Selasa, 08 Juni 2010

Big Rival (9-End)

Chapter 9
Perdamaian Bagas & Mitha


Senja habis hujan.

Sebuah Ninja Kawasaki dan sebuah taksi berhenti bersamaan di depan rumah Rianty. Mario turun dari boncengan. Bagas memarkir motornya. Berjarak tiga meter, tampak Mitha tengah membayar ongkos Taksi. Di sampingnya berdiri Maya.

“Mau apa mereka ke rumah Rianty?” bisik Maya.

Mitha menatap dua sosok tubuh itu. “Wah, gimana ya? Kita pulang aja yok. Nggak lucu kalau mereka tahu maksud kedatangan kita, “ Ujarnya gelisah.

“Eh, jangan dong. Kita ‘kan udah cape-cape kemari. Tunggu aja deh sampai mereka pulang.”

“Mm…… iya deh.” Mitha mengangguk.

Di depan pintu pagar, ke empat remaja itu tertegun. Tangan Maya bersamaan dengan tangan Mario ingin memijit bel, ketika Rianty muncul.

“Hei, ada apa nih?” katanya, “Wah, mau keroyok aku, ya?”

“Bukan Ri, kami….”

“Buka dulu dong pintunya,” tukas Bagas memotong ucapan Maya.

Bergegas Rianty membuka pintu pagar. “Silahkan masuk tuan-tuan dan nona-nona,” katanya lucu.

Di ruang tamu yang sejuk, Mitha duduk diapit Rianty dan Maya. Dihadapan mereka dua buah sofa ditempati Mario dan Bagas.

“Bik, minumnya lima gelas! Yang dingin ya?” teriak Rianty memerintah pembantunya.

“Ngga usah repot-repot Ri. Kami cuma sebentar kok,” Mitha buka suara.

“Sebenarnya, ada apa sih? Kok rame-rame kemari?” Rianty membetulkan posisi duduknya.

“Anu… Ri… Bagas tidak meneruskan kata-katanya. Disenggolnya lengan Mario.

“Aku ingin membicarakan sesuatu tapi, harus empat mata.” Ujar Mario.

“Aku juga Ri,” Maya menukas.

Rianty garuk-garuk kepala. “Waduh siapa duluan nih? Kamu dulu deh, Mario, Maya, sabar ya?”

Maya mengangguk.

“Yuk, Mario! Kita ke halaman belakang,” Ajak Rianty menarik tangan Mario.

Beberapa menit berlalu. Mario kembali ke ruang tamu.

“Miss Maya!” panggil Rianty. Lagaknya sudah seperti suster memanggil pasien yang sedang antre di ruang tunggu. Maya beranjak menemui Rianty.

Tak lama kemudian, Maya dan Rianty sudah berada kembali di ruang tamu.

“Oh, damai di bumi! Damai di hati!” seru Rianty. Tangan kanannya meraih tangan Mitha, tangan kirinya memegang tangan Bagas. Kedua tangan sahabatnya itu dipertemukan.

Bagas tersenyum menjabat tangan Mitha. Mitha balas tersenyum.

“Nah, gitu donk! Jangan cekcok terus,” Rianty tertawa. “Sebagai generasi penerus kita mesti bersatu, karena bersatu kita teguh bercerai kita….”

“Kawin lagi!” potong Mario.

“Hush!” Rianty melotot.

Dan, gelak tawa pun memenuhi ruangan itu. Ah, senja yang membawa damai, mungkin juga cinta bagi Bagas dan Mitha.

TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com


Big Rival (8)

Chapter 8
Perasaan Bagas & Mitha


Lama, Mitha merenungkan kata-kata Rianty tempo hari. Sudah damai saja. Yang untungkan kamu sendiri. Lagipula si Bagas cukup tampan. Ugh! Si tomboy itu seenaknya aja bicara. Tapi… akh, mengapa harus menipu diri sendiri? Bagas memang tampan kan? Bah! Persetan dengan ketampanannya itu! Pokoknya aku tidak sudi minta tolong padanya. Apalagi disuruh damai, wuih… nanti dulu ya!

Kamu memang sombong Mitha! Apa sih enaknya musuhan? Bisa peot kamu kalau terus-terusan keki, hanya karena nilai dia lebih tinggi. Uf! Mitha memukul lengan sofa. Dia benar-banar bingung. Ingin baikan dengan Bagas tapi gengsi. Ingin terus musuhan alamat jatuh nilai fisikanya. Lagipula, dia sudah bosan dengan pertengkaran-pertengkaran itu.

Di tempat lain, di kamarnya yang super acak-acakan, Bagas berbaring menatap langit-langit kamar Ditelinganya berdengung ucapan Riabty. Apa sih ruginya minta diajarin Mitha? Ya…. apaaa? batinnya.

Kemudian tanpa disadarinya, wajah Mitha bermain-main di pelupuk matanya. Rianty bilang, Mitha cantik. Uh, apanya yang cantik? Hei, Bagas… jangan membalikkan fakta. Nyatanya, dia memang menarik, cantik dan ..Ops! Bagas memejamkan mata. Ia berusaha mengusir wajah Mitha, tapi semakin dicoba semakin jelas paras cantik itu tergambar di benaknya. Senyumnya, matanya, bibirnya,.. akh, semua ini gara-gara Rianty brengsek itu! Bagas melempar bantal gulingnya. Kesal.

“Apaaaa?! Damaaaiii?!” Melengking suara Maya mendengar kata-kata Mitha.

“Hus! Pelan sedikit kek!” Mitha mengibaskan tangannya. Maya menutup mulutnya.

“Eh, sorry. Abis aku tidak menduga akan begini jadinya,” katanya.

“Menurutmu, gimana?” Mitha minta pendapat.

“Aku sih …ngikutin kamu aja!”

Pada saat yang sama, di rumah Mario.

“Akhirnya runtuh juga pertahananmu, Gas!” Mario meninju bahu Bagas.

“Ya, aku sudah bosan berperang terus. Kalau terlalu lama bisa sakit jantung.”

“Mm, aku sih mau saja. Kalau boss memang ingin damai, anak buah siap mengikuti,” kata Mario seraya membungkuk hormat.

Big Rival (7)

Chapter 7
Usaha Rianty


Hari masih pagi. Jam di pergelangan tangan kiri Rianty baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Gadis berambut pendek itu menghampiri Bagas yang duduk termenung di atas sebuah kursi panjang di halaman sekolah.

“Aku bilang juga apa. Coba kalau baikan dengan Mitha, pasti ulangan Inggrismu nggak pas-pasan enam setengah,” katanya sambil duduk di samping Bagas.

“Apa-apaan sih Ri! Kok, datang-datang ngomong begitu?” Bagas memandang Rianty dengan kesal.

“Heh, jangan pura-pura,” Rianty bangkit dari duduknya. Disandarkannya tubuh kurusnya pada sebatang pohon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku rok abu-abunya. “Kamu lagi mikirin ulangan Inggris yang kemarin, ‘kan?”

“Kalau ya, memangnya kenapa?” serang Bagas ketus. “Kamu pikur aku mau diajarin sama si …”

“Cantik Mitha?” potong Rianty tertawa. “Bagas.. Bagas… apa sih ruginya minta diajarin? Gengsi? Hmm….. kalian berdua memang kepala batu.”

Bagas diam saja. Tangannya dilipat ke dada. Matanya memandang lurus ke arah bebungaan yang mekar di sudut halaman.

“He, Gas,” kata Rianty lagi., “Bersaing sih boleh, tapi jangan gontok-gontokan dong! Akibatnya, kamu jadi malu minta diajarin sama Mitha. Nah, kalau sudah begitu, kamu yang repot sendiri kan? Coba, kalau kalian bersaing secara damai…”

“Ala… sudahlah Ri,” Bagas menukas, “Aku bosan dengar ceramahmu!” Ditinggalkannya Rianty, masuk ke kelas.

“Demi kebaikanmu, Gas! Demi prestasimu,” Rianty mengikuti langkah Bagas.“ Mitha jago bahasa Inggris lho! Bisa kalah kamu nanti.” ujarnya memanasi.

“Aku tidak akan kalah, Ri. Aku pasti manang!” Bagas membalikkan tubuh menatap Rianty tajam, lalu berjalan ke tempat duduknya.

Rianty menghela nafas. Oh, gadis Non Blok jangan sampai usahamu gagal, batinnya.

Big Rival (6)

Chapter 6
Saran Rianty


Rianty baru saja menapakkan kakinya di kelas, ketika dilihatnya Mitha tengah bertopang dagu sambil menatap kertas ulangan.

“Dapat berapa, Mit?” tanyanya menghampiri Mitha.

“Delapan,” jawab Mitha sambil menyodorkan kertas ulangan itu.

“Pasti gara-gara soal kemarin itu,” terka Rianty. Matanya menelusuri jawaban-jawaban yang tertera di kertas putih bergaris hitam itu.

“Eh, Ri... Jangan kasih tahu Bagas, ya?” bisik Mitha tiba-tiba.

“Pokoknya beres!” Rianty tersenyum, ”Tapi, kalau kamu minta pada Bagas agar menerangkan soal itu, nilaimu pasti sepuluh ‘kan?”

“Huh, gengsi dong!” Mitha mencibir. “Delapan juga udah bagus.”

“Dan, itu berarti kamu kalah sama Bagas,” ejek Rianty. ”Tahu nggak? Dia dapat nilai sepuluh!”

“Ah, nanti juga aku bisa menyusulnya. Percaya deh. Mitha pasti menang!”

“Eit, jangan sombong dulu!” tukas Rianty, “Untuk pelajaran fisika, otaknya sulit ditandingi.”

Mitha terdiam. Dia sadar akan kelemahannya. Memang, mata pelajaran yang satu ini tidak boleh dianggap remeh. Apalagi bagi mereka yang mengambil jurusan ilmu-ilmu fisik. Tapi untuk minta tolong pada Bagas… ugh…. nanti dulu ya! Mau taruh di mana ini muka?

“Bagaimana?” tanya Rianty memecah kebisuan Mitha. “Udah damai aja. Kan yang untung kamu juga. Lagipula Bagas cukup tampan untuk menjadi….” Rianty tak meneruskan ucapannya. Gadis itu tersenyum menggoda.

“Menjadi apa Ri?” Mitha bertanya tak sabar.

“Pacar kamu,” pelan suara Rianty di telinga Mitha.

“Rianty! Kamu …”

Tapi Rianty sudah berlari sambil cekikikan meninggalkan Mitha yang jengkel bukan main.

Big Rival (5)

Chapter 5
Kekesalan Mitha


Udara siang itu panas sekali. Mitha membuka pintu pagar rumahnya dengan lesu. Dia melangkah gontai masuk ke ruang tamu. Tubuh semampainya dihempaskannya ke sofa. Pikirannya melayang-layang pada soal-soal fisika yang diberikan Bu Mirna. Sulitnya nggak ketulungan. Tapi, si Bagas brengsek itu enak-enak saja mengerjakannya, membuatnya makin jengkel.

Dasar lagi sial! Bu Mirna menyuruhnya maju ke depan untuk menulis jawaban soal nomor satu. Padahal, nomor itu lah yang paling sulit. Akhirnya dengan menahan malu dia mengatakan, “Tidak bisa bu!”

Dan, batuk-batuk pun dilontarkan oleh anak buah Bagas. Sementara sang Ketua senyam-senyum girang. Kurang ajar! Ingin rasanya dia menampar mulut-mulut itu. Tapi, siapa sih yang berani berbuat begitu di hadapan macan betina segalak bu Mirna?

“Mulut kalian, rupanya mesti dijejali soal-soal tambahan!” ujar bu Mirna menghentikan suara batuk-batuk itu.

Suasana hening seketika melingkupi kelas. Rasain! Mitha bersorak dalam hati. Jengkelnya mereda sedikit. Tapi …

“Bagas, coba kerjakan soal nomor satu itu,” perintah bu Mirna membuat Mitha melongo. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan Bagas. Dengan tubuh ditegakkan dia berjalan gagah mengambil spidol dan menuliskan jawabannya. Cepat, rapi dan benar tentunya.

“Bagus sekali, Bagas,” puji bu Mirna senang. Yang dipuji tersenyum bangga. Diliriknya Mitha yang masih bengong. Cepat-cepat Mitha membuang muka dengan sumpah serapah yang hanya terucap di dalam hatinya.

“Mitha, suara mama menyentakkan lamunannya. “Pulang sekolah kok melamun? Ayo, ganti baju, cuci tangan. Kita makan sama-sama. Hari ini, mama masak bistik kesukaanmu.”

“Ogah ah. Masih kenyang,” ujar Mitha seraya bangkit dari duduknya, masuk ke kamar.

“Iya… tapi ganti baju dulu dong.” Mama ikut masuk ke kamar putri tunggalnya itu.

“Sebenarnya ada apa, Mitha? Kok, lesu benar,” tanya mama lembut.

“Nggak ada apa-apa, ma.” Mitha berusaha tersenyum.” Cuma pusing dikit kok. Tadi ulangannya susah sih.”

“O, kalau begitu istirahatlah dulu.” Mama tersenyum bijak.

Mitha mengangguk mengiyakan.

Big Rival (4)

Chapter 4
Lawan Yang Tangguh


Pagi ini cerah sekali, secerah wajah Pak Burhan yang biasa masam. Warga 2 IPA 1 menjadi heran dibuatnya. Tidak seperti biasanya, kali ini tak terdengar suara bentakan beliau.

“Maaf, pak. Bapak tampaknya gembira sekali hari ini,” ujar Rianty yang tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

Pak Burhan tersenyum pada Rianty.

“Matamu tajam sekali, Rianty.” Ucap beliau memuji. “Yah, bapak memang sedang gembira, karena di kelas ini ada dua anak yang mendapat nilai tertinggi dalam ulangan minggu lalu.”

“Pasti Mitha dan Bagas!” tebak Rianty.

Pak Burhan mengangguk, “Ya, keduanya memperoleh nilai Seratus.”

“Wih! Benar-benar pasangan yang klop!” sorak Rianty. Diliriknya Mitha dan Bagas. Keduanya memandang geram ke arahnya.

“Betul, lalu bagaimana dengan tugasmu, Rianty?” suara Pak Burhan mulai galak. Wajahnya yang mirip Pak Raden disetel angker kembali. Rianty tersenyum masam. Soal-soal itu memang sudah selesai dikerjakan tapi ia tidak menjamin apakah jawabannya benar semua.

“Bagaimana? Sudah selesai?” tanya Pak Burhan tak sabar, ketika melihat Rianty diam saja.

“Sudah pak,” sahut Rianty pelan. Diserahkannya buku bergambar Micky Mouse. Pak Burhan mengambil buku itu dan memeriksanya sebentar.

“Nah, anak- anak. Sekarang kita mulai pelajaran baru,” kata beliau sambil mengembalikan buku itu pada Rianty. Agak heran, Rianty menerimanya. Mata bagusnya melotot tatkala melihat nilai yang tertera di sana. 100! Uf! Padahal sejak tadi jantungnya sudah berdentam-dentam riuh, takut kalau-kalau ada jawaban yang salah. Nggak rugi deh 3 hari 3 malam kutak-kutik rumus-rumus kimia.

Dan, selama 2 jam pelajaran kimia hari ini, Rianty benar-benar memusatkan perhatiannya ke papan tulis. Ya, mata, ya telinga dipasangnya baik-baik . Ternyata kalau diperhatikan, pelajaran kimia itu tidak sulit.

Sebaliknya, Mitha dan Bagas yang biasa tekun dan serius, hari ini tampak gelisah. Masing-masing tidak rela musuhnya memperoleh nilai 100. Mata mereka melotot ke papan tulis, tapi hati dan pikiran seakan-akan mau meledak. Waktu terasa merangkak lambat.

Kriiing…..!! Bel tanda istirahat berbunyi nyaring.

Bagas menghela nafas lega. Mitha merasa baru saja keluar dari gua pengap. Cepat-cepat, dia memasukkan bukunya ke dalam tas. Maya yang duduk sebangku dengannya memandangnya heran. Tapi dia segera menerka sebabnya.

“Si kunyuk itu hebat juga ya?” bisiknya lirih.

“Hm… boleh bangga dia sekarang, tapi nanti…. lihat saja! Siapa yang lebih unggul,” cibir Mitha.

Di kantin. Bagas mengaduk-aduk mie baksonya tanpa selera.

“Lesu amat sih, Gas!” tegur Mario. “Udah deh kan nilainya seri. Nanti juga kamu menang.”

“Heran, cewek sekarang kok pinter-pinter ya?”

“Ya, berkat ibu Kartini,” sahut Mario.

“Tapi bagaimanapun juga aku harus menang. Malu dong! Masa kalah sama cewek,” tegas suara Bagas. Mario tertawa. Ditepuknya bahu Bagas.

“Aku mendukungmu, Gas. Suatu saat dia pasti KO,” katanya.

Big Rival (3)

Chapter 3
Emosi Jiwa


Rianty tersenyum kecut menerima tugas dari Pak Burhan. 10 soal yang rumit dapat membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Otaknya memang bebel untuk pelajaran kimia.

“Oh, gadis Non Blok yang malang!” goda Bagas.

Rianty melotot.

“Iya gara-gara kamu!” omelnya.

“Lho, kok aku. Siapa suruh berteriak kaya orang utan.”

Rianty tersenyum tidak jadi marah.

“Kalian cocok deh kalau …”

“Kalau apa, Ri?” potong Mitha yang tiba-tiba muncul bersama kelompoknya.

“Kalau apa ya?” Rianty pura-pura bego. Ujung telunjuk kirinya menyentuh keningnya.

“Yang bener Ri!” bentak Maya, tangan kanan Mitha.

“Eh, nggak jadi deh!” Rianty cepat-cepat meninggalkan kelas.

Bagas memanggil Rianty, “Ri… Rianty!”

Rianty tidak mengacuhkannya.

“Terlalu! Ngakunya sahabat Rianty, tapi melihat Rianty dibentak diam saja!” kata Bagas pada tangan kanannya, Mario. Tentu saja, kalimat itu ditujukan pada Mitha.

Mithaa mendengus, “Huh! Bilang aja mau menarik Rianty masuk ke dalam grup konyol itu! Pake menyalahkan aku segala!” ujarnya pada Maya tapi…matanya melirik Bagas.

Bagas menghampiri Mitha. Mitha berkacak pinggang.

“Mau apa?” tantang Mitha galak.

“Mau apa kek,, itu urusanku! Ngapain tanya-tanya!” sentak Bagas.

Wajah Mitha merah padam. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu ketika Rianty tiba-tiba masuk ke kelas dan menarik tangannya.

Mitha menepis tangan Rianty.

“Udah deh! Jangan ribut!” Ujar Rianty.

“Gas! Simpan emosimu! Malu, ‘kan udah gede!” serunya kemudian pada Bagas.

Bagas menurut. Mitha meninggalkan kelas dengan kepala mendongak angkuh. Dibelakangnya Maya mengikuti.

Rianty geleng-geleng kepala melihat kedua sahabatnya itu.

Big Rival (2)

Chapter 2
Ulangan Kimia

Bunyi bel tanda pelajaran dimulai, berdering. Pak Burhan yang tersohor galaknya memasuki ruang kelas 2 IPA 1. Suara riuh rendah mendadak lenyap berganti hening.

“Selamat pagi, anak-anak!” suara Pak Burhan yang berwibawa memecah hening.

“Selamat pagi, Pak!” koor siswa-siswi itu sangat sopan.

“Anak-anak, seperti yang pernah bapak katakan bahwa setiap awal bulan akan ada ulangan mendadak. Maka, hari ini bapak akan mengadakan ulangan,” ujar Pak Burhan lalu menuliskan soal-soal kimia di papan tulis.

Bisik-bisik dan sungut-sungut tak senang terlontar seketika itu juga. Namun tak seorangpun berani mengajukan protes. Mereka kenal betul tabiat guru yang satu ini. Sedikit saja memberi komentar yang melawan kehendaknya, pasti diberi bingkisan khusus, soal-soal rumit yang harus dikerjakan tanpa salah.

Bagas dan Mitha tenang-tenang saja menyelesaikan soal-soal itu. Keduanya merasa yakin akan jawaban yang mereka tulis. Mitha selesai beberapa detik lebih dulu. Gadis itu melirik ke arah Bagas. Tepat, saat itu Bagas baru saja menuliskan jawaban nomor terakhir dan melirik ke arah Mitha.

Mitha terkejut menerima lirikan Bagas. Bagas juga tidak kalah kagetnya. Segera, keduanya membuang muka. Tidak lama, mata keduanya bertumbukkan kembali. Sinar kebencian terpancar dari mata mereka.

“Atika!” tegur Pak Burhan memergoki Atika yang berusaha melihat lembar jawaban teman sebangkunya.

Bagas dan Mitha cepat-cepat menunduk. Teguran Pak Burhan yang ditujukan pada Atika membuat jantung mereka dag-dig-dug. Takut ketahuan sedang berpandang-pandangan.

Detik demi detik berlalu meresahkan. Mitha dan Bagas sudah tidak sabar menanti kata ‘kumpulkan’ yang biasanya diucapkan Pak Burhan setelah waktu yang ditentukan habis. Mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk mengerjakan soal-soal itu. Sisa waktu yang ada sudah mereka gunakan untuk memeriksa kembali, sampai mata terasa pegal. Tapi, sang waktu lambat sekali jalannya.

Kesal menunggu, Mitha memperhatikan teman-temannya. Dia merasa geli melihat anak buah Bagas yang kurang pandai mengerutkan kening seolah berpikir, Padahal, mereka tengah mencari jalan untuk menembus benteng pertahanan Pak Burhan yang luar biasa ketat. Nyontek. Itu yang ada di benak mereka.

Bagas dirayapi perasaan yang sama. Dia merasa ingin tertawa melihat anak buah Mitha mencoret-coret kertas buram, seakan tengah menghitung. Padahal, mereka menulis surat minta tolong pada kawan sebangkunya. Kasihan, surat permohonan itu takkan pernah sampai ke tangan sang teman. Mata Pak Burhan terlalu tajam untuk dikelabui.

Puas menyaksikan tingkah anak buah musuhnya, Mitha mengalihkan pandangan pada sang ketua. Opps! Bagas pun sedang memandangnya. Pandangan mereka beradu lagi, lalu seolah sudah sepakat mereka memeletkan lidah bersamaan.

Pak Burhan berjalan melewati bangku Bagas. Uf! Bagas cepat-cepat menunduk. Mitha ikut menunduk.

Pak Burhan membelakangi bangku Bagas. Mitha menjulurkan lidahnya. Bagas melotot. Mitha ganti turut melotot. Mata keduanya melotot seperti kodok.

Pak Burhan membalikkan tubuh. Bagas berhenti melotot. Ditatapnya Mitha sebal, Mitha balas menatap.

“Bagas! Mitha! Kalau mau pacaran nanti saja!” gelegar suara Pak Burhan mengejutkan keduanya.

“Cihuy!” sorak Rianty lupa diri, lupa waktu.

“Siapa itu teriak-teriak?!” Pak Burhan memutar tubuhnya menatap ke arah Rianty dan Sandra, teman sebangkunya.

“Sa.. saya pak..” Rianty mengaku.

“Istirahat nanti, harap ke kantor. Ada tugas untukmu.”

“ I.. i….iya.. pak,” sahut Rianty pelan dan gugup.

Big Rival (1)

Chapter 1
Bagas vs Mitha


Mereka satu kelas. Sama-sama warga Kelas 2 IPA 1. Wajah, kepandaian dan penampilan keduanya sama menariknya. Pendek kata, merekalah Raja dan Ratu dari seluruh siswa di sekolah itu.

Bagas, cowok bertubuh atletis dengan wajah indo, dambaan setiap gadis. Mitha, dara ayu turunan Solo-Jerman, idaman setiap pemuda. Bagas-Mitha pemegang juara pertama ketika mereka kelas satu. Bagas mewakili kelas I B. Mitha mewakili kelas I C. Mereka tampil sebagai juara umum pertama mengalahkan juara-juara kelas lainnya. Indeks prestasi mereka sama jumlahnya. Mereka juga sama-sama berbakat di bidang seni. Bagas berkali-kali meraih juara melukis. Mitha biangnya juara dalam lomba menyanyi.

Sayang beribu sayang, mereka sama-sama keras kepala dan tak mau kalah. Masing-masing ingin lebih pandai, lebih dikagumi dan lebih dalam segalanya. Tidak heran, mereka berdua bagai anjing dengan kucing. Terlebih lagi, setelah mereka menempati kelas yang sama. Perang mulut, perang otak dan seratus macam perang lainnya senantiasa meliputi keduanya.

Mereka juga mempunyai kelompok pendukung. Anehnya, tidak semua cowok memihak Bagas dan tidak semua cewek memihak Mitha. Tentu ada sebabnya. Cowok pendukung Mitha iri pada Bagas. Sebaliknya, cewek pendukung Bagas dengki pada Mitha. Kekuatan kedua kelompok itu seimbang. Anggotanya sama banyaknya. Jumlah siswa yang 41 orang terbagi dua. 20-20. sisa satunya bersikap netral, yakni Rianty, sang juru damai yang sering dijuluki ‘Gadis Non Blok’.

Rianty, si gadis Non Blok memang anti terhadap perang. Gadis manis berkacamata itu merupakan sahabat Bagas dan Mitha. Tapi tak pernah sekalipun dia mengadu domba. Adil dan damai, itu prinsipnya.

Sudah berbagai akal diterapkan Rianty untuk mendamaikan kedua sobatnya itu. Mulai dari akal bulus akal kancil, akal buaya sampai akal Sherlock Holmes, tapi hasilnya nol besar. Kedua musuh itu tetap saja bersitegang urat kawat… eh, urat leher.

Big Rival (Sinopsis)

Big Rival
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Rabu <> 120510, 0412PM)



Big Rival
Chapter 1 Bagas vs Mitha
Chapter 2 Ulangan Kimia
Chapter 3 Emosi Jiwa
Chapter 4 Lawan Yang Tangguh
Chapter 5 Kekesalan Mitha
Chapter 6 Saran Rianty
Chapter 7 Usaha Rianty
Chapter 8 Perasaan Bagas & Mitha
Chapter 9 Perdamaian Bagas & Mitha


Sinopsis

Mereka satu kelas. Sama-sama warga Kelas 2 IPA 1. Wajah, kepandaian dan penampilan keduanya sama menariknya. Pendek kata, merekalah Raja dan Ratu dari seluruh siswa di sekolah itu.

Bagas, cowok bertubuh atletis dengan wajah indo, dambaan setiap gadis. Mitha, dara ayu turunan Solo-Jerman, idaman setiap pemuda. Bagas-Mitha pemegang juara pertama ketika mereka kelas satu. Bagas mewakili kelas I B. Mitha mewakili kelas I C. Mereka tampil sebagai juara umum pertama mengalahkan juara-juara kelas lainnya. Indeks prestasi mereka sama jumlahnya. Mereka juga sama-sama berbakat di bidang seni. Bagas berkali-kali meraih juara melukis. Mitha biangnya juara dalam lomba menyanyi.

Sayang beribu sayang, mereka sama-sama keras kepala dan tak mau kalah. Masing-masing ingin lebih pandai, lebih dikagumi dan lebih dalam segalanya. Tidak heran, mereka berdua bagai anjing dengan kucing. Terlebih lagi, setelah mereka menempati kelas yang sama. Perang mulut, perang otak dan seratus macam perang lainnya senantiasa meliputi keduanya.

Mereka juga mempunyai kelompok pendukung. Anehnya, tidak semua cowok memihak Bagas dan tidak semua cewek memihak Mitha. Tentu ada sebabnya. Cowok pendukung Mitha iri pada Bagas. Sebaliknya, cewek pendukung Bagas dengki pada Mitha. Kekuatan kedua kelompok itu seimbang. Anggotanya sama banyaknya. Jumlah siswa yang 41 orang terbagi dua. 20-20. sisa satunya bersikap netral, yakni Rianty, sang juru damai yang sering dijuluki ‘Gadis Non Blok’.

Rianty, si gadis Non Blok memang anti terhadap perang. Gadis manis berkacamata itu merupakan sahabat Bagas dan Mitha. Tapi tak pernah sekalipun dia mengadu domba. Adil dan damai, itu prinsipnya.

Sudah berbagai akal diterapkan Rianty untuk mendamaikan kedua sobatnya itu. Mulai dari akal bulus akal kancil, akal buaya sampai akal Sherlock Holmes, tapi hasilnya nol besar. Kedua musuh itu tetap saja bersitegang urat kawat… eh, urat leher.

Mitha dan Bagas adalah murid-murid terpandai yang selalu mendapat juara umum di sekolah. Tetapi, mereka tidak pernah akur dan selalu bersaing. Mereka juga punya kelompok yang selalu mendukung mereka. Hanya 1 orang di kelas mereka yang bersifat netral dan tidak memihak salah satu dari mereka. Rianty,cewek tomboy ini berusaha mendamaikan mereka. Apakah usaha Rianty berhasil?


Tokoh Big Rival

Rianty Arnelita (Rianty)
Rianty, sang juru damai yang sering dijuluki ‘Gadis Non Blok’. Rianty, si gadis Non Blok memang anti terhadap perang. Gadis manis berkacamata itu merupakan sahabat Bagas dan Mitha. Tapi tak pernah sekalipun dia mengadu domba. Adil dan damai, itu prinsipnya.
Sudah berbagai akal diterapkan Rianty untuk mendamaikan kedua sobatnya itu. Mulai dari akal bulus akal kancil, akal buaya sampai akal Sherlock Holmes, tapi hasilnya nol besar. Kedua musuh itu tetap saja bersitegang urat kawat… eh, urat leher.
Mitha Anindya Pasha (Mitha)
Lama, Mitha merenungkan kata-kata Rianty tempo hari. Sudah damai saja. Yang untungkan kamu sendiri. Lagipula si Bagas cukup tampan. Ugh! Si tomboy itu seenaknya aja bicara. Tapi… akh, mengapa harus menipu diri sendiri? Bagas memang tampan kan? Bah! Persetan dengan ketampanannya itu! Pokoknya aku tidak sudi minta tolong padanya. Apalagi disuruh damai, wuih… nanti dulu ya!
Kamu memang sombong Mitha! Apa sih enaknya musuhan? Bisa peot kamu kalau terus-terusan keki, hanya karena nilai dia lebih tinggi. Uf! Mitha memukul lengan sofa. Dia benar-banar bingung. Ingin baikan dengan Bagas tapi gengsi. Ingin terus musuhan alamat jatuh nilai fisikanya. Lagipula, dia sudah bosan dengan pertengkaran-pertengkaran itu.

Bagas Natadipura (Bagas)
Di tempat lain, di kamarnya yang super acak-acakan, Bagas berbaring menatap langit-langit kamar Ditelinganya berdengung ucapan Riabty. Apa sih ruginya minta diajarin Mitha? Ya…. apaaa? batinnya.

Kemudian tanpa disadarinya, wajah Mitha bermain-main di pelupuk matanya. Rianty bilang, Mitha cantik. Uh, apanya yang cantik? Hei, Bagas… jangan membalikkan fakta. Nyatanya, dia memang menarik, cantik dan ..Ops! Bagas memejamkan mata. Ia berusaha mengusir wajah Mitha, tapi semakin dicoba semakin jelas paras cantik itu tergambar di benaknya. Senyumnya, matanya, bibirnya,.. akh, semua ini gara-gara Rianty brengsek itu! Bagas melempar bantal gulingnya. Kesal.

Maya Agraciana (Maya)
Tangan kanan Mitha Anindya Pasha (Mitha)
“Apaaaa?! Damaaaiii?!” Melengking suara Maya mendengar kata-kata Mitha.
“Eh, sorry. Abis aku tidak menduga akan begini jadinya,” katanya.
“Aku sih …ngikutin kamu aja!”

Mario Dewantara (Mario)
Tangan Kanan Bagas Natadipura (Bagas)
“Akhirnya runtuh juga pertahananmu, Gas!” Mario meninju bahu Bagas.
“Mm, aku sih mau saja. Kalau boss memang ingin damai, anak buah siap mengikuti,” kata Mario seraya membungkuk hormat.