cowok itu dirasanya begitu lembut melingkar di pinggangnya, aroma parfumnya begitu menawan penciumannya, lalu dengan sabar dia menuntun langkah kaki Nadila menuruti langkah-langkahnya. Dengan tatapannya yang penuh cinta, dia berusaha menenangkan Nadila, menentramkan gemuruh jantungnya. Nadila mencoba untuk tidak terus menunduk, dia ingin juga memperlihatkan matanya yang penuh cinta. Kini kaki-kaki Nadila dan cowok itu lincah melantai, di bawah tatapan berpasang-pasang mata yang iri.

Nadila tersenyum bangga, puas, hatinya menertawakan gadis-gadis di sekelilingnya. Mereka begitu cantik dan sempurna seperti putri-putri bangsawan, pakaian-pakaian mereka bercorak indah, terbuat dari sutra, tapi malam ini akulah yang menjadi putri…Ha ha ha!

Buummmm!

Nadila nyaris terjatuh, jantungnya berdebar kencang. Ia memandang aneh ke cowok berambut kribo dan berhidung besar yang dibencinya, yang lagi mungutin buku-buku yang berjatuhan. Orang-orang di perpustakaan menoleh sambil ketawa.

“Sial” umpat hati Nadila kesal. Cowok keren bak pangeran yang tadi berdansa dengannya jadi hilang, raib entah ke mana.

Nadila mendengus membelalakkan matanya. Cowok itu selesai memunguti buku-bukunya, lalu tersenyum kepada Nadila. “Sialan lu! Kribo item jelek! Maki Nadila dalam hati.” Dia emang paling sebel sama cowok yang sering ditemuinya di perpustakaan ini.

Kembali Nadila merapikan buku-buku di rak tinggi itu.

Cowok keren bak pangeran itu muncul lagi, kini bahkan sudah memegang tangan dan mengusap gemes pipinya. Nadila memekik kegirangan, matanya memandang takjub wajah keren itu, yang hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya, Nadila membayangkan sebentar lagi sang Pangeran akan semakin mendekatkankan hidungnya dan mencium….

“Hai…!”

Nadila tersentak kaget terbangun dari mimpinya, matanya langsung melotot, dia memandang tak percaya cowok di depannya. My God! Itu pangerannya. Ia benar-benar muncul di depannya.

Cowok yang mirip Gong Yoo itu tersenyum, aduhai, jantung Nadila berdetak gila-gilaan. Cowok itu menarik buku di depan Nadila. Nadila cepat tersadar, pangerannya tertarik dengan buku-buku yang sedang dibacanya.

“Boleh aku pinjam yang ini?”

“Boleh… boleh,” jawab Nadila dengan suara bergetar.

Cowok itu mengangguk.

“Terima kasih Tuhan, Kau kabulkan doaku. Di perpustakaan ini memang tempat yang pas buat nungguin dia, karena dia memang suka baca buku. Akhirnya dia datang juga Tuhan, thanks Tuhan…”

“Kayaknya masih ada seri kedua buku ini, tapi aku nggak tahu di mana tempatnya.”

Wah kesempatan bagus nih, bisik hati Nadila girang, aku akan membantunya mencari buku itu dan perkenalan akan berlanjut, hingga suatu hari dia mengajakku kencan di sebuah pesta, berdansa dan…. Cowok itu mengikuti Nadila dari belakang, Nadila sendiri sedang berpikir, di mana tempat buku All About Love seri 2 yang dimaksudkan cowok itu, sudah beberapa hari Nadila jarang ngubek-ngubek tumpukan di beberapa rak buku karena waktunya akhir-akhir ini lebih banyak tersita untuk sebuah khayalan yang indah.

Oh, pekik Nadila pelan seperti teringat. “Saya pernah kok melihat buku itu, serinya emang banyak, All About Love, First Love….” Wajah cowok itu berubah ceria.

“Di mana tempatnya, mau dong….”

Lalu Nadila pura-pura sibuk membolak-balik tumpukan buku tak jauh dari kursinya, setelah beberapa saat mencari, tentu saja buku itu nggak ditemukan karena buku itu memang nggak ada di situ.

Nadila menarik napas pendek, terlihat kecewa. “Aku yakin buku itu pasti ada di sini sebelumnya, pasti sudah ada yang meminjamnya.”

Cowok itu tersenyum. “Ya pasti ada yang meminjamnya dong, ini kan perpustakaan.” Tiba-tiba si pangeran itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Nama saya Ryan… Adrian!”

Nah ini dia yang ditunggu-tunggu Nadila, dengan wajah sumringah disambutnya uluran tangan Ryan sambil otaknya yang penuh angan-angan bekerja cepat.

Cowok itu berusaha melepaskan tangannya dan tersenyum kikuk.

“Nama kamu siapa?”

Nadila tersadar tapi bukannya menyadari kekonyolannya yang terus memegang tangan Ryan. “Aku Nadila,” lalu dengan terpaksa dilepaskannya tangan cowok itu dengan senyum manis terus dipanteng sebagus mungkin, berharap senyumnya akan meruntuhkan hati sang pangeran.

Cowok itu tersenyum lagi. “Yuk,” katanya sambil membalikkan badan dan meninggalkan Nadila.

Nadila terpaku di tempatnya, kecewa dengan kepergian Ryan, tapi tetap ada rasa senang yang menjalari hatinya. Ah, ternyata nggak sia-sia aku bermimpi dia. Aha! Mimpiku akan jadi kenyataan. Nadila kembali duduk di tempatnya biasa bergelut dengan buku-buku, dan sesaat kemudian dia sudah meninggalkan alam nyata lagi.

Mimpi Romantis Nadila (Sinopsis)

Mimpi Romantis Nadila
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Senin <> 100510, 0254PM)



Mimpi Romantis Nadila
Chapter 1 Sebuah Khayalan Yang Indah
Chapter 2 Pangeran Impian Nadila
Chapter 3 Cuma Mimpi


Sinopsis

Cowok keren itu memandang Nadila lembut dari lantai dansa hingga Nadila merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Cowok itu mendatanginya. Berjuta rasa menyerang Nadila, cemas, gugup, senang, grogi dan entah apa lagi.

Cowok itu kian dekat, kaki Nadila gemetar.

Oh God! Dia bilang hai, pekik hati Nadila. Nadila mencoba tersenyum, tapi suaranya untuk balas menyapa dirasanya seperti bebek, nggak enak didengar.

Mengajakku berdansa? Oh God! Nadila tambah gugup, kakinya tambah gemetar, dia tak mampu mengangkat wajahnya yang dirasanya pasti merah padam kayak kepiting rebus.

Cowok itu dengan lembut menarik jari jemari Nadila, memutuskan serba salahnya.

Nadila pun bangkit, dadanya makin keras berdebar, tangan cowok itu dirasanya begitu lembut melingkar di pinggangnya, aroma parfumnya begitu menawan penciumannya, lalu dengan sabar dia menuntun langkah kaki Nadila menuruti langkah-langkahnya. Dengan tatapannya yang penuh cinta, dia berusaha menenangkan Nadila, menentramkan gemuruh jantungnya. Nadila mencoba untuk tidak terus menunduk, dia ingin juga memperlihatkan matanya yang penuh cinta. Kini kaki-kaki Nadila dan cowok itu lincah melantai, di bawah tatapan berpasang-pasang mata yang iri.

Nadila tersenyum bangga, puas, hatinya menertawakan gadis-gadis di sekelilingnya. Mereka begitu cantik dan sempurna seperti putri-putri bangsawan, pakaian-pakaian mereka bercorak indah, terbuat dari sutra, tapi malam ini akulah yang menjadi putri…Ha ha ha!



Tokoh Mimpi Romantis Nadila

Nadila Anastasya (Nadila)
Nadila memandang cowok itu dengan mata berbinar bak ribuan lampu. “Pesta dansanya gimana? Katanya mau ngajak aku, kapan dong?” tanyanya mengingatkan ajakan yang belum diucapkan Ryan kemarin.
Nadila mengangguk pelan. “Pesta dansa berpasang-pasangan, dengan baju yang seksi,” ujar Nadila masih dengan senyumnya, melihat Ryan masih heran, Nadila melayangkan beberapa kali kibasan tangannya di depan wajah Ryan, dengan harapan Ryan tahu bahwa dia tak akan menolak ajakan Ryan.


Adrian Yudhistira (Ryan)
“Oh… itu!? Ya ampun… gue lupa!” Ryan tampak baru mengerti. Ryan meneliti Nadila dari ujung kepala hingga sepatunya. Cewek berpenampilan aneh ini ge-er, gak nyambung, pikirnya. Cewek yang sehari-hari tenggelam di perpustakaan dengan rambut di kepang, kaos kaki belang-belang, wajahnya hitam banyak jerawat, bentuk pipinya yang menonjol, matanya yang seperti tak berkelopak… ah, kasihan.
“Kamu mau tahu siapa yang aku ajak?” Ryan tak ingin mengasihani cewek itu, percuma pikirnya.“Aku akan mengajak Nayshila.”

Amnesia (4-End)

Chapter 4
Kenyataan Pahit


Tiba di rumah Riana yang lumayan megah, Arjuna berkhayal, semoga rumah mama dan papa kandungnya, lebih megah lagi dari itu. Arjuna mulai nggak sabaran ingin meninggalkan dunianya yang kumuh. Dengan langkah tergesa, dia bergerak ke arah ruang tamu. Tapi saat berdiri di teras dan hendak memencet bel, aksinya tertahan. Dia mendengar suara ramai dari ruang tamu. Dia bisa mengenali suara Tasya, Nadila, dan Renata, teman sekolahnya yang boleh dibilang jatuh hati pada Arjuna. Sayang sekali, Arjuna bukan cowok yang gampangan. Jadi dibiarkan saja mereka memendam cinta.

Untung saja Arjuna nggak mudah jatuh cinta. Saat tangannya terulur kembali untuk memencet bel, tiba-tiba dia mendengar kalimat aneh dari dalam.

“Gimana reaksi Arjuna saat kamu pura-pura kenal dengannya?”

“Dasar cowok pengkhayal kelas tinggi. Dia percaya aja, kalo dirinya itu amnesia dan berasal dari keluarga kaya.”

“Kasihan ya! Emang cakep sih, tapi kalo sombong gitu. Nggak usah yeee!”

“Pasti dia udah termimpi-mimpi mau ketemu mama dan papa kandungnya. Padahal, habitatnya emang di situ. Komunitas orang pinggiran!”

“Mau terlahir sebagai anak konglomerat? Mimpi kali yeee! Kodok kok mau jadi pangeran!”

“Mana ada tuan putri yang mau cium kodok, kalau pun tahu kodok akan berubah jadi pangeran. Mending cari cowok tajir, daripada miskin tapi sombong, pengkhayal kelas tinggi!”

Tawa riuh kemudian. Arjuna melangkah meninggalkan teras rumah Riana dengan luka yang dalam. Terbayang wajah ayahnya yang marah karena dia nggak mau dianggap sebagai anaknya. Juga wajah ibunya yang merengek, melarangnya pergi, sambil bercerita jika dia benar-benar anak kandung. Masih cerita ibunya, Arjuna lahir tanpa pernah diduga kehadirannya. Setelah berpuluh tahun tak bisa hamil, bahkan tak pernah lagi berharap akan punya anak, Arjuna terlahir mengabulkan semua impian ayah dan ibunya.

Karena itu, ayah dan ibunya sangat menyayangi Arjuna. Penantian bertahun-tahun itu, juga hampir merenggut nyawa ibunya saat melahirkan Arjuna karena ibunya sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkannya. Dan bagaimana mungkin ayah bisa punya wajah seperti Rico Tampaty, Adji Pangestu, atau bintang sinetron siapa pun, jika tiap hari harus menguras tenaga di atas sadel becaknya.

Mungkin juga karena Arjuna lahir setelah bertahun-tahun diimpikan, membuat Arjuna selalu punya mimpi indah. Mimpi untuk meninggalkan dunia yang sebenarnya. Tapi sangat tak masuk akal dia meninggalkan habitatnya, karena dia adalah seekor kodok. Bukan pangeran kodok!

TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com


Kamis, 27 Mei 2010

Amnesia (3)

Chapter 3
Ayah & Ibu


“Dek, turun di mana?”

Arjuna tersentak saat sopir di sampingnya membuyarkan lamunannya. Ternyata dia sudah sampai di Terminal Daya, jauh dari rumahnya. Terpaksa sekali dia ikut pulang lagi dengan angkot yang sama karena nggak punya uang untuk pindah angkot. Untungnya sopir angkot berbaik hati mau membawanya pulang. Dan Arjuna nggak memberi ucapan terima kasih begitu saja. Dia mencermati baik-baik wajah pak sopir, bahkan mencatat nomor plat mobil, agar saat ketemu dengan mama dan papanya nanti, dia akan datang mencari sopir itu dan membayarnya sepuluh kali lipat.

Tiba di rumah. Ayahnya yang baru pulang dari narik becak, langsung menyambutnya dengan senyum. Senyum di antara napas lelahnya yang masih sulit diatur. Ibunya sibuk menghidangkan menu makan siang di meja makan. Apalagi kalau bukan dengan tempe goreng, sayur kol, kalaupun ada ikan – pastilah ikan kukus – biar nggak banyak makan minyak goreng. Arjuna menghadapi meja makan dengan lesu. Tiba-tiba saja, menu yang selama ini membesarkannya, hambar seketika. Nggak ada selera makan.

“Kamu sakit ya, Arjuna?” tanya ayahnya.

Tentu saja bukan pertanyaan basa-basi. Ayahnya memang sangat perhatian padanya.

“Tapi kalo emang dia bukan ayahku, kok mereka tahu kenal aku sebagai Arjuna.” Batinnya. “Akh, mungkin aja, mereka mendapatkan kartu pengenal saat menemukanku, lalu mereka memberi nama yang sama dengan namaku yang sebelumnya.”

“Kalo emang belum selera, kamu istirahat aja dulu. Ibu bikinkan teh hangat ya?” ibunya nggak kalah perhatian, berucap dengan ngelus rambutnya.

Sepanjang ingatan Arjuna, ayah dan ibunya nggak pernah memarahinya. Dia pernah nyolong celengan ayam ibunya, untuk dipakai hura-hura dengan teman kelasnya. Ibunya nggak marah, dengan suara keras pun, nggak. Dia cuma diingatkan jika mencuri itu dosa. Padahal kalau mau dipikir, uang itu dikumpulkan berbulan-bulan, ditambah dengan penghasilan ayah sebagai tukang becak. Arjuna semakin yakin, kasih sayang dan ibunya yang terlalu berlebihan, bermaksud untuk menutup-nutupi sesuatu.”

“Bu, boleh Arjuna nanya sesuatu?”

Ibunya yang sudah selesai menyiapkan semua hidangan yang telah dimasaknya, mengangguk tanda setuju dengan permintaan Arjuna.

“Arjuna anak kandung ayah dan ibu kan?”

Ayahnya yang sementara serius menyuap nasi, langsung menghentikan aksinya. Kedua orang tua itu saling tatap, lalu memindahkan tatapan ke Arjuna. Arjuna menerima tatapan itu penuh selidik. Nggak salah lagi, respon kaget mendengar pertanyaannya barusan, dinilai Arjuna sesuatu yang ada apa-apanya. Ibunya bahkan belum bisa berucap.

“Kenapa ayah dan ibu, tega misahin aku dengan mama dan papaku?” Arjuna mulai nembak sasaran.

“Maksud Arjuna?”

“Ayah nggak usah pura-pura. Arjuna bukan anak kandung ayah dan ibu kan?” Arjuna berdiri dari kursinya, meski nggak ninggalin ruang makan. “Kalo ayah dan ibu mengasihi aku, melebihi mama dan papa kandungku. Mereka pasti kehilangan aku.”

“Mama dan papa kandung? Ibu jadi nggak ngerti.”

“Arjuna amnesia kan? Ayah dan ibu dapetin aku saat amnesia, lalu ngakui aku sebagai anak.”

“Kamu keterlaluan, Arjuna!” Ayahnya berucap sambil nangis. Tapi Arjuna mana percaya dengan tangisan itu. “Ayah dan ibu sudah nyayangi kamu maksimal, sepenuh hati. Tapi kamu masih meragukannya, malah menganggap kami ini bukan orangtua kandungmu.”

“Tapi kenyataannya gitu, kan? Ngaku aja, Yah! Kalo nggak, aku bisa lapor polisi karena telah menggelapkan data pribadiku. Aku punya saksi, orang yang tau jelas asal-usul orangtua kandungku!”

“Kamu silakan lapor polisi. Silakan hadirkan saksi. Ayah nggak takut!” bentak ayahnya. Inilah yang pertama kalinya Arjuna mendengar suara ayahnya sekeras itu.

Ibunya menangis sejadi-jadinya. Arjuna nggak peduli. Dia bahkan keluar dari rumah tanpa melepaskan seragam sekolahnya. Dia mau pergi menjemput Riana untuk dijadikan saksi. Bahkan saat ibunya mengejar langkahnya dan menuturkan kisah – yang menurut ibunya – kisah sebenarnya, Arjuna tetap berlalu. Menepis tangan ibunya yang berpegang di lengannya.

Amnesia (2)

Chapter 2
Cari Tahu


“Emang kamu pernah kenal denganku sebelumnya?” selidik Arjuna pada Riana saat jam istirahat kedua tadi.

“Bukan kenal lagi, Arjuna! Kita tuh pernah tetanggaan di Jakarta. Sayangnya papaku pindah tugas ke Medan saat kita masuk SD, jadi terpisah.”

“Terus papaku?”

“Jadi kamu benar-benar nggak kenal dengan diri kamu? Arjuna, kamu tuh anak konglomerat. Papa kamu pengusaha industri telekomunikasi, mama kamu punya pabrik tekstil. Ingat nggak, waktu kita main ke Dufan, terus kamu hilang di keramaian. Mama kamu sampai pingsan. Soalnya kamu anak tunggal. Disayang banget!”

“Tapi aku ditemukan lagi kan?”

Pikirnya, saat hilang di Dufan, di situlah Arjuna ditemukan sama ayah dan ibunya kini.

“Ya, iya! Kamu ternyata lagi main sama badut. Tau nggak, kamu waktu kecil paling suka manjat. Papa kamu bilang, kamu ada bakat jadi pemanjat tebing yang handal.”

Ya. Nggak salah lagi, pasti dirinya terjatuh pada sebuah ekspedisi pendakian, kemudian ditemukan oleh ayahnya yang sekarang.

Arjuna harus bertindak. Dia tak ingin terkekang lama dalam kemiskinan yang selama ini menyiksanya. Dia ingin seperti Indra, Ryan, atau teman-teman yang lainnya, yang kerjanya keluar masuk kafe, belanja di mal, semua…! Dia ingin semuanya. Terlebih, dia takut ada apa-apa dengan mamanya. Kalau kesasar di Dufan saja, dia udah pingsan, gimana kalo udah terpisah bertahun-tahun seperti sekarang. Jangan-jangan dia sakit, gila, atau bahkan shock dan meninggal? Arjuna cemas.

Tapi kok sekarang dia bisa ada di Surabaya, bukankah dia orang Jakarta.

“Kamu pasti ikut pendakian, atau bahkan kecelakaan pesawat, terus ditolong oleh orang yang sekarang ngaku-ngaku sebagai orangtua kamu.” Riana nggak membiarkan dirinya dalam keraguan.

Jam istirahat tadi benar-benar dipergunakan untuk mencari asal-usulnya pada Riana. Dan sepertinya, kini dia tahu segalanya. Tinggal ngomong ke ayah dan ibunya. Bagaimana pun kecewanya, Arjuna nggak ingin bersikap kasar pada ayah dan ibunya. Malah sebaliknya, dia harus berterima kasih karena telah menyelamatkan nyawanya. Tapi kalau ayah dan ibunya tetap ngotot nggak ingin melepaskannya, Arjuna akan melapor ke polisi.

Dia ingin cepat bertemu dengan mama dan papanya yang so pasti cakep juga. Dia mulai berandai-andai membayangkan wajah papanya yang mungkin seperti Rico Tampaty, Adji Pangestu, Drg. Fadli, dan sederet bintang sinetron senior yang selama ini berperan sebagai papa yang baik. Kalau wajah mamanya, dia yakin pasti masih sangat cantik. Ke mana-mana pake stelan jas, nggak seperti ibunya yang paling mewah terbalut daster batik.

Amnesia (1)

Chapter 1
Riana??


Muka kusut. Sekusut seragam sekolah yang kancing atasnya sudah lepas dari lubangnya. Rambut pun nggak rapi lagi. Apalagi hati dan pikiran, semua kusut! Arjuna yang setiap pulang sekolah, sengaja ngambil tempat paling belakang di angkot – biar bisa melepaskan hayalannya ke mana-mana – sekarang duduk di depan. Sesekali bercermin di spion samping. Meskipun kusut, ketampanan masih terpahat di wajah yang berkulit putih bersih itu.

Penampilan yang kusut kali ini, ada hubungannya dengan wajahnya yang semua orang mengakuinya cakep. Kisahnya bermula, saat Riana – siswi pindahan dari Jakarta – tiba-tiba langsung datang menyerangnya dengan genit.

“Arjuna, kamu tambah cakep aja. Masih ingat aku kan? Kok bisa ada di sini sih?”

Bukan cuma bibirnya yang menari, jari-jari lentik Riana sesekali mencubit pipi mulus Arjuna. Awalnya Arjuna menghindar, berpikir kalau Riana salah orang, salah alamat, atau bahkan sok kenal karena jatuh hati padanya yang sekali lagi – Arjuna memang cakep. Tapi semakin menghindar, Riana semakin menggila.

“Arjuna, kamu sombong banget sih? Aku ini Riana, teman kecil kamu di Jakarta dulu. Atau jangan-jangan kamu amnesia?”

Amnesia? Arjuna termenung tiba-tiba. Dia teringat pada semua yang jadi pertanyaan dalam hatinya selama ini. Wajahnya yang cakep selangit, sedikit pun nggak tercermin pada rona wajah lelaki yang selama ini dipanggilnya sebagai ayah. Apalagi pada ibunya, nggak ada sedikit pun yang mirip antara dirinya dengan wanita yang sudah semakin bungkuk karena rutinitas sehari-harinya sebagai tukang cuci.

Terlebih, kasih sayang ayah dan ibunya, melewati batas normal. Hingga duduk di bangku SMA seperti sekarang, ayahnya masih sering tidur dengannya. Uang jajan apalagi, ibunya nggak pernah berpikir dua kali untuk memenuhi permintaan Arjuna. Bahkan kalau ibunya mau beralasan susah cari uang, Arjuna sebenarnya bisa jalan kaki ke sekolah. Cuma dua kilometer, sebagai cowok, itu bukan hal yang memberatkan. Masih jauh lebih berat pekerjaan ayahnya sebagai tukang becak.

Sekarang, jawaban dari ketaknormalan itu sudah dia dapatkan. Amnesia! Bukan nggak mungkin, kecelakaan pesawat, peluru nyasar, atau mungkin jatuh dari tebing saat mendaki gunung, lalu takdir mempertemukannya dengan orang yang selama ini dipanggilnya ayah dan ibu.

Arjuna kembali menghubung-hubungkan segala sesuatu yang bisa saja terjadi. Dia teringat, sebelum jadi tukang becak, ayahnya pernah naik-turun gunung untuk mencari edelweis yang kemudian dijual. Bukan nggak mungkin, dirinya ditemukan dalam keadaan tak sadar, dan setelah siuman, dia telah lupa segala tentang dirinya.

Saat segalanya dihubung-hubungkan, pikirannya tiba-tiba menemukan fakta yang sepertinya tak terbantahkan oleh siapa pun. Usia ayah dan ibunya boleh dibilang sudah renta, sementara usia Arjuna sendiri masih delapan belas tahun. Teman-teman yang seusia dengannya, punya orangtua yang masih muda. Usia seperti ayah dan ibunya, hanyalah pantas disebut sebagai kakek-nenek. Menurut Arjuna, itu nggak masuk akal. Riana mungkin benar, dia amnesia!

Arjuna kemudian menarik kesimpulan. Ayah dan ibunya selama ini sangat menyayanginya agar dia nggak nanya asal-usulnya, atau nggak akan tega ninggalin mereka jika amnesia Arjuna udah sembuh. Tapi Arjuna mana mau. Selama ini dia udah cukup tersiksa dengan keadaan keluarganya yang serba pas-pasan. Kalaupun selalu dibekali uang jajan ke sekolah, mana bisa dia bebas menggunakan uang untuk nonton film-film baru di bioskop, apalagi noton konser. Pakaian pun, puasnya cuma beli sekali dalam dua bulan. Itu juga harus merengek.

Amnesia (Sinopsis)

Amnesia
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Senin <> 100510, 1149AM)



Amnesia
Chapter 1 Riana??
Chapter 2 Cari Tahu
Chapter 3 Ayah & Ibu
Chapter 4 Kenyataan Pahit


Sinopsis

“Arjuna anak kandung ayah dan ibu kan?”
“Kenapa ayah dan ibu, tega misahin aku dengan mama dan papaku?” Arjuna mulai nembak sasaran.
“Ayah nggak usah pura-pura. Arjuna bukan anak kandung ayah dan ibu kan?” Arjuna berdiri dari kursinya, meski nggak ninggalin ruang makan. “Kalo ayah dan ibu mengasihi aku, melebihi mama dan papa kandungku. Mereka pasti kehilangan aku.”
“Arjuna amnesia kan? Ayah dan ibu dapetin aku saat amnesia, lalu ngakui aku sebagai anak.”
“Tapi kenyataannya gitu, kan? Ngaku aja, Yah! Kalo nggak, aku bisa lapor polisi karena telah menggelapkan data pribadiku. Aku punya saksi, orang yang tau jelas asal-usul orangtua kandungku!”
(Arjuna Cakrabuana_Arjuna)

“Arjuna, kamu tambah cakep aja. Masih ingat aku kan? Kok bisa ada di sini sih?”
“Arjuna, kamu sombong banget sih? Aku ini Riana, teman kecil kamu di Jakarta dulu. Atau jangan-jangan kamu amnesia?”
“Jadi kamu benar-benar nggak kenal dengan diri kamu? Arjuna, kamu tuh anak konglomerat. Papa kamu pengusaha industri telekomunikasi, mama kamu punya pabrik tekstil. Ingat nggak, waktu kita main ke Dufan, terus kamu hilang di keramaian. Mama kamu sampai pingsan. Soalnya kamu anak tunggal. Disayang banget!”
“Kasihan ya! Emang cakep sih, tapi kalo sombong gitu. Nggak usah yeee!”
“Pasti dia udah termimpi-mimpi mau ketemu mama dan papa kandungnya. Padahal, habitatnya emang di situ. Komunitas orang pinggiran!”
“Mau terlahir sebagai anak konglomerat? Mimpi kali yeee! Kodok kok mau jadi pangeran!”
“Mana ada tuan putri yang mau cium kodok, kalau pun tahu kodok akan berubah jadi pangeran. Mending cari cowok tajir, daripada miskin tapi sombong, pengkhayal kelas tinggi!”
(Riana Valentina Pasha_Riana)



Tokoh Amnesia

Arjuna Cakrabuana (Arjuna)
Arjuna lahir tanpa pernah diduga kehadirannya. Setelah berpuluh tahun ibunya tak bisa hamil, bahkan tak pernah lagi berharap akan punya anak, Arjuna terlahir mengabulkan semua impian ayah dan ibunya. Karena itu, ayah dan ibunya sangat menyayangi Arjuna. Penantian bertahun-tahun itu, juga hampir merenggut nyawa ibunya saat melahirkan Arjuna karena ibunya sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkannya.

Riana Valentina Pasha (Riana)
Murid baru di sekolah Arjuna Cakrabuana (Arjuna), pindahan dari Medan. Berniat mengerjai Arjuna Cakrabuna (Arjuna) dengan berpura-pura sebagai teman kecilnya di Jakarta yang hilang di keramaian Dufan. Dan berusaha meyakinkan Arjuna Cakrabuana (Arjuna) bahwa dirinya mengalami Amnesia, serta meyakinkan juga bahwa Ayah dan Ibunya kini bukanlah orang tua kandungnya.



First Day At School (4-End)

Chapter 4
Kelas I B

Dengan enggan kulangkahkan kaki meninggalkan kelas, setelah sebelumnya mengucapkan kata-kata pada anak-anak di kelas itu, “Maaf, sepertinya kalian belum beruntung bisa jadi teman sekelas saya! Gak usah kecewa ya!”

“Huuuuuuu…!!!” seru mereka semua nyaris bersamaan, membuat kelas menjadi gaduh. Aku memutuskan untuk selekasnya angkat kaki sebelum mereka melempariku dengan apa saja!

Nico langsung tertawa ngakak begitu melihat aku diantar oleh pria berkemeja – yang belakangan baru kutahu bernama Pak Burhan, berkerja di bagian administrasi SMU Tunas Bangsa itu –ke kelasnya, kelas I B. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan menghampirinya.

“Nggak jadi sekelas sama Shafira nih?”

Aku hanya tersenyum meringis. “Masih kosong?” Aku menunjuk bangku di sebelahnya.

“Ada yang nempatin. Tapi hari ini lagi nggak masuk. Namanya Chirex.”

“Apa?” tanyaku, “Cireng? Kayak nama makanan aja…”

“Chirex! Chirex!” ulang Nico keki, “Nama sebenernya sih AliansyahSugito.”

“Kalo meja belakang?” Aku menunjuk meja kosong di belakang bangku Nico.

“Kosong. Baru kemaren penghuninya mati dibunuh.”

“Hah, yang bener lo?!”

“Tuh, mayatnya masih terkapar di situ!” telunjuknya mengarah ke kolong meja belakangnya. Ada seekor kecoa terkapar tak bernyawa.

“Ah, gue kira beneran…”

“Woi, anak baru!” teriak salah seorang penghuni kelas itu. “Kenalin dong nama lo!”

Aku langsung angkat kaki ke depan kelas. Mempersembahkan senyum termanis pada teman-teman baruku itu.

“Oke, tenang ya semuanya. Kalian siapin aja kertas sama pulpennya. Nanti gue tanda tanganin!”

Suiiing… puluhan pulpen bercampur dengan pinsil melayang ke arahku.




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com


First Day At School (3)

Chapter 3
Salah Kelas


Vespaku berhenti di depan sebuah gerbang sekolah. Di atasnya ada plang besar bertuliskan SMU Tunas Bangsa. Jadi ini sekolah baruku. Hm… lumayan besar juga. Lebih besar dari sekolah lamaku di Bandung.

Tin… tin… tin…

Suara klakson mobil seperti anjing penjaga yang menyalak galak meminta aku untuk segera enyah. Aku menoleh. Bumper sedan mewah itu hanya bebarapa centi saja dari Vespaku. Kulihat pengendaranya melambai-lambai tangan meminta aku segera enyah dari hadapan mereka.

“Huh, sombongnya!”

Traaannnnkkk… Traaaannnkkk… kumainkan gas vespaku, membiarkan buangan asap knalpotnya menyembur, menciptakan kabut tebal. Orang-orang membekap telinganya. Knalpot Vespa tahun tua memang lebih rombeng dari kaleng rombeng sekali pun. Seorang satpam memperingatkanku. Aku hanya tersenyum. Mengangguk.

Setelah puas membuat pengendara sedan mewah berteriak-teriak dongkol, aku baru angkat roda vespa dari gerbang sekolah itu. Satpam yang tadi menegurku menunjukkan tempat motor-motor diparkirkan. Hampir kebanyakan motor-motor mewah keluaran tahun muda. Vespaku jadi kelihatan seperti seorang kekek tua yang centil, karen warna merahnya cukup membuatnya jadi pusat perhatian.

“Hai!” tegur seorang cowok berperawakan kucel, memarkir motor Vespanya yang penuh airbrush, di sebelah Vespaku. “Tahun berapa?”

“Gue?”

“Motor vespa lo!”

“Oh… tahun 65,” jawabku, “Punya lo?”

“Lima tahun lebih muda dari motor lo.” Matanya seperti meneliti aku, “Anak baru ya?”

“Lho, kok tau?”

“Ya tau lah!” katanya lagi, “Cuma anak baru yang pake seragam abu-abu pas hari senin.”

Aku melihat celana panjang kotak-kotak yang dikenakannya. “Tapi bisa aja kan celana gue lagi dicuci?” elakku.

“Persoalannya, gak ada anak sekolah sini yang bawa Vespa tua selain gue.”

Aku tersenyum, “Nama gue Bayu!” kataku menyodorkan telapak tangan.

“Gue Nico.” Cowok itu menyambutnya. “Di kelas berapa?”

“Belom tau.”

“Udah di kelas gue aja!” tawarnya, “ceweknya cakep-cakep!”

Seorang cewek berambut ikal turun dari sedan mewah yang tadi kukerjai. Lho… itu kan… wah, ternyata dia sekolah di sini!

“Kalo cewek itu di kelas berapa?” tunjukku ke arah cewek cantik yang kini tampak asyik berbincang dengan kedua temannya, sebelum mereka melangkahkan kaki dan menghilang di tikungan. Kulihat sedan yang dikendarai oleh sopirnya meninggalkan pekarangan sekolah.

“Dia anak kelas I A.”

“Sekelas sama elo?”

“Nggak. Kelas gue di sebelahnya.”

“Di kelas lo ada yang lebih cantik dari dia?”

“Wah, dia mah cewek tercantik di sekolah ini!”

“Namanya?”

“Shafira Adya Mecca.”

“Oke, sampe ketemu ya!” kataku menepuk pundak Nico, sebelum melangkahkan kaki menjauhi cowok kucel itu.

“Mau ke mana?” panggil Nico.

“Ke kelas 1 A!”

Masih sempat kulihat Nico tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.

Hmm… ini dia kelasnya. Sebuah papan kecil bertuliskan Kelas I A melekat di bagian atas pintu kelas itu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Rupanya penghuni kelas ini cukup rajin juga. Sudah banyak siswa yang hadir di sana.

“Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga. Aku celingukan mencari-cari cewek bernama Shafira Adya Mecca. Di mana mejanya?

Mataku berkeliling mencari bangku yang masih tersisa.

“Di pojok dekat jendela gak ada yang dudukin,” kata seorang gadis berwajah agak manis berambut agak kecoklatan sambil agak tersenyum ke arahku, menunjuk bangku di belakang tempat duduknya.

Aku tersenyum sebelum melemparkan tas di atas meja.

“Anak baru ya?”

“Kok nuduh?” Aku mengempaskan tubuh di bangku sebelah gadis yang kupikir agak tomboy itu. “Nama gue Bayu!”

“Siapa?” Tanya gadis itu.

“B-a-y-u,” ejaku, “Bayu!” ulangku menegaskan.

“Yang nanya?”

Aku tersenyum kecut. Kena deh gue… cewek yang kupikir agak tomboy itu tertawa terbahak.

“Nama lo siapa sih?” tanyaku kemudian.

“Mau ngebales nih?” masih menyisakan tawa.

Aku menggeleng. “Gue nggak pendendam kok. Apalagi sama cewek manis kayak elo!”

“Gula kaleee manis!” katanya berseloroh, “Gue Aurel!”

“Hah?” mataku membulat.

“Elo mo bilang anggota ragunan kan?!” cewek itu mengepalkan tinjunya.

“Orang Jakarta demen nuduh, ya?” kataku, “Gue cuma heran aja, masa cewek tomboy namanya Aurel. Gak cocok ah.”

“Cocoknya apa?”

“Cuplis!” ujarku, disusul tawa. Sebuah tinju ringan mendarat telak di lengan atasku.

“Tadi lo bilang anak Jakarta demen nuduh,” kata Aurel setelah tawaku mereda, “Emang elo anak mana?”

“Gue lahir di Jakarta. Tapi sejak SMP sekolah di Bandung. Abis gue hopeless sama Jakarta yang panas.”

“Terus, kenapa lo pindah ke mari?”

“Bokap gue yang maksa. Dia gak tahan jauh-jauh dari anaknya yang keren ini.”

“Huuuu! Narsis abis lo.”

Suara bel mengudara. Para siswa segera berhamburan ke kelasnya masing-masing.

“Minggir lo!” kata Aurel mengusirku dari bangku yang tengah kududuki. Seorang gadis tersenyum berdiri di belakang tubuhku. Aku segera menyingkir ke meja di belakang tempat duduk mereka.

There she is! Aku benar-benar dibuat terpana oleh gemulai langkah Shafira Adya Mecca bersama ketiga temannya.

“Awas nanti ilernya netes!”

“Hah?” aku buru-buru memeriksa ujung mulutku. Tak ada liur yang menggantung di sana. Kulihat Aurel dan teman sebangkunya terpingkal. “Huh! Nggak lucu!”

Kulihat Shafira memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapannya menyiratkan sebuah tanya. Anak mana nih nyasar ke sini? Begitu kali kalo diterjemahin ke dalam bentuk kalimat. Salah seorang temannya seperti menyadari sesuatu. Dia mencolek lengan Shafira, sebelum membisikkan sesuatu ke telinganya. Lalu ketiganya berjalan menghampiri mejaku.

“Elo kan yang waktu di bioskop…”

“Nabrak elo!” sambarku memutus kalimat Shafira.

“Mau apa lo di sini?”

“Kenalin,” Aku mengulurkan tangan, “Gue anak baru di kelas ini. Nama gue Bayu.”

Shafira tidak segera menyambut uluran tanganku. Dia seperti berpikir sesuatu, sambil memandangi diriku dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Hmm… boleh juga,” katanya sambil tersenyum ke arah kedua temannya, sebelum kembali menatapku, “Oke deh Bayu, elo udah tau kan nama gue?”

Aku mengangguk-angguk sebelum menarik tanganku kembali. Hmm… sombong juga neh anak… Aku membalas senyum ketiga cewek itu. Senyum yang menyimpan sejuta makna. Lihat aja nanti!

Seorang pria berkaca mata, berambut jarang masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening. Kayaknya guru killer nih. Aku mencolek bahu Aurel. Cewek tomboy itu menoleh takut-takut.

“Siapa?” kataku berbisik.

“Pak Bambang Wiguna.”

“Galak ya?”

“Banget!”

Baru saja Aurel selesai mengucapkan itu, sebuah spidol meluncur deras ke arahku. Untung aku pernah diajarin silat sama Kakek, jadi hup! Spidol itu berhasil aku tangkap. Tapi… Pletak! Sebuah penghapus mampir di jidatku. Aduuuuhhh… Guru killer itu tersenyum penuh kemenangan.

Aku berinisiatif mengembalikan spidol dan penghapus itu ke meja Pak Bambang.

“Ternyata kamu nggak sehebat yang Bapak bayang kan. Tapi lumayan…” Pak Bambang menepuk bahuku, “Baru kamu seorang yang bisa menangkap lemparan Bapak.”

Aku hanya meringis saja.

“Sepertinya… bapak tidak pernah melihat kamu sebelumnya?”

“Saya anak baru, Pak,” terangku, “Pindahan dari Bandung.”

Pak Bambang mempersilahkan aku duduk kembali. Bel tanda selesainya jam pelajaran Pak Bambang hampir habis, saat seorang lelaki berkemeja biru motif garis-garis menapakkan kakinya di kelas, dengan sebuah map di tangannya.

“Maaf mengganggu,” dia memohon ijin pada Pak Bambang.

“Oh, silahkan. Jam pelajaran saya sudah selesai.”

Lalu lelaki berkemeja itu menatap ke arah bangku murid. “Ada anak baru yang namanya Bayu?”

Semua mata segera menyerbu ke arahku. Aku menoleh ke belakang seolah mencari-cari sesuatu, sebelum menyadari kalau yang mereka tatap itu adalah aku. He he he…

“Saya Pak!” Aku mengacungkan telunjuk ke udara.

“Kelas kamu bukan di sini. Tapi di kelas sebelah. Kelas I B.”

“Yah, saya udah terlanjur betah di sini.”

“Waduh… gimana ya? Habis wakasek bidang kesiswaan sudah terlanjur menempatkan kamu di kelas I B.”.