Senin, 19 Juli 2010

Kado 4 Cewek (3-Tamat)

Chapter 3
Bersaing Secara Sehat


Keesokan harinya, aku melihat keempat cewek itu tampil bersama dan nampak lebih heboh, mereka bergaya bak model-model majalah yang mau fashion show, bahkan sebelum sampai ke sekolah, keempat kembar siam itu, katanya mampir ke salon dulu untuk touch up! Wah, wah...

Di kantin, ketika hendak jajan, aku sempat berpapasan dengan Tasya, dia bilang katanya genk-nya mau bersaing secara sehat dan alamiah, “pokoknya setiap hari tampil kinclong, ‘ntar siapa yang dipilih ama si Edo-cowok cakep, itulah yang beruntung,” terangnya. “Yyyuuukkk ...!“
Aku cuma bisa melongo.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Kado 4 Cewek (2)

Chapter 2
Kado Ultah


Besoknya keempat cewek itu sudah mulai akrab lagi. Tapi pada hari yang sama, tepatnya di sore harinya, cowok yang mereka taksir itu datang kepadaku. Katanya dia mau melelang barang-barang yang merupakan kado-kado dari hasil pemberian beberapa orang. Hasil lelangnya itu akan disumbangkan ke kegiatan OSIS sekolah. Wah, boleh juga, tuh.

“Barangnya apa aja?” tanyaku.

Kemudian aku bersama teman-teman pengurus OSIS, diajak ke sebuah mobil yang terparkir di luar pagar sekolah. Ketika bagasinya dibuka, aku lihat banyak sekali barang yang ia tawarkan tapi masih berupa bungkusan kado.

“Yang mana yang mau dilelang?” tanyaku sedikit terheran.

“Semuanya aj Lun....” jawab Edo si cowok kiyut itu.

Karena semua masih dibungkus dalam kertas kado, kita tidak tahu jangan-jangan ada hadiah yang sangat mahal harganya? Atau jangan-jangan ada yang isinya bom? He he he.

“Nggak diperiksa dulu, atau dipilih-pilih yang mana yang kira-kira bisa dilelang dan yang mana yang bisa digunakan untuk pribadi?”

Si Edo, cowok cakep ini menekankan, “semuanya, dan tidak perlu diperiksa.”

Wah, wah, hebat juga nih cowok. Dalam hatiku, enak sekali jadi cowok ganteng ya, tiap ultah banyak yang ngasih kado. Padahal setahuku si Edo ini nggak bikin pesta, kado terus aja mengalir.

Aku tentu saja beterima kasih padanya. Si Edo ini lumayan sosial. Dia nggak gitu aktif di OSIS, tapi setahuku dia lumayan sering hadir di acara-acara OSIS. Diam-diam aku sempat memperhatikan sosoknya, dan menurutku sih wajar aja banyak orang (terutama cewek-cewek di sekolah ini) yang berusaha menarik perhatiannya dengan memberikan kado pada HUT-nya itu. Selain orangnya cakep, mudah bergaul, murah senyum, nggak sombong, dan ya itu tadi, punya jiwa sosial yang tinggi.

“Aku sudah bilang kepada mereka, bahwa kado-kado ini bebas aku apain aja, dan sekarang aku mau lelang,” ujar si Edo sebelum meninggalkan ruang OSIS. “Kalo dilelang, kita bisa dapat harga lebih tinggi, selain itu uang yang masuk bisa lebih mudah dimanfaatkan daripada kado-kado yang masih berupa barang. Misalnya ada yang ngasih kado jam tangan, nah buat apa jam tangan itu, mau ditaroh di dinding ruang OSIS?” Katanya sambil nyengir.

Aku manggut-manggut. Betul juga. Soalnya aku nggak gitu tahu isi kado-kado itu, sih. Makanya tadi kan aku ngasih saran supaya diperiksa dulu isinya. Ternyata dia berniat untuk melelang semuanya.

Akhirnya aku bersama pengurus OSIS sepakat bikin acara lelang. Semua anak sekolah diperbolehkan datang. Sehari sebelum lelang aku bikin pengumuman.

“Eh, lelang barang kado ultah? Apa maksudnya?” tanya Tasya kaget.

Aku menceritakan kejadiannya, dan tentu saja Tasya makin kaget. “Tapi... nama pengirim kadonya disebutin nggak?” ujarnya sedikit ketakutan.

“Ya, enggak tau juga, ya, soalnya dia sendiri yang mau ngelelang barang-barang itu…” ujarku.

Tasya manggut-manggut.

Pada kenyataanya, si Edo menyebutkan semua barang-barang yang dilelang berikut nama si pemberi barang, karena dia hapal betul nama-nama si pemberi hadiah itu. Misalnya saja ketika ia mengangkat sebuah diary mungil, dia langsung bilang terima kasih pada Anti, yang sudah memberikan buku itu, tapi bukannya bermaksud merendahkan pemberian itu, tapi justru dengan melelangnya, diary ini jadi lebih berarti, “Ya, saya tawarkan diary ini dengan harga awal dua puluh ribu rupiah!” teriaknya lantang.

Maka serentaklah orang-orang (kebanyakan cewek-cewek) mengangkat tangan, yang memberi harga variatif, mulai dua puluh lima ribu, lalu tiga puluh ribu, lalu lima puluh ribu, sampai ada seseorang yang berani membelinya dengan harga, “Seratus ribu!”

“Ada lagi?” pancing si Edo.

Tidak ada lagi yang menunjuk tangan kecuali Anti. Lalu Anti maju ke depan dan menyerahkan uang seratus ribu pada Edo, dan mengambil diary mungil itu. Dia mendekati Edo dan meminta tanda tangan pada diary tersebut. Lalu memeluk diary itu dengan hangat.
Aneh, aku betul-betul geleng-geleng kepala. Bukunya sendiri yang dijadikan kado lalu dibelinya lagi dengan harga tinggi. Hi hi hi.

“Selanjutnya ada jam tangan, ini pemberian dari sahabat saya Tasya... saya lelang dengan memulai penawaran... dua ratus ribu…”

Kejadian selanjutnya mirip dengan yang pertama tadi, meskipun banyak orang yang berebut angkat tangan dengan aneka penawaran harga, tapi ujung-ujungnya justru si pemilik barang itulah yang memberi penawaran harga tertinggi. Sudah bisa dipastikan Tasya mengambil jam tangan itu dengan perasaan senang.

Setelah itu Edo menyebutkan barang pemberian Nadila, Regina, Renata dan yang lainnya. Ya, semua barang akhirnya terjual lebih mahal dari harga aslinya. Perkiraan Edo tepat, uang lebih banyak terkumpul dan lebih mudah digunakan untuk pengembangan kegiatan OSIS serta berbagai macam kegiatan lainnya.

“Terima kasih ya, “ ucapku pada Edo. Edo tersenyum setelah meyerahkan sejumlah uang.

Sementara kulihat keempat cewek kompak itu di pojokan sedang menimang barang-barangnya masing-masing.

“Kamu ternyata ngasih kado ya ke Edo?” ujar Renata ke Tasya.

“Kamu juga,” sergah Tasya.

“Ssst, sudahlah, kamu juga ikutan ngasih kado, kan?” ujar Regina.

“Iya, berarti kita udah nggak kompak lagi. Diam-diam kita masih memperhatikan dia, memberikan kado, untung kadonya dilelang, jadinya ketahuan, coba kalo nggak dilelang, pasti diam-diam kita masih naksir terus ke dia,” beber Nadila.

“Jadi gimana, dong?” tanya Tasya.

“Kita udah nggak jujur lagi. Percuma aja kompak-kompakan selama ini,” imbuh Nadila.

Selanjutnya mereka berempat meninggalkan pojokan itu dengan langkah-langkah gontai. Hmm, apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah mereka akan bubaran setelah kejadian ini? Bercerai-berai untuk meneruskan persaingan mendapatkan perhatian si Edo-cowok cakep itu? Hmm, entahlah, yang jelas keempat cewek kompak itu terus saja melangkah.

Kado 4 Cewek (1)

Chapter 1
Cinta 4 Hati


Keempat cewek ini kompak banget. Tasya, Nadila, Regina, dan Renata ke mana-mana selalu berempat.

Kalo ke kantin pasti ketemu dengan empat cewek ini, ke perpustakaan juga begitu, ke lapangan basket juga, bahkan sampai ke kamar kecil sekali pun pasti ada empat makhluk-makhluk manis ini. Aku sih geleng-geleng kepala aja setiap kali bertemu mereka.

Mereka kerap aku undang ke acara OSIS, dan enaknya, kalau yang satu mau, yang lainnya pasti ikutan. Jadi lumayan, ngundang satu dapat empat. He he he, kayak sale aja.

Tapi belakangan, aku melihat ada perubahan pada keempat cewek kompak itu. Mereka memang masih ke mana-mana berempat, tapi di raut wajah mereka ada yang berubah, tak lagi tersenyum bersama, melainkan seperti menyimpan misteri sendiri-sendiri. Ada apa ya?

Rupanya, setelah aku dapat info dari salah seorang dari mereka, diam-diam empat cewek ini lagi naksir seorang cowok. Salah satu dari mereka yaitu Tasya, bercerita kepadaku.

Katanya, yang awalnya naksir, Renata, tapi karena sudah kebiasaan, yang lainnya ikut memperhatikan sang cowok dan ujung-ujungnya empat-empatnya jadi ikutan naksir. Tentu aja, yang begini nggak bisa dilakukan secara bersamaan. Masalah cinta nggak kenal istilah kompak-kompakan. Karena jatuh cinta adalah masalah hati, dan yang namanya hati punya rahasia sendiri-sendiri. Iya kan?

Dan jujur aja, untuk yang kayak begini aku nggak bisa ngasih solusi apa-apa, wong aku sendiri nggak pernah naksir orang, kok. Apalagi sampe jatuh cinta. Paling aku bilang pada Tasya, sebaiknya konsentrasikan diri pada pelajaran, nanti masalah itu bisa terlupakan dengan sendirinya. Tapi Tasya bilang, justru ia nggak bisa belajar dengan konsentrasi kalau nggak ingat sama cowok itu. Duile segitunya!

Tapi besoknya aku dengar dari Tasya lagi kalo keempat cewek itu sudah membuat kebulatan tekad.

“Hmm, gini deh, kalo kita mau memepertahankan kebersamaan kita, di antara kita tidak ada yang boleh naksir sama cowok itu lagi!” cerita Tasya padaku.

“Setuju!” teriak tiga lainya, masih menurut cerita Tasya.

Hmm, menurutku hebat. Mereka lebih memilih kebersamaan daripada harus pecah gara-gara seorang cowok ganteng.

Tapi apa iya mereka bisa kompak begitu? Rasanya kalau untuk naksir-naksiran, siapa pun nggak ada yang bisa dipercaya. Buktiin, deh. Soalnya sekarang si Tasya, mendatangiku lagi dan bilang bahwa dia betul-betul tidak bisa melupakan bayangan si cowok itu.

“Lun… Dia ulang tahun, boleh nggak aku ngasih kado?” ujarnya memohon pendapatku.

“Ya, kalo cuma mau ngasih kado sih boleh-boleh aja. Kenapa tidak?” Ucapku.

“Hmm, jadi nggak apa-apa?”

“Emangnya kenapa?” pancingku.

“Ya, kita kan udah janjian nggak mau naksir cowok itu lagi?”

“Memberi kado kan bukan menunjukkan bahwa kita naksir?”

“Tapi,” kata Tasya dalam hatinya (kok aku bisa tau suara hatinya? He he he) “Aku ngasih kado ini karena sebetulnya masih naksir dia, dan sulit sekali melupakannya. Eh kamu janji ya, jangan bilang-bilang ke ketiga temanku itu kalo aku ngasih kado ke cowok itu.” sergah Tasya lagi.

“Apa pernah aku cerita-cerita?” kayaknya dia nggak percaya sama reputasiku.

“Enggak, sih?”

Kado 4 Cewek (Sinopsis)

Kado 4 Cewek
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Jum’at <> 140510, 0305PM)


Kado 4 Cewek
Chapter 1 Cinta 4 Hati
Chapter 2 Kado Ultah
Chapter 3 Bejuang Secara Sehat


Sinopsis

Keempat cewek ini kompak banget. Tasya, Dila, Gina, dan Renata ke mana-mana selalu berempat.

Kalo ke kantin pasti ketemu dengan empat cewek ini, ke perpustakaan juga begitu, ke lapangan basket juga, bahkan sampai ke kamar kecil sekali pun pasti ada empat makhluk-makhluk manis ini. Aku sih geleng-geleng kepala aja setiap kali bertemu mereka.

Mereka kerap aku undang ke acara OSIS, dan enaknya, kalau yang satu mau, yang lainnya pasti ikutan. Jadi lumayan, ngundang satu dapat empat. He he he, kayak sale aja.

Tapi belakangan, aku melihat ada perubahan pada keempat cewek kompak itu. Mereka memang masih ke mana-mana berempat, tapi di raut wajah mereka ada yang berubah, tak lagi tersenyum bersama, melainkan seperti menyimpan misteri sendiri-sendiri. Ada apa ya?

Rupanya, setelah aku dapat info dari salah seorang dari mereka, diam-diam empat cewek ini lagi naksir seorang cowok. Salah satu dari mereka yaitu Tasya, bercerita kepadaku.

Katanya, yang awalnya naksir, Renata, tapi karena sudah kebiasaan, yang lainnya ikut memperhatikan sang cowok dan ujung-ujungnya empat-empatnya jadi ikutan naksir. Tentu aja, yang begini nggak bisa dilakukan secara bersamaan. Masalah cinta nggak kenal istilah kompak-kompakan. Karena jatuh cinta adalah masalah hati, dan yang namanya hati punya rahasia sendiri-sendiri. Iya kan?

Dan jujur aja, untuk yang kayak begini aku nggak bisa ngasih solusi apa-apa, wong aku sendiri nggak pernah naksir orang, kok. Apalagi sampe jatuh cinta. Paling aku bilang pada Tasya, sebaiknya konsentrasikan diri pada pelajaran, nanti masalah itu bisa terlupakan dengan sendirinya. Tapi Tasya bilang, justru ia nggak bisa belajar dengan konsentrasi kalau nggak ingat sama cowok itu. Duile segitunya!

Tapi besoknya aku dengar dari Tasya lagi kalo keempat cewek itu sudah membuat kebulatan tekad.



Tokoh Kado 4 Cewek

Luna Castavaria (Luna)
Katanya, yang awalnya naksir, Renata, tapi karena sudah kebiasaan, yang lainnya ikut memperhatikan sang cowok dan ujung-ujungnya empat-empatnya jadi ikutan naksir. Tentu aja, yang begini nggak bisa dilakukan secara bersamaan. Masalah cinta nggak kenal istilah kompak-kompakan. Karena jatuh cinta adalah masalah hati, dan yang namanya hati punya rahasia sendiri-sendiri. Iya kan?

Dan jujur aja, untuk yang kayak begini aku nggak bisa ngasih solusi apa-apa, wong aku sendiri nggak pernah naksir orang, kok. Apalagi sampe jatuh cinta. Paling aku bilang pada Tasya, sebaiknya konsentrasikan diri pada pelajaran, nanti masalah itu bisa terlupakan dengan sendirinya. Tapi Tasya bilang, justru ia nggak bisa belajar dengan konsentrasi kalau nggak ingat sama cowok itu. Duile segitunya!


Alfredo Djangkaru (Edo)
Si cowok ini lumayan sosial. Dia nggak gitu aktif di OSIS, tapi dia lumayan sering hadir di acara-acara OSIS. Sepertinya sih wajar aja banyak orang (terutama cewek-cewek di sekolah ini) yang berusaha menarik perhatiannya dengan memberikan kado pada HUT-nya itu. Selain orangnya cakep, mudah bergaul, murah senyum, nggak sombong, dan ya itu tadi, punya jiwa sosial yang tinggi.

“Aku sudah bilang kepada mereka, bahwa kado-kado ini bebas aku apain aja, dan sekarang aku mau lelang,” ujar si cowok sebelum meninggalkan ruang OSIS. “Kalo dilelang, kita bisa dapat harga lebih tinggi, selain itu uang yang masuk bisa lebih mudah dimanfaatkan daripada kado-kado yang masih berupa barang. Misalnya ada yang ngasih kado jam tangan, nah buat apa jam tangan itu, mau ditaroh di dinding ruang OSIS?” Kata Alfredo Djangkaru (Edo) sambil nyengir.


Natasya Permata (Tasya)
“Hmm, gini deh, kalo kita mau memepertahankan kebersamaan kita, di antara kita tidak ada yang boleh naksir sama cowok itu lagi!” cerita Tasya pada Luna Castavaria (Luna).
“Dia ulang tahun, boleh nggak aku ngasih kado?” ujarnya memohon pendapat Luna Castavaria (Luna).
“Hmm, jadi nggak apa-apa?”
“Ya, kita kan udah janjian nggak mau naksir cowok itu lagi?”
“Memberi kado kan bukan menunjukkan bahwa kita naksir?”
“Tapi,” kata Tasya dalam hatinya (kok aku bisa tau suara hatinya? He he he) “Aku ngasih kado ini karena sebetulnya masih naksir dia, dan sulit sekali melupakannya. Eh kamu janji ya, jangan bilang-bilang ke ketiga temanku itu kalo aku ngasih kado ke cowok itu.” sergah Tasya lagi.


Nadila Anastasya (Nadila)
“Iya, berarti kita udah nggak kompak lagi. Diam-diam kita masih memperhatikan dia, memberikan kado, untung kadonya dilelang, jadinya ketahuan, coba kalo nggak dilelang, pasti diam-diam kita masih naksir terus ke dia,” beber Nadila.
“Kita udah nggak jujur lagi. Percuma aja kompak-kompakan selama ini,” imbuh Nadila.
Selanjutnya mereka berempat meninggalkan pojokan itu dengan langkah-langkah gontai. Hmm, apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah mereka akan bubaran setelah kejadian ini? Bercerai-berai untuk meneruskan persaingan mendapatkan perhatian si cowok cakep itu? Hmm, entahlah, yang jelas keempat cewek kompak itu terus saja melangkah.


Regina Tiara Azizah (Regina)
“Ssst, sudahlah, kamu juga ikutan ngasih kado, kan?” ujar Regina.
Selanjutnya mereka berempat meninggalkan pojokan itu dengan langkah-langkah gontai. Hmm, apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah mereka akan bubaran setelah kejadian ini? Bercerai-berai untuk meneruskan persaingan mendapatkan perhatian si cowok cakep itu? Hmm, entahlah, yang jelas keempat cewek kompak itu terus saja melangkah.


Renata Galia Putri (Renata)
“Kamu ternyata ngasih kado ya ke cowok itu?” ujar Renata ke Tasya.
Selanjutnya mereka berempat meninggalkan pojokan itu dengan langkah-langkah gontai. Hmm, apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah mereka akan bubaran setelah kejadian ini? Bercerai-berai untuk meneruskan persaingan mendapatkan perhatian si cowok cakep itu? Hmm, entahlah, yang jelas keempat cewek kompak itu terus saja melangkah.

Selasa, 08 Juni 2010

Big Rival (9-End)

Chapter 9
Perdamaian Bagas & Mitha


Senja habis hujan.

Sebuah Ninja Kawasaki dan sebuah taksi berhenti bersamaan di depan rumah Rianty. Mario turun dari boncengan. Bagas memarkir motornya. Berjarak tiga meter, tampak Mitha tengah membayar ongkos Taksi. Di sampingnya berdiri Maya.

“Mau apa mereka ke rumah Rianty?” bisik Maya.

Mitha menatap dua sosok tubuh itu. “Wah, gimana ya? Kita pulang aja yok. Nggak lucu kalau mereka tahu maksud kedatangan kita, “ Ujarnya gelisah.

“Eh, jangan dong. Kita ‘kan udah cape-cape kemari. Tunggu aja deh sampai mereka pulang.”

“Mm…… iya deh.” Mitha mengangguk.

Di depan pintu pagar, ke empat remaja itu tertegun. Tangan Maya bersamaan dengan tangan Mario ingin memijit bel, ketika Rianty muncul.

“Hei, ada apa nih?” katanya, “Wah, mau keroyok aku, ya?”

“Bukan Ri, kami….”

“Buka dulu dong pintunya,” tukas Bagas memotong ucapan Maya.

Bergegas Rianty membuka pintu pagar. “Silahkan masuk tuan-tuan dan nona-nona,” katanya lucu.

Di ruang tamu yang sejuk, Mitha duduk diapit Rianty dan Maya. Dihadapan mereka dua buah sofa ditempati Mario dan Bagas.

“Bik, minumnya lima gelas! Yang dingin ya?” teriak Rianty memerintah pembantunya.

“Ngga usah repot-repot Ri. Kami cuma sebentar kok,” Mitha buka suara.

“Sebenarnya, ada apa sih? Kok rame-rame kemari?” Rianty membetulkan posisi duduknya.

“Anu… Ri… Bagas tidak meneruskan kata-katanya. Disenggolnya lengan Mario.

“Aku ingin membicarakan sesuatu tapi, harus empat mata.” Ujar Mario.

“Aku juga Ri,” Maya menukas.

Rianty garuk-garuk kepala. “Waduh siapa duluan nih? Kamu dulu deh, Mario, Maya, sabar ya?”

Maya mengangguk.

“Yuk, Mario! Kita ke halaman belakang,” Ajak Rianty menarik tangan Mario.

Beberapa menit berlalu. Mario kembali ke ruang tamu.

“Miss Maya!” panggil Rianty. Lagaknya sudah seperti suster memanggil pasien yang sedang antre di ruang tunggu. Maya beranjak menemui Rianty.

Tak lama kemudian, Maya dan Rianty sudah berada kembali di ruang tamu.

“Oh, damai di bumi! Damai di hati!” seru Rianty. Tangan kanannya meraih tangan Mitha, tangan kirinya memegang tangan Bagas. Kedua tangan sahabatnya itu dipertemukan.

Bagas tersenyum menjabat tangan Mitha. Mitha balas tersenyum.

“Nah, gitu donk! Jangan cekcok terus,” Rianty tertawa. “Sebagai generasi penerus kita mesti bersatu, karena bersatu kita teguh bercerai kita….”

“Kawin lagi!” potong Mario.

“Hush!” Rianty melotot.

Dan, gelak tawa pun memenuhi ruangan itu. Ah, senja yang membawa damai, mungkin juga cinta bagi Bagas dan Mitha.

TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com


Big Rival (8)

Chapter 8
Perasaan Bagas & Mitha


Lama, Mitha merenungkan kata-kata Rianty tempo hari. Sudah damai saja. Yang untungkan kamu sendiri. Lagipula si Bagas cukup tampan. Ugh! Si tomboy itu seenaknya aja bicara. Tapi… akh, mengapa harus menipu diri sendiri? Bagas memang tampan kan? Bah! Persetan dengan ketampanannya itu! Pokoknya aku tidak sudi minta tolong padanya. Apalagi disuruh damai, wuih… nanti dulu ya!

Kamu memang sombong Mitha! Apa sih enaknya musuhan? Bisa peot kamu kalau terus-terusan keki, hanya karena nilai dia lebih tinggi. Uf! Mitha memukul lengan sofa. Dia benar-banar bingung. Ingin baikan dengan Bagas tapi gengsi. Ingin terus musuhan alamat jatuh nilai fisikanya. Lagipula, dia sudah bosan dengan pertengkaran-pertengkaran itu.

Di tempat lain, di kamarnya yang super acak-acakan, Bagas berbaring menatap langit-langit kamar Ditelinganya berdengung ucapan Riabty. Apa sih ruginya minta diajarin Mitha? Ya…. apaaa? batinnya.

Kemudian tanpa disadarinya, wajah Mitha bermain-main di pelupuk matanya. Rianty bilang, Mitha cantik. Uh, apanya yang cantik? Hei, Bagas… jangan membalikkan fakta. Nyatanya, dia memang menarik, cantik dan ..Ops! Bagas memejamkan mata. Ia berusaha mengusir wajah Mitha, tapi semakin dicoba semakin jelas paras cantik itu tergambar di benaknya. Senyumnya, matanya, bibirnya,.. akh, semua ini gara-gara Rianty brengsek itu! Bagas melempar bantal gulingnya. Kesal.

“Apaaaa?! Damaaaiii?!” Melengking suara Maya mendengar kata-kata Mitha.

“Hus! Pelan sedikit kek!” Mitha mengibaskan tangannya. Maya menutup mulutnya.

“Eh, sorry. Abis aku tidak menduga akan begini jadinya,” katanya.

“Menurutmu, gimana?” Mitha minta pendapat.

“Aku sih …ngikutin kamu aja!”

Pada saat yang sama, di rumah Mario.

“Akhirnya runtuh juga pertahananmu, Gas!” Mario meninju bahu Bagas.

“Ya, aku sudah bosan berperang terus. Kalau terlalu lama bisa sakit jantung.”

“Mm, aku sih mau saja. Kalau boss memang ingin damai, anak buah siap mengikuti,” kata Mario seraya membungkuk hormat.

Big Rival (7)

Chapter 7
Usaha Rianty


Hari masih pagi. Jam di pergelangan tangan kiri Rianty baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Gadis berambut pendek itu menghampiri Bagas yang duduk termenung di atas sebuah kursi panjang di halaman sekolah.

“Aku bilang juga apa. Coba kalau baikan dengan Mitha, pasti ulangan Inggrismu nggak pas-pasan enam setengah,” katanya sambil duduk di samping Bagas.

“Apa-apaan sih Ri! Kok, datang-datang ngomong begitu?” Bagas memandang Rianty dengan kesal.

“Heh, jangan pura-pura,” Rianty bangkit dari duduknya. Disandarkannya tubuh kurusnya pada sebatang pohon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku rok abu-abunya. “Kamu lagi mikirin ulangan Inggris yang kemarin, ‘kan?”

“Kalau ya, memangnya kenapa?” serang Bagas ketus. “Kamu pikur aku mau diajarin sama si …”

“Cantik Mitha?” potong Rianty tertawa. “Bagas.. Bagas… apa sih ruginya minta diajarin? Gengsi? Hmm….. kalian berdua memang kepala batu.”

Bagas diam saja. Tangannya dilipat ke dada. Matanya memandang lurus ke arah bebungaan yang mekar di sudut halaman.

“He, Gas,” kata Rianty lagi., “Bersaing sih boleh, tapi jangan gontok-gontokan dong! Akibatnya, kamu jadi malu minta diajarin sama Mitha. Nah, kalau sudah begitu, kamu yang repot sendiri kan? Coba, kalau kalian bersaing secara damai…”

“Ala… sudahlah Ri,” Bagas menukas, “Aku bosan dengar ceramahmu!” Ditinggalkannya Rianty, masuk ke kelas.

“Demi kebaikanmu, Gas! Demi prestasimu,” Rianty mengikuti langkah Bagas.“ Mitha jago bahasa Inggris lho! Bisa kalah kamu nanti.” ujarnya memanasi.

“Aku tidak akan kalah, Ri. Aku pasti manang!” Bagas membalikkan tubuh menatap Rianty tajam, lalu berjalan ke tempat duduknya.

Rianty menghela nafas. Oh, gadis Non Blok jangan sampai usahamu gagal, batinnya.