Sabtu, 24 April 2010

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (4-End)

Chapter 4
I’m Happy

Kini tiba malam yang ditunggu-tunggu.

Davina tak hentinya menatap dirinya di cermin.

Is that really me?

Wuih... canggih!

Tube dress black maroon dengan tali tipis spaghetti dan rok model A line, plus sepatu senada dipadu make-up natural minimalis sangat memodiskan tubuhnya yang ramping. Ia tampak anggun diandili rambut bob mutakhir dengan warna racikan Salon 8 Dewa. Pesta ultah Rossa pasti tertakjubi oleh kehadirannya bak Cinderella. Apalagi, ia digandeng oleh sang Pangeran dari Negeri 8 Dewa (ups, salah! Maksudnya, pemuda yang dikenalnya di Salon 8 Dewa bernama Satria!).

Ssstt, bukan itu saja!

Ia juga bakalan menjadi selebritis baru. Tentu saja bukan karbitan secara ia memang sedari dahulu bercita-cita menjadi model papan atas. Dan, lagi-lagi rencana sesi pemotretan minggu depan diantar Satria, si Pujaan Hati.

"Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah menganugerahi aku seorang pemuda tampan dan baik hati di Salon 8 Dewa. Terima kasih, Silvia. Andilmu mengenalkan aku pada Salon 8 Dewa tak pernah akan aku lupakan. Dan terima kasih juga untuk Mas Dewa. Hasil semir rambutmu membuahkan hasil yang indah. Terima kasih, Mas... Mbak, eh Oom berambut coklat serupa besi berkarat. Kamu adalah pegawai salon terhandal...." bisik Davina dalam doa, tersenyum lalu seperti terbang menuju bintang-bintang karena saking bahagianya.



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (3)

Chapter 3
Calon Model


Namun, ia mengernyitkan dahinya.

Lho, kok sepertinya ada yang memperhatikan ia lagi!

Dengan kepala yang terperangkap seperti itu agak susah Dara mengedarkan pandangan. Cowok kaos biru muda? Bukan. Cowok kaos putih? Bukan juga. Lho... mata Davina berhenti pada cowok berkacamata dan berkemeja coklat army yang ia lihat lewat cermin di depannya. Cowok itu mengangguk sopan. Davina menyungging senyum kecil. Ada apa sih hari ini? tanyanya dalam hati. Lalu dengan panik ia melihat bayangan dirinya di cermin.

'Jangan-jangan ada sesuatu nempel di muka aku!' pekik Davina dalam hati, lalu menghela napas lega setelah apa yang 'tidak-tidak', yang dibayangkannya tidak terjadi!

Aduh! Masih belum selesai juga, nih! Davina sudah mulai bosan. Kali ini ia yang mencuri pandang dan mencuri dengar ke arah dua pemuda keren tadi.

"Ryan, kamu sudah mencicipi ikan bakar Red Cafe belum?" Cowok bermata elang bertanya.

Davina memutar matanya, kembali ke depan cermin. Hm, Ryan...

Sekonyong-konyong Ryan sudah ada di sampingnya, dan mengambil salah satu majalah di meja cermin depan Davina. Mata mereka beradu, dan Ryan itu mengedipkan sebelah matanya dengan sikap menggoda.

Davina salting bukan main. Cepat-cepat meraih air mineral free of charge dari salon. Fiuh! Untung disediakan minum. Kalau tidak, ia bisa mati gaya.

"Ih, genit amat sih cowok itu," rutuk Davina, ngedumel dalam bisik.

Tidak lama kemudian, salah seorang pegawai salon Si Dewa datang dan membuka tangkup pemanas rambut pada kepalanya.

"Oke, Mbak, sudah selesai," ujar si Pegawai salon, masih si Rambut coklat serupa besi berkarat yang lebih kemayu ketimbang perempuan. "Dibilas dulu ya, Mbak?"

Dara agak lega setelah seperti menunggu selama seabat. Namun, alangkah terkejutnya ia saat melihat dirinya lebih seksama pada cermin. Hasil semir warna pada rambutnya sungguh di luar dugaan!

"Lho?! Kok...!" Davina seperti kebakaran jenggot. Panik. Gugup luar biasa. "Mbak, eh Mas... Oom, eh... kok jadi warna merah menyala?! Seperti gulali pada poni panjangnya?!"

"Ya? Kenapa, Mbak?" tanya Mas Dewa yang ikutan panik melihat ekspresi Davina, segera menghampiri tempat duduk Davina yang tengah berteriak.

"Aduh... Mas! Kenapa warna merah yang zaman Britney Stewart masih sahabatan sama Jessica Grace?!" tanya Davina dengan suara tercekat, berusaha menahan tangis.

"Maksud, Mbak?" Mas Dewa mengerutkan keningnya.

"Mak-maksud aku, seharusnya merahnya adalah merah kecoklatan pas Britney lagi heboh-hebohnya mau cerai sama Justin Pattinson itu!"

"Merah yang bagaimana ya, Mbak?" tanya Mas Dewa bingung. Sementara itu si Rambut coklat serupa besi berkarat hanya terpana dan mematung dengan jari tergigit.

"Ya... merah agak coklat agak gelap tapi merah. Begitu, merah jablay begitu!" Davina bingung menjelaskannya, berdiri dan sedikit mengentakkan kakinya ke lantai karena kesal luar biasa. "Ada contoh warna tidak, sih?!" tanyanya lagi dengan nada marah.

Davina kesal sekali. Kenapa juga ia bodoh tidak memilih warna sejak awal. Begini deh jadinya!

Tergopoh-gopoh si Rambut coklat serupa besi karat berlari menuju meja kasir, lalu detik berikutnya ia sudah tiba di hadapan Davina dan mengangsurkan gumpalan sampel rambut sintesis yang tertempel di karton warna hitam dan putih itu pada Davina.

Duh, jangan sampai Mbak ini menangis sambil teriak di salon tempat ia baru bekerja dua minggu ini. Bisa-bisa rumor beredar di luaran bahwa Salon 8 Dewa mengecewakan pelanggan dan kemudian tutup, lantas akhirnya ia menganggur lagi. Uh, ia paham benar bagaimana lips to lips marketing and advertising lebih jitu ketimbang iklan di televisi.

Davina membolak balik semua lembaran contoh warna. Gila! Dari sekian banyak sampel, tapi tidak ada yang sesuai dengan selera warna yang diinginkannya. Tidak ada yang persis sama dengan warna rambutnya Britney Stewart-penyanyi solo papan atas Hollywood!

Dengan lunglai diletakkannya buku-buku besar itu ke atas meja. Yah, memang salahnya tidak membawa contoh majalah yang ada Britney dengan rambut breathtaking-nya itu. Apa boleh buat nasi telah menjadi kerak.

"Berapa, Mbak?" tanya Davina lemas, setelah ia lebih memilih untuk pulang dan menangis sepuas-puasnya. Hancur berantakan semua impian indahnya!

Namun ia membelalak tidak percaya setelah mendengar harga yang disebutkan. Alias murah banget! Ah, biar saja. Mungkin mereka merasa bersalah sehingga membanting harga sampai menyusur tanah alias korting irasional!

Begitu Davina keluar menuju mobilnya, ada langkah-langkah mengikutinya

"Maaf, Mbak, mengganggu sebentar. Hm, ini kartu nama saya." Ternyata cowok berkacamata dan berbaju coklat army tadi.

Dara baru sadar bahwa orang itu sejak tadi hanya duduk tapi tidak melakukan perawatan apapun di Salon 8 Dewa. Davina membaca tulisan yang tertera di kartu tersebut: 'Colours Model Company. Aditya Permadi. Director'.

"Saya sedang mencari talenta baru untuk iklan pewarna rambut, dan sejak tadi saya perhatikan Mbak. Maaf, nama Mbak siapa...."

Davina meneruskan. "Davina. Davina Rarasadya."

"Oya, Mbak Davina. Mbak Davina cocok sekali untuk diikutkan audisi untuk iklan produk kami. Warna rambut dan modelnya cocok sekali pada rambut Mbak Davina. Kapan bisa ikut sesi pemotretan?" desaknya dengan ekspresi serius.

davina melongo. Tidak salah dengarkah ia?! Hatinya mulai membuncah dengan bunga.

"Hm, saya lihat jadwal saya dulu ya Mas," sahut Davina berlagak profesional. "Nanti saya hubungi Mas...."

Pemuda bertampang officer itu cukup puas dengan jawaban Davina. "Oke, oke. Terima kasih ya, Mbak avina. Saya tunggu telepon dari Anda."

Davina kembali berjalan ke arah mobilnya ketika selesai menjabat tangan dengan pemuda itu. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti ketika ada langkah-langkah berikutnya yang terdengar buru-buru diselingi panggilan santun.

"Permisi, Mbak. Tunggu sebentar!"

Ketika Davina menoleh, ia kembali bertanya pada dirinya. "Hari apa sih ini?"

Tiba-tiba saja, hari ini, ia dikerubuti oleh pemuda-pemuda keren. Kedua cowok yang tadi melirik-liriknya di dalam salon telah tiba di hadapannya. Sementara itu mobil pemuda bernama Aditya tadi sudah meninggalkan halaman parkir.

"Sorry, boleh kenalan tidak?" tanya si Mata Elang.

Davina membelalak tidak percaya.

Cowok itu melanjutkan, "Aku Satria, dan ini sepupuku, Ryan." Tangannya diulurkan mengajak salaman.

Sembari menyambut uluran tangan itu, Davina menyebutkan namanya. "Davina Rarasadya. Panggil saja Davina."

Lalu percakapan sambil berdiri di tengah jalan kompleks yang sempit itu berlanjut sampai tukar menukar nomor telepon. Ternyata Satria lebih simpatik ketimbang Ryan, bahkan jauh lebih keren dibandingkan pemuda bernama Aditya tadi. Setelah berkenalan, Davina pulang dengan hati bahagia. Tangisnya perlahan berubah menjadi senyuman.

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (2)

Chapter 2
Cowok-Cowok Keren


Sebenarnya alasan Davina ingin tampil cantik bukan karena ia masih ingin Farel kembali padanya. Toh memang mereka sudah tidak cocok. Namun seperti biasa, penyakit yang timbul setelah putus pacaran adalah tidak rela kalau mantan pacar lebih cepat dapat pengganti. Jadi, untuk menaikkan harga dan kepercayaan pada diri sendiri, Davina berniat untuk tampil lebih dan beda.

"Silakan, Mbak. Rambutnya dicuci dulu, ya?" Kali ini pria gemulai berambut ala salah satu penyanyi F4 menyapanya santun. Jemarinya yang lentik sesekali membenarkan mengibaskan rambutnya yang berwarna coklat layaknya besi berkarat. Ia menunjukkan tempat keramas.

"Wah, rambutnya bagus sekali, Mbak. Sering creambath, ya?" tanya si Rambut coklat serupa besi berkarat.

Hampir saja Davina menjawab, 'Ah, tidak... cuma pakai shampo, kok,' seperti iklan shampo di stasiun tv. Tidak jadi sebab kepalanya sudah dibenamkan di bak cuci salon.

Tidak terlalu lama, rambutnya pun sudah dibilas bersih. "Sudah, Mbak," ujar si Rambut coklat serupa besi berkarat sambil membelitkan handuk putih tipis ke kepalanya.

Sekarang Davina sudah duduk di depan cermin. Ia menatap bayangan dirinya. Wajah oval khas Indonesia, alis tebal rapi dan hidung kecil bangir. Juga sepasang mata yang membuat para perias berdecak kagum, ditambah rambut tebal hitam bak mayang melambai. Terus terang, memang sudah lama sekali ia tidak memotong rambutnya karena Farel lebih suka cewek berambut panjang, dan Davina memilih mengalah demi menyenangkan cowok yang pernah mengisi hati dan hari-harinya itu.

"Mau dipotong model apa, Mbak?" tanya seorang pria lain. Kali ini ia lebih maskulin, hitam manis dan bertampang rupawan.

Oh, ini toh Si Dewa itu, batin Davina. Mau dipotong model apa ya? Aha!

"Model bobnya Britney Stewart ya, Mas. Terus, disemir warna merah dan coklatnya Britney juga," kata Davina bersemangat.

Si Dewa meneliti rambut Davina sambil sesekali memandang wajah Davina melalui cermin. Lalu perlahan tapi pasti ia menggunting rambut panjang legam sehitam gulita malam tak berbintang, tak berbulan dan mati lampu! (Hihihi... Si Davina kadang-kadang puitis, dan menggambarkan fenomena alam ke dalam bentuk puisi yang selalu sukses ditolak oleh majalah yang dikiriminya untuk dimuat!)

Hasilnya memang di luar dugaannya. Oke banget! Davina kelihatan sesegar buah dan sayur mayur yang baru dipetik dari perkebunan di lereng gunung. Sekarang tinggal proses pewarnaan yang membosankan.

Davina merasa ada yang memperhatikan dirinya. Ia melihat ke sebelah kiri. Tampak dua anak muda jebolan fitness center dengan wajah yang bisa membuat kepala menoleh dan menoleh lagi. Cowok dengan t-shirt biru muda dan celana warna natural tersenyum lebih dahulu. Kulitnya putih, rambutnya di-spike, giginya terawat bak model pasta gigi yang ia pakai. Duh, keren!

Davina membalas senyumnya, kemudian berpura-pura konsentrasi kembali ke Novel Twilight yang sengaja dibawanya.

Tapi, kok sepertinya ada yang memperhatikan lagi. Ia melirik lagi ke kiri. Kini yang menatapnya tanpa berkedip adalah cowok yang satunya. Si Spiky sudah di tempat cuci rambut. Cowok yang ini berkaos putih, celana jeans belel—kulit agak kecoklatan, mata elang, dan senyum yang tak kalah menawan dengan pemuda yang tadi. Davina tersenyum bahagia lagi sambil berharap detak jantungnya tidak terdengar. Boleh dong, sekali-kali ge-er! batinnya. Ia mencoba membaca halaman yang sejak tadi sudah dibaca berulang-ulang, tanpa konsentrasi dan lebih pada kepura-puraan.

Pemanas rambut berbentuk helm raksasa itu sudah hampir duapuluh menit mengeluarkan uap di atas kepala Davina. Menurut mereka, Davina mesti melewati proses pemanasan yang lebih intensif berhubung rambutnya belum tersentuh pewarna rambut sebelumnya. Juga, agar penyerapan zat warna pada bilah-bilah rambutnya dapat terkontaminasi dengan baik. Akhirnya, meski bosan mengeram seperti induk ayam, akhirnya ia memasrahkan dirinya juga demi tercapainya perwujudan putri cantik ala Cinderella.

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (1)

Chapter 1
Salon 8 Dewa


Davina menginjak rem mobilnya untuk belok ke kiri sambil celingak-celinguk mencari alamat yang ditulisnya di kertas 'post it' kuning menyala itu.

"Kencana Ungu I...," gumamnya. "Ini sudah Kencana Ungu, tapi kok tidak jelas I atau 100, ya?" Dengan agak sebal ia menghubungi sahabatnya sekaligus yellow pages persalonan, Silvia.

"Sil, benar nih aku belok kiri setelah rumah sakit bersalin ‘Buah Hati’?" tanyanya begitu Silvia menjawab telepon selularnya.

”Yes, Honey. Belok kiri, terus belokan kanan kedua kamu belok kanan, terus lurus saja. Salonnya ada di kiri. Aku sudah daftarkan atas nama kamu. Kalau hari Sabtu begini, ramai sekali, Non."

"Oke, deh. Thanks, ya?"

Klik. Percakapan selesai.

Davina agak bersungut saat memarkir mobilnya karena ternyata salon tersebut terletak di daerah perumahan yang jalannya agak sempit. Dan benar kata Silvia, hari Sabtu ramai pengunjung. Di depan rumah berpagar coklat itu ada tiang yang atasnya bergantung papan hitam dengan tulisan merah Salon 8 Dewa. Di baris pertama dan di baris kedua tertulis, Hari Senin tutup. Hm, Davina agak ragu memasuki salon itu. Kurang meyakinkan, begitulah kesan pertama Dara.

"Siang, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang gadis dengan rambut jingga menyala standar pegawai salon.

"Hm, saya sudah daftar, Mbak... atas nama Davina. Mau gunting dan highlight," jawab Davina sambil mengintip daftar pengunjung yang sudah booking di buku folio besar macam buku akuntansi.

"Oh iya... tunggu sebentar ya, Mbak. Masih menunggu satu orang lagi dipotong rambutnya. Silakan duduk dulu," ujar si Rambut Jingga sembari menunjuk kursi lipat hitam di sudut kiri.

Davina duduk, melipat kaki dan tangan dengan anggun seperti yang pernah dipelajarinya di John Robert Power sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling salon. Ih, kalau bukan Silvia yang merekomendasikan salon ini, tidak bakalan ia mengunjungi dan memasrahkan rambutnya di tempat berukuran ala kadarnya, dengan kursi-kursi standar dengan dua kipas angin sebagai penyejuk macam ini.

Bagaikan langit dan bumi dengan salon yang biasa ia kunjungi untuk creambath. Salon elit yang harga potong rambut saja bisa ratusan ribu. Mungkin satu paket dengan aroma terapi yang dibakar terus menerus demi kenyamanan pelanggan salon agar tidak jenuh saat menunggu.

"Pokoknya, kamu percaya saja, Vin," kata Silvia meyakinkan dua hari lalu. "Yang motong rambut adalah Si Dewa sendiri, yang punya salon. Yang dulu di salon Lafayette itu, lho." Dengan wajah penuh promosi Silvia melanjutkan, "Dewa itu dulu tangan kanannya Si Enrique-penata rambut yang terkenal itu dan pelanggannya yang paling banyak. Terus mereka ada selisih paham, akhirnya Dewa buka salon sendiri di rumahnya. Banyak langganannya yang pindah nyari Dewa." Silvia jeda sejenak, menelan ludahnya yang sedikit berbusa-busa. "Potongannya keren habis. Dia bisa mengkombinasikan antara jenis rambut, warna kulit dan bentuk wajah kita! Harga terjangkau pula."

Davina melihat sekelilingnya, dan sekali lagi berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah mengambil keputusan. Secara ia ingin tampil mencengangkan, mempesona, mengundang decak kagum, dan berbagai kosa kata lainnya dari orang-orang yang bakal melihat penampilannya nanti. Terlebih, ia dapat tampil paling mentereng di acara ulangtahun Rossa malam Minggu ini. Dan yang pasti, ia bakal membuat Farel, mantan pacarnya beserta kekasihnya yang barunya itu, terperanjat oleh pesona dari dirinya yang tampil bak Cinderella.

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (Sinopsis)

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Jum’at <> 230410, 0310PM)


Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa
Chapter 1 Salon 8 Dewa
Chapter 2 Cowok-Cowok Keren
Chapter 3 Calon Model
Chapter 4 I’m Happy


Sinopsis

"Lho?! Kok...!"
"Mbak, eh Mas... Oom, eh... kok jadi warna merah menyala?! Seperti gulali pada poni panjangnya?!"
"Aduh... Mas! Kenapa warna merah yang zaman Britney Stewart masih sahabatan sama Jessica Grace?!"
"Mak-maksud aku, seharusnya merahnya adalah merah kecoklatan pas Britney lagi heboh-hebohnya mau cerai sama Justin Pattinson itu!"
"Ya... merah agak coklat agak gelap tapi merah. Begitu, merah jablay begitu!"
"Ada contoh warna tidak, sih?!"
(Davina Rarasadya_Davina)

"Pokoknya, kamu percaya saja, Vin,"
"Yang motong rambut adalah Si Dewa sendiri, yang punya salon. Yang dulu di salon Lafayette itu, lho."
"Dewa itu dulu tangan kanannya Si Enrique-penata rambut yang terkenal itu dan pelanggannya yang paling banyak. Terus mereka ada selisih paham, akhirnya Dewa buka salon sendiri di rumahnya. Banyak langganannya yang pindah nyari Dewa."
"Potongannya keren habis. Dia bisa mengkombinasikan antara jenis rambut, warna kulit dan bentuk wajah kita! Harga terjangkau pula."
(Silvia Maharani_Silvia)

"Oya, Mbak Davina. Mbak Davina cocok sekali untuk diikutkan audisi untuk iklan produk kami. Warna rambut dan modelnya cocok sekali pada rambut Mbak Davina. Kapan bisa ikut sesi pemotretan?"
(Aditya Permadi_Aditya)

"Sorry, boleh kenalan tidak?"
"Aku Satria, dan ini sepupuku, Ryan."
(Satria Aryasapta_Satria)



Tokoh Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa
Davina Rarasadya (Davina)
Davina Rarasadya (Davina) melihat sekelilingnya, dan sekali lagi berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah mengambil keputusan. Secara ia ingin tampil mencengangkan, mempesona, mengundang decak kagum, dan berbagai kosa kata lainnya dari orang-orang yang bakal melihat penampilannya nanti. Terlebih, ia dapat tampil paling mentereng di acara ulangtahun Rossa malam Minggu ini. Dan yang pasti, ia bakal membuat Farel, mantan pacarnya beserta kekasihnya yang barunya itu, terperanjat oleh pesona dari dirinya yang tampil bak Cinderella.
Satria Aryasapta (Satria)
Cowok jebolan fitness center dengan wajah yang bisa membuat kepala menoleh dan menoleh lagi. Cowok berkaos putih, celana jeans belel—kulit agak kecoklatan, mata elang, dan senyum yang tak kalah menawan dengan model iklan pasta gigi di TV. Duh, keren!

Silvia Maharani (Silvia)
Sahabat Davina Rarasadya (Davina) dan meyakinkan Davina Rarasadya (Davina) untuk mencoba salon langganannya yang membuat hasil perawatan rambut bagus dengan harga terjangkau. Dengan penata rambut yang pernah menjadi asisten penata rambut ternama Enrique-pemilik salon Lafayatte yang terkenal di seantero Jakarta.


Aditya Permadi (Aditya)
Director Colours Model Company yang sedang mencari talenta baru untuk iklan pewarna rambut, dan menganggap Davina Rarasadya (Davina) cocok sekali untuk mengikuti audisinya. Menurutnya Warna rambut dan modelnya cocok sekali pada rambut Davina Rarasadya (Davina). Dan juga menawarinya untuk sesi pemotretan.




Cintailah Aku (3-End)

Chapter 3
Gay???


Esok harinya kami bertemu di Lavender Park. Kami duduk di rerumputan yang terhampar di tanah. Ku lirik Bima yang sedang menatap Danau Wizard dengan pandangan hampa. Ternyata Bima yang asli jauh lebih sempurna dan keren menurutku. Tadi saja nyaliku langsung ciut ketika baru pertama bertemu Bima di sini. Aku jadi minder di hadapannya, karena aku menganggap diriku tidak sebanding dengannya. Bola mata Bima berwarna coklat dan dia memandangku dengan ramah, kulitnya bersih, gaya berpakaiannya pun rapi, dan dia wangi. Hmm, dia lelaki pesolek juga rupanya.

Bima berdehem. “Del. Aku seneng akhirnya bisa bertemu kamu di sini. Kamu juga pasti seneng dong ketemu aku?”

“Oh, iya. Jelas sekali! Tapi aku sedikit minder nih kalau deket-deket kamu. Kamu ganteng banget sih! Tuh, lihat! Banyak cewek-cewek cantik yang ngelirik ke aku. Pandangan mereka padaku terlihat sangat ganjil, kan? Mungkin mereka kini sedang mengejekku karena aku enggak cocok duduk di sebelah kamu.”

“Kamu ini!” Bima menjitak kepalaku. “Begitu aja dipikirin. Kan udah aku bilang, kamu harus jadi kuat dan tegar. Jangan jadi orang yang lemah lagi. Satu lagi, jangan pernah jadi pemalu yang malu-maluin lagi. Tahu enggak? Biar saja mereka memandangmu dengan aneh. Anggap saja enggak ada yang aneh dengan dirimu. Pe de aja. Oke?” Bima mengingatkan aku lagi.

“Ya, deh! Terus sekarang, kamu mau bilang apa padaku waktu kemarin?” desakku yang sudah mulai gatal ingin tahu perasaannya padaku.

“Oke!” Bima kemudian menggeser duduknya dan duduk menghadap ke arahku. Del, kamu suka aku?” tanyanya langsung.

Aku terhenyak. “Ya. Aku suka,” jawabku sedikit malu.

“Suka dalam arti sebagai sahabat atau ada rasa yang lain?” desaknya.

“Mmm....” Aku sedikit ragu untuk menjawabnya.

“Jujur saja. Aku enggak akan marah. Aku senang jika kamu bisa berterus terang padaku. Ingat! Kita akan selalu terbuka jika sedang mempunyai masalah. Ya, kan?” Bima tersenyum padaku ramah. Tatapannya yang begitu teduh membuatku menjadi luluh di hadapannya.

“Ya. Aku pikir....” Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Aku memang telah tertarik padamu,” kataku mencoba jujur di hadapannya.

Aah, lega sekali rasanya saat aku telah berhasil mengungkapkannya pada Bima. Tapi, bagaimana dengan Bima? Bima terdiam. Kemudian dia menyentuh jemariku dan menggenggamnya dengan erat. Perasaanku semakin tidak menentu ketika dia menyentuhku. Hatiku kebat-kebit tak karuan. Rasanya seperti ingin meledak.

“Adel, aku tak tahu harus bagaimana padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untukmu. Del, cobalah untuk mengerti aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku jelas tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan. Aku minta maaf padamu. Tapi aku bisa memberikan perhatian yang lain padamu. Kita bisa menjadi sahabat dekat, atau aku juga bisa menjadi saudara terdekatmu yang bisa kamu goda dan bisa kamu ajak sharing. Bagaimana?”

Aku memandangnya dengan perasaan kecewa. Tiba-tiba hatiku terasa panas.

“Jangan bicara seperti itu dan jangan berjanji apa pun! Kamu memang sejak awal tidak tertarik padaku sama sekali. Ya, kan? Apalagi setelah kamu melihat rupa asliku. Aku yakin setelah pertemuan ini, kamu akan diam-diam pergi meninggalkanku. Sama seperti cowok-cowok lainnya yang pernah aku kenal. Begitu kan? Ternyata kamu juga tidak berbeda dengan cowok-cowok itu! Kalau begitu untuk apa jalinan persahabatan yang sudah kita bina selama ini?” seruku miris.

Tak terasa airmataku mulai mengalir deras. Aku tergugu di depannya. Aku merasa sendiri dan tak mempunyai pegangan. Aku merasa lemah. Kupikir tak ada gunanya lagi berurusan dengan Bima. Dia hanya akan menyakiti hatiku saja. Aku mungkin memang ditakdirkan untuk sendiri di sini. Aku berlari menjauhi Bima. Kutinggalkan dia yang tampak bingung dan merasa bersalah. Dia memanggil-manggil namaku. Tapi aku tidak perduli. Aku ingin berlari dan hanya berlari sejauh-jauhnya hingga aku capek.

Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku kemudian berhenti di sebuah pohon dan menangis disana sejadi-jadi. Dunia terasa bukan milikku saat ini. Aku ingin sekali menjerit, tapi suaraku tidak dapat keluar. Tiba-tiba sebuah lengan yang kekar menyentuh bahuku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatkan sosok Bima yang telah menyentuhku. Aku berpaling padanya. Aku ingin berlari lagi dan menjauhinya. Tapi tampaknya kakiku tidak mampu lagi melangkah dan menuruti perintahku. Dia hanya diam tak bergerak.

“Del,” sapa Bima lembut. “Kumohon kamu mau mendengar penjelasanku kali ini. Setelah itu terserah kamu mau melakukan apa. Aku hanya ingin kamu juga mengerti kondisiku,” pintanya dengan penuh harap.

Aku hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Aku tetap memalingkan wajahku darinya. Aku malu padanya karena telah berani menyukainya. Dan aku juga malu karena dia telah menolakku. Aku berharap, jika dari awal semua ini kusadari akan begini akhirnya, tentunya aku tidak akan berani membiarkan perasaanku tumbuh dan berkembang.

“Adel, aku ingin kamu tahu. Aku memang tidak bisa membalas cintamu.”

“Karena aku jelek. Betul kan?” selaku dengan nada tinggi.

“Bukan itu. Sejak awal aku sudah memberitahumu, Del. Tampang tidak menjadi soal buatku. Aku suka kamu apa adanya,” sanggahnya.

“Lalu apa? Apa yang membuatmu tidak bisa mencintaiku?” kataku masih penuh emosi.

“Aku bukanlah pria yang cocok untukmu. Aku bukanlah pria yang bisa kamu harapkan. Aku bisa menyukaimu tapi tidak bisa mencintaimu. Karena....” Bima terdiam sesaat.

“Karena aku, aku bukanlah pria yang normal. Aku ini tidak bisa mencintai seorang gadis. Aku hanya bisa mencintai sesama jenisku. Aku ini seorang gay,” ungkapnya dengan jujur.

Aku benar-benar terkejut saat mendengar kata “gay” dari mulutnya. Ini sebuah kejutan lain yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bima yang menjadi sahabatku selama ini dan juga cowok yang aku cintai selama ini adalah seorang gay? Sungguh, aku tidak bisa mengerti, kenapa ini bisa terjadi pada dirinya dan diriku. Apakah ini semacam lelucon untuk membuatku melupakannya?

“Kamu bohong! Kamu hanya mengatakan itu supaya aku bisa melupakanmu. Betul, kan?” desakku padanya.

“Aku tidak pernah membohongimu. Selama kita bersahabat, sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan masalah ini. Pada saat kamu mengirimkan lagu yang pertama, aku memang menyukainya tapi aku juga sedih karena pada saat itu juga sebenarnya aku sudah siap untuk mengatakan tentang kondisiku. Akibatnya, aku menjadi ragu sendiri. Aku melihatmu begitu bahagia. Lalu kuputuskan mengurungkan niatku hari itu karena aku takut jika kamu mendengar hal ini hatimu akan semakin sedih.”

Aku menangis. Aku memang bodoh. Aku tidak menyadari bahwa sebenarnya Bima mempunyai sebuah masalah. Selama ini justru dia yang selalu membantu semua masalahku, tapi aku justru sama sekali tidak membantunya. Sahabat seperti apa aku ini?

“Kulihat, semakin hari perasaanmu semakin bertambah padaku. Apalagi setelah kamu mengirimkan lagu kedua. Kurasa sudah seharusnya aku menceritakan hal ini padamu sekarang. Aku tidak ingin perasaanmu untukku semakin dalam. Karena aku tahu bahwa kamu akan kecewa dikemudian harinya jika tetap mengharapkanku.” Bima kemudian menarikku dan mengangkat wajahku.

“Adel, kamu gadis termanis yang pernah aku kenal. Jika saja aku lelaki normal, aku pasti bisa membalas perasaanmu. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa memberikan kasih sayangku padamu hanya sebagai seorang sahabat atau saudara. Aku menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku. Aku siap melindungimu. Aku siap untuk mendengar ceritamu. Aku juga masih mau bercanda denganmu seperti biasa. Aku janji tidak akan menyakitimu dan meninggalkanmu. Karena kamulah yang terbaik untukku.”

Kata-kata Bima begitu menyentuh lubuk hatiku. Walau hati ini masih terasa sakit karena perasaanku tidak bisa terbalas, aku juga merasa kasihan padanya. Masalah dia justru jauh lebih rumit dariku. Bisa dibilang kelainan pada dirinya merupakan sebuah penyakit. Bisakah aku menyembuhkanmu Bima dan membuatmu menjadi normal kembali? Aku ingin sekali kamu bisa hidup normal seperti yang lainnya.

“Bim. Aku minta maaf atas sikapku tadi,” ujarku malu. Air mataku masih jatuh membasahi pipiku.

“Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku ikhlas,” ujarnya lembut sambil mengusap air mataku. “Aku justru yang seharusnya meminta maaf padamu.”

Aku menggeleng. “Tidak! Akulah yang seharusnya kamu maafkan. Aku tidak menyadari jika kamu mempunyai masalah seperti ini. Aku bukanlah sahabat yang baik. Aku hanya mementingkan perasaanku sendiri saja. Aku tidak peka. Selama ini kamu selalu membantuku, tapi aku justru tidak pernah membantumu. Aku malu padamu, Bim.” Aku tergugu dihadapannya.

Bima memandangku penuh perhatian. Dia menarikku lebih dekat lagi dan memelukku. Dia mencium keningku dengan penuh kasih.

“Bima, tidak bisakah kamu berpura-pura mencintaiku?” Aku berharap dia bisa merubah pikirannya.

“Adel, kamu adalah seorang gadis yang manis dan baik. Aku berharap semoga kamu bisa mendapatkan pria yang pantas untuk kamu cintai. Aku disini hanya bisa memberimu semangat, agar kamu tidak mudah putus asa dan menjadi lemah. Seperti kataku tadi aku siap melakukan apa saja untukmu. Aku tidak ingin kamu di sakiti oleh siapapun, karena sekarang kamu adalah bagian dari diriku. Sahabatku.”

Aku menarik bajunya dan menangis di dada Bima. Tuhan biarkanlah aku menangis di sini. Biarkanlah kutumpahkan perasaan ini di dadanya. Biarkanlah aku berada dalam peluknya walau sesaat dan merasakan hangat pelukannya dan sentuhannya. Biarkanlah aku saat ini berangan-angan bahwa dia adalah seorang pria normal. Biarkanlah aku merasa jika juga dia mencintaiku. Biarkanlah aku seperti ini walau hanya sekejap saja. Setelah itu aku akan rela melepaskan rasa cinta dan kasih yang pernah ada untuknya selama ini.



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Cintailah Aku (2)

Chapter 2
Rasa Cintaku


Hari ini kami chatting lagi. Aku coba beranikan diriku untuk bertanya langsung padanya tentang sesuatu yang sangat membuatku penasaran selama ini. Kuketikan beberapa kata di layar monitor.

“Bima, aku mau nanya. Agak sedikit private sih. Kamu keberatan, enggak?” tanyaku sedikit malu.

“Del, memangnya aku bawa apaan sih sampai keberatan segala. Aku kan lagi enggak ngangkut kontainer.” Sebuah balasan muncul dari layar monitorku.

“Dodol! Aku pengen tahu aja. Tujuan kamu chatting di internet sebenarnya untuk apa sih?” tulisku lagi membalas jawaban Bima.

“Nyari temen ngobrol dong!” balasnya kemudian.

“Basi tahu!” ejekku.

“Terus aku musti gimana dong? Nyari jodoh?!? Begitu maumu?” sahutnya lagi.

“Yah, ngaku aja deh kalau kamu memang lagi nyari jodoh lewat internet. Aku enggak marah kok kalau kamu jujur. Semua cowok kan memang begitu.”

“Kok, kamu jadi sentimen begini sih, Del? Aku tuh udah jawab secucur-cucurnya, loh? Atau kamu mau pake kue serabi juga? Oke nanti aku tambahin deh. Suka rasa apa? Pisang coklat? Nangka keju? Atau Durian keju?”

“Dasar! Susah banget sih ngomong sama orang aneh.” Aku merasa gemas pada Bima saat itu juga. Dia memang konyol.

“Nah, you know me-lah?” tulisnya dengan gaya bahasa Malaysia.

“Ngambek ah!” gerutuku kesal.

“Yee, begitu aja ngambek. Begini Adelboy alias Adelia Tomboy. Aku memang bener-bener nyari temen ngobrol, terus aku juga pengen menambah wawasan dengan bertukar informasi dengan mereka. Siapa tahu nanti aku bisa berbisnis dengan mereka. Misalnya bisnis jual beli komputer second ke Papua, atau bisnis pulsa, de el el. Begitu. Kalau soal jodoh, itu sih enggak usah di pusingin. Nanti juga datang sendiri tanpa harus kita kejar. Udah ngerti kan Adelboy?” Bima mencoba menjelaskan lagi kepadaku.

“Ooh!” jawabku singkat saja.

“Kok cuma ooh doang? Bilang aja kalau kamu tuh takut denganku kan?”

“Takut kenapa?”

“Ya, takut kalau aku ternyata berusaha mendekati kamu bukan karena faktor persahabatan. Ya, kan? Tapi karena faktor XXX. Kalau begitu, bagaimana kalau kita CI saja, yuk?” godanya.

“Ih, konyol! Norak! Ide gila dari mana lagi tuh? Ga banget deh? Pergi ke laut aja sana lalu kencan dengan gurita!” ketikku sambil mencibir pada layar monitor.

Memang Bima sangat konyol. Tapi kekonyolannya itu yang membuatku menjadi semakin tertarik padanya. Dia itu cowok yang paling bisa membuat diriku tertawa dengan lepas.

Selain chatting, kami juga sering bicara melalui telepon. Kami sering berbagi cerita dan memberi komentar. Persahabatan kami terasa indah. Semakin lama aku mengenalnya, maka aku semakin tergoda untuk semakin mengetahui pribadinya. Dia sangat kocak, dia juga nyambung kalau aku ajak bicara. Satu hal lagi, dia suka sekali utak atik komputer sampai jebol. Jika sudah begitu dia hanya berkata, “Aku ternyata hanya bisa terima bongkar and enggak terima pasang.” Apa enggak keder tuh?

Tumben sekali hari ini Bima meminta fotoku. Dia ingin tahu rupa asliku. Aku masih ragu untuk memberikan fotoku padanya. Timbul pertanyaan dalam diriku, apakah nanti dia bisa menerima diriku yang sebenarnya? Atau mungkin, bisa saja kuberikan foto orang lain yang wajahnya cukup cantik kepadanya? Tapi, bukankah itu berarti aku membohonginya? Seorang sahabat tidak mungkin membohongi kawannya, Itulah yang seharusnya aku lakukan.

“Del, aku minta foto kamu dong! Biar aku tahu seperti apa tampangmu. Kira-kira sama seperti yang aku bayangkan apa enggak ya?”

“Ogah! Aku malu. Lagi pula aku enggak punya foto,” jawabku berbohong. Padahal aku punya banyak sekali file fotoku dalam komputer. Aku masih merasa takut kejadian dulu terulang lagi. Jika nanti dia mengetahui rupa asliku, jangan-jangan Bima akan memutuskan untuk berhenti menghubungiku seperti yang lain dan stop pulalah persahabatan yang sudah dibina ini.

“Pelit!” sindirnya

“Biar! Aku jadi curiga, jangan-jangan fotoku nanti akan kamu pakai untuk nakutin tikus doang.”

“Hari geenee, kok masih ngasih alasan yang dah lama basi begitu. Apa enggak ada alasan lain? Di update dong! Yang pasti sih, fotomu akan aku pajang di pintu depan buat nakutin maling. Biar dia takut masuk ke dalam rumah gara-gara lihat wajahmu,” ledek Bima sambil terkekeh-kekeh.

Aku jadi keki. Bima memang sering sekali meledekku dan sepertinya dia suka sekali melakukan itu padaku. Soalnya aku gampang sekali ngambek. Tapi dengan mudah pula dia membuatku tertawa lagi.

“Ya udah, aku kasih fotoku dulu aja, ya? Nanti kamu cek lewat emailmu. oke? Terus, setelah kamu puas lihat wajahku yang guanteng kayak Robert Pattinson, nanti aku minta kamu untuk mengirim balik foto terbaikmu. Setuju?”

Ternyata Bima menepati janjinya. Dia mengirimkan fotonya ke emailku. Dalam foto itu berdiri seorang cowok yang sangat tampan dan keren, sedang duduk di sebuah batu besar. Di bagian latarnya kulihat sebuah sungai yang airnya tampak mengalir di sela-sela bebatuan. Aku enggak nyangka kalau Bima ternyata sangat keren sekali. Sejak saat itu setiap kali Bima menghubungiku, aku selalu membayangkan dirinya dengan wujud pria dalam foto tersebut.

Semakin hari perasaanku terhadap Bima menjadi berubah. Kupikir kini aku telah melewati batas sebuah persahabatan. Aku telah menodai janjiku sendiri untuk tidak menyukai cowok dari internet. Bima telah mengisi hari-hariku dengan berbagai keceriaan. Dia tahu bagaimana caranya untuk menghiburku jika aku sedang sedih. Dia tahu bagaimana caranya membuatku bersemangat lagi. Dia juga bisa mengetahui jika aku menyembunyikan sesuatu darinya.

“Hayo! Hari ini kamu lagi bete ya? Ngaku aja?” tudingnya hari ini di telepon.

“Kamu kok bisa tahu sih kalau aku lagi bete? Udah ganti profesi jadi penyelidik apa jadi paranormal atau dukun? Jangan-jangan kamu berguru sama Ki Joko Bodo, ya?” tanyaku keheranan.

“Bukan! Aku ini justru gurunya Mbah Surip!” dia tergelak.

“Ngawur!” Tanpa terasa aku pun ikut tergelak bersamanya. Nah, setelah itu biasanya aku mulai curhat deh ke dia. Jujur saja dia juga bisa menjadi pendengar yang baik dan juga bisa menjadi penasehat yang handal.

Setiap hari aku jadi selalu memikirkan Bima. Jika hari ini dia tidak menghubungiku, aku merasa hampa. Bima sudah seperti candu untukku. Kehadiran Bima layaknya obat rindu untukku. Bima aku ingin berterus terang kepadamu. Tapi bagaimana caranya ya?

Kuputuskan untuk mengirimkan sebuah lagu dari Radio untuknya. Lagu ini mengungkapkan isi hatiku padanya. Semoga saja Bima dapat memahami dan mengerti akan perasaanku.

“Bim, coba deh dengerin Radio Megaparts sekarang. Aku tadi request ke sana agar mereka memutarkan sebuah lagu khusus untuk kamu,” ujarku hati-hati. Aku tidak ingin dia tersinggung.

“Wah, asik dong! Oke, sebentar ya? Aku coba cek sekarang.” Teleponpun terputus. Lima menit kemudian, kami berdua sudah menikmati lagu yang kukirimkan untuknya. Lagu itu kupilihkan khusus untuknya. Sebuah lagi dari Afgan berjudul “Bukan Cinta Biasa”.

Ketika lagu tersebut berakhir, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tertera nama Bima di layar ponselku.

“Del, makasih ya atas lagunya. Aku suka.”

Aku begitu bahagia saat dia bilang menyukai lagu kirimanku. Perasaanku kian melambung tinggi. Entah karena mood-ku yang sedang bagus atau memang sudah tiba saatnya aku memperkenalkan diriku yang asli padanya. Aku kemudian mengirimkan foto diriku kepadanya. Kukirimkan foto terbaikku, agar tidak terlihat jelek dimatanya. Aku merasa yakin jika Bima akan menerima kondisiku setelah melihat rupa asliku. Karena aku yakin dia tidak sama dengan cowok-cowok lainnya yang telah meninggalkanku dengan begitu saja dan aku juga yakin dia memang mencari persahabatan bukan yang lainnya.

“Bim, kamu udah nerima fotoku kan?”

“Ya. Ternyata kamu tuh lucu. Kamu kelihatan pendek, kecil, udah gitu rata lagi. Coba ya aku pikir-pikir kamu tuh mirip apa ya?”

“Apa? Pasti mau ngeledek. Ya, kan?” tebakku padanya

“Hehehe... kayak kue bantet,” godanya sambil terkekeh-kekeh.

“Tuh, kan? Sebel!” gerutuku malas.

Enggak deh! Kamu cukup manis deh. Seperti gulali,” ledeknya lagi.

“Kamu kayak bakpau,” umpatku kemudian membalas ledekannya.

Kami tergelak bersama. Sebelumnya aku tak pernah merasakan sebuah perasaan senang dan bahagia bila berbicara dengan seseorang. Hanya Bima seorang yang justru bisa memberikannya kepadaku. Apakah Bima menyadarinya bahwa setiap ucapannya serta perhatiannya sangat berpengaruh besar padaku. Dia seperti magnet dan aku telah terperangkap dalam gravitasinya. Ingin rasanya saat ini aku bertemu dirinya secara langsung dan mengungkapkan semua isi perasaanku padanya. Tapi kira-kira, apakah pantas?

Bima kamu membuatku merasa gemas sekali. Kamu membuat hatiku semakin bertambah miris. Bisakah persahabatan ini berubah menjadi sebuah kisah asmara yang indah? Jujur saja, aku semakin tidak bisa menahan perasaanku yang semakin hari semakin membuncah. Aku menyukai pribadimu. Apalagi setelah melihat fotomu. Ternyata imajinasiku tentang dirinya tidaklah jauh berbeda. Bima, apakah kamu mengerti apa yang terjadi dalam diriku sekarang ini?

Kucoba mengirimkan lagi sebuah lagu dari Melly Goeslaw dengan judul “I Just Wanna Say I Love You” untuk Bima lagi. Tapi kali ini dia tidak memberikan sedikitpun komentar. Dia hanya diam.

“Bima? Kamu marah karena lagu itu? Atau marah karena aku?” pancingku padanya untuk berbicara.

Dia hanya bernafas panjang.

“Bima! Please, ngomong dong! Aku salah, ya? Aku minta maaf, deh. Aku enggak bermaksud untuk menyinggungmu. Bima, kamu jangan diam aja dong?’ rengekku kemudian karena Bima tetap tidak mau membuka mulutnya.

Kemudian Bima membuka mulutnya. “Del, gue enggak tahu harus ngomong apa. Mungkin lebih baik kita ketemu langsung. Biar lebih enak. Bagaimana?”

“Oke!” Aku menerima ajakannya.

Cintailah Aku (1)

Chapter 1
Bima Antasena


Tau enggak sih? Aku, Adelia Florenza mahasiswi tingkat II jurusan Ekonomi General University, Jakarta. Aku paling sebel sama cowok yang bisanya cuma lihat cewek berdasarkan tampangnya saja. Jika cewek itu cantik dan seksi, sampai jumpalitan pun si cowok akan ngejar terus sampai dapat. Tapi kalau tampang cewek itu es te de alias standar dan biasa-biasa aja – apalagi kalau jelek – enggak bakalan deh dilirik sama sekali. Sudah pasti si cowok langsung ngelengos pergi tanpa ba bi bu lagi. Heran deh!

Pernah enggak sih dalam pikiran mereka untuk melihat cewek dari sisi dalamnya dan bukan dari bungkusnya saja? Tapi kayaknya susah tuh! Sepertinya tradisi ini sudah mendarah daging dan kita enggak bisa berharap banyak. Paling-paling dari seribu orang cowok, hanya 1 orang saja yang bisa begitu. Sama aja bohong, kan? Ini sih sama saja dengan mencari jarum diantara tumpukan jerami. Nah, kebayang susahnya, kan?

First look selalu menjadi faktor utama di mata cowok. Kata orang kalau pada awalnya cowok suka penampilan kita pada pandangan pertama, di jamin mereka bakalan nyosor terus kayak bebek. So, untuk era abad ke dua puluhan ini sebenarnya cinta pada pandangan pertama itu maksudnya disebabkan karena tampilan pembungkus luar si cewek or karena inner beauty si cewek, sih?

Gak heran kalau teman-temanku melakukan make over besar-besaran ke Salon jika mereka punya janji kencan dengan sang pujaan hati nanti malam. Katanya sih buat menarik perhatian mereka dan juga buat nyenangin diri sendiri karena nanti mereka bisa mendapatkan pujian dari cowoknya masing-masing. Tapi bagiku, percuma! Ini sama saja dengan pembohongan public – udah kaya berita besar saja, ya? Aku enggak bisa seperti itu. Jika memang kita seperti ini adanya – tampang es te de, rambut pecah-pecah, postur tubuh gendut dan pendek misalnya – ya, musti kita tunjukkan ke mereka. Biar mereka menilai kita secara langsung. Jika dia menilai kita karena bungkusnya dan langsung cabut, berarti cowok itu harus di coret dalam list kategori cowok terbaik. Dia tidak patut mendapatkan cinta dari seorang cewek. Tapi jika dia bisa melihat inner beauty kita, dia patut kita acungin jempol.

Saluuuutttt! Bravo! Aku suka cowok seperti ini. Cowok seperti ini jarang muncul di pasaran. Untuk mencari cowok yang seperti ini enggak mudah, kan? Kalau mudah di dapat sama saja bohong. Cowok baik kok di obral? Kurang greget, geetoo loh?

Aku saja sudah beberapa kali di kecewakan oleh beberapa cowok. Terutama yang kukenal dari chatting di internet. Semuanya bertingkah sangat menyebalkan. Boleh di bilang sok perfectsionist and sok gentle. Tapi, kalau udah ketemu yang aslinya, ternyata omongan mereka enggak sesuai dengan tingkah dan perilakunya. Setelah mereka bertemu denganku face to face, semuanya langsung menghilang keesokan harinya dan tinggal aku yang sibuk menghubungi mereka satu persatu sampai capek. Katanya ingin bersahabat denganku, kok malah kabur? Apa enggak bete?

Mau tahu apa yang pernah mereka katakan sebelumnya? Mereka pernah bilang kalau tampang seseorang enggak jadi masalah untuk bersahabat – padahal realitanya justru kebalikannya. Mereka juga pernah bilang sengaja mencari kawan dari internet – padahal sengaja nyari jodoh atau teman untuk check in. Idiih... kok bisa ya?

Memang kebetulan wajahku standar banget and jauh dari cantik. Postur tubuhku juga mungil dan pendek. Body-ku enggak seksi, malah lebih condong di bilang rata. Gayaku pun enggak feminim seperti layaknya mahkluk cewek. Aku justru tomboy dan lebih suka mengenakan kaos, jeans belel dan sepatu kets, dibandingkan bila harus memakai gaun atau rok dan high heel. Padahal usiaku sekarang sudah sembilan belas tahun. Sudah seharusnya aku berusaha menjadi kupu-kupu yang cantik dan menarik atau berubah dari seekor itik buruk rupa menjadi seekor angsa yang cantik untuk menarik perhatian kaum cowok. Tapi dalam kamus hidupku, belum pernah kucoba menerapkannya sebagai magic style dalam mencari jodoh.

Seperti kali ini. Aku berkenalan lagi dengan seorang cowok asal Bandung dari Internet. Namanya Bima Antasena. Dia kuliah di Jakarta, tepatnya di Indopower University jurusan Manajemen Informatika tingkat III. Persahabatan yang kami jalin telah berjalan kurang lebih sudah 4 bulan dan aku tidak ingin persahabatan kami selama ini di alam maya menjadi tergores.

Cintailah Aku (Sinopsis)

Cintailah Aku
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Rabu <> 210410, 0225PM)



Cintailah Aku
Chapter 1 Bima Antasena
Chapter 2 Rasa Cintaku
Chapter 3 Gay???


Sinopsis

“Tidak! Akulah yang seharusnya kamu maafkan. Aku tidak menyadari jika kamu mempunyai masalah seperti ini. Aku bukanlah sahabat yang baik. Aku hanya mementingkan perasaanku sendiri saja. Aku tidak peka. Selama ini kamu selalu membantuku, tapi aku justru tidak pernah membantumu. Aku malu padamu, Bim.”
(Adelia Florenza_Adel)

“Adel, aku tak tahu harus bagaimana padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untukmu. Del, cobalah untuk mengerti aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku jelas tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan. Aku minta maaf padamu. Tapi aku bisa memberikan perhatian yang lain padamu. Kita bisa menjadi sahabat dekat, atau aku juga bisa menjadi saudara terdekatmu yang bisa kamu goda dan bisa kamu ajak sharing. Bagaimana?”
(Bima Antasena_Bima)



Karakter Tokoh Cintailah Aku

Adelia Florenza (Adel)
Adelia Florenza (Adel), mahasiswi tingkat II jurusan Ekonomi General University, Jakarta. Ia paling sebel sama cowok yang bisanya cuma lihat cewek berdasarkan tampangnya saja. Jika cewek itu cantik dan seksi, sampai jumpalitan pun si cowok akan ngejar terus sampai dapat. Tapi kalau tampang cewek itu es te de alias standar dan biasa-biasa aja – apalagi kalau jelek – enggak bakalan deh dilirik sama sekali. Sudah pasti si cowok langsung ngelengos pergi tanpa ba bi bu lagi. Itulah yang selalu membuatnya Heran!

Bima Antasena (Bima)
Bima Antasena (Bima) melakukan Chatting karena ia memang bener-bener nyari temen ngobrol, terus ia juga pengen menambah wawasan dengan bertukar informasi dengan mereka. Siapa tahu nanti ia bisa berbisnis dengan mereka. Misalnya bisnis jual beli komputer second ke Papua, atau bisnis pulsa, de el el. Kalau untuk mencari jodoh, itu sih enggak usah di pusingin. Nggak harus chatting, nanti juga datang sendiri tanpa harus kita kejar.


Candu Facebook (4-End)

Chapter 4
Facebook?? No, Arya?? Yes

Tampak dari kejauhan Arya akan masuk ke Ruang Perpustakaan dan terlihat oleh Olivia dan Tiara seorang gadis berusaha menggandeng tangan Arya dari belakang. “Itu Rossa,” pekik mereka berdua.

“Arya! Tunggu!” teriak Tiara tiba-tiba.

Arya menoleh ke arah mereka. Ketika tahu siapa yang memanggilnya, Arya melanjutkan langkahnya memasuki Ruang Perpustakaan.

Rossa pun menoleh pada mereka, tampak sekali dia terkejut. Tapi kemudian dia tersenyum ketika tahu Arya tidak merespon panggilan Tiara.

“Eh, ngapain kalian kesini?” tanya Rossa sinis pada Olivia dan Tiara.

“Loh? Suka-suka kita dong mau kemana. Lagipula Perpustakaan ini terbuka untuk seluruh murid artinya tidak tertutup untuk kita juga,” cibir Tiara pada Rossa.

“Liv, kamu sekarang masuk kedalam deh. Biar cewek centil and gatel ini aku yang urus,” perintah Tiara pada Olivia.

“Kamu bilang apa barusan? Centil? Gatel?.....” suara Rossa terdengar marah pada Tiara, tapi Olivia tidak perduli dengan ocehannya itu dan segera mengejar Arya masuk kedalam Perpustakaan.

Di dalam ruangan yang penuh rak dan buku-buku tersebut, Olivia melayangkan pandangannya keseluruh penjuru ruang. Matanya kemudian menangkap tubuh seorang laki-laki yang mirip dengan perawakan Arya. Olivia pun menghampirinya.

“Arya!” panggilnya pada cowok itu.

Arya tampak tak bergeming sekalipun saat Olivia memanggilnya.

“Arya, aku tahu kamu masih marah kepadaku. Aku sungguh menyesal atas perlakuanku padamu saat itu. Aku mohon, maafkan aku. Aku memang cewek yang gak tahu malu dan gak punya perasaan. Aku menyesal sekali karena terlalu terlena pada dunia maya itu dan aku telah menyia-nyiakan kamu,” sesal Olivia pada Arya.

Arya masih tetap diam dan membelakangi Olivia.

“Arya? Marahmu sudah tidak bisa diredakan lagi ya? Aku benar-benar menyesal telah membuatmu marah seperti ini. Tapi tolong janganlah kamu memusuhiku dan meninggalkanku begitu saja. Aku tidak mau jika kamu sampai pergi menjauhiku dalam keadaan yang seperti ini,” pinta Olivia dengan memelas.

“Jadi jika keadaannya berbeda, kamu mau dijauhi olehku?”

Suara Arya akhirnya keluar juga, tetapi dia tetap membelakangi Olivia.

Olivia tercekat. Seluruh persendiannya lemas. Sewaktu melihat Arya menjauhinya tadi saja Olivia sudah kelimpungan, apalagi melihat Rossa mencoba mendekati Arya. Hatinya semakin gelisah.

“Seandainya sejak awal hubungan kita tidak terganggu, aku mungkin tidak akan menyadari bahwa sebenarnya aku tidak bisa jauh darimu.” Olivia pun menangis terisak-isak.

“Kamu memang tidak seharusnya aku sakiti, dan aku tidak mau kamu menjauhiku baik dalam situasi buruk sekalipun. Aku menyukaimu dengan sepenuh hatiku. Arya, Aku tidak mau kamu meninggalkanku karena aku sayang kamu,” sebuah pengakuan meluncur dari mulut mungil Olivia.

Tiba-tiba sepasang lengan memeluk Olivia dari belakang. Olivia terkejut dan ketakutan. Ketika dia ingin berteriak memanggil Arya yang berada di depannya, pemilik lengan itu memberi isyarat agar dia tutup mulut dengan membungkam mulut Olivia.

“Aku senang sekali mendengar pengakuanmu tadi Liv, kini biarkan aku memelukmu hanya sebentar saja. Please!”

Mata Olivia terbelalak kaget dan dia kemudian menangis tersedu-sedu. Ternyata sang pemilik lengan adalah Arya dan lengan Arya kini tidak membungkam mulutnya lagi. Arya kini berhadapan dengannya dan memeluknya dengan erat sekali.

“Aku tidak akan pernah bisa marah padamu Liv, aku hanya memberimu waktu untuk sendiri dan bersenang-senang dengan kesibukanmu. Kupikir itu hanya kesenangan sesaat saja dan mungkin sebentar lagi kamu pun akan mulai bosan dan meninggalkannya. Sekalian aku juga ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya padaku. Apakah kamu akan merindukanku jika aku tidak berada disampingmu. Itu yang aku ingin tahu,” ujar Arya sambil mengusap air mata Olivia.

“Dan kini kamu telah tahu seluruh isi hatiku?” Olivia tersenyum bahagia dan mencoba memeluk Arya.

Tiba-tiba sebuah suara garang menegur mereka, “ Ehem... ehem... maaf ya ruang Perpustakaan ini bukan tempat untuk berpacaran.”

Arya dan Olivia kaget sekali, tapi ketika tahu darimana suara itu berasal, mereka pun sama-sama tertawa. Ternyata suara itu berasal dari mulut Tiara.

“Sebentar. Jika kamu tadi berdiri dibelakangku, lalu siapa yang berdiri dihadapanku dan membelakangiku sejak tadi? Perawakannya mirip sekali denganmu.” Olivia penasaran karena sejak tadi dicuekin oleh orang yang mirip Arya ini.

“Perkenalkan,” kata Arya dengan gaya seorang pesenter. “Dia adalah kembaran identikku alias patung diriku yang kubuat untuk pelajaran seni rupa nanti.”

“HAAAA.... “ Olivia dan Tiara membelalakkan matanya.

“Sialan! Ternyata dari tadi aku hanya berbicara sama patung ya? Hu uh!” gerutu Olivia kesal.

Tiara dan Arya menertawai tingkah Olivia yang cemberut karena kesal.



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Candu Facebook (3)

Chapter 3
Facebook?? Ampun Deh…


Sudah hampir tiga minggu Olivia kecanduan dengan Facebook, dan selama itu pula beberapa kegiatan les yang biasa diikutinya tidak dihadirinya. Dimulai dari les Balet, les Bahasa Perancis, hingga ke les Piano. Hebatnya lagi, Olivia kini sudah pintar mencari-cari alasan untuk menghindari semua kegiatan tersebut jika ibunya menanyakan kabar semua kegiatannya. Alasannya antara lain; “Guru-guru les balet semuanya sedang ke Paris karena disana sedang ada festival pertunjukan Balet, sekolahnya diliburkan sampai bulan depan” atau “Guru pianonya sedang sakit karena jari-jarinya ketiban tangga sewaktu mencoba naik ke atas genteng, jadi beliau tidak bisa mengajar selama sebulan dan mereka tidak punya guru pengganti” dan masih banyak segudang alasan yang bisa diberikan kepada ibunya.

Bagi Olivia, bukan masalah lagi deh kalau harus ngasih alasan-alasan sederhana yang seperti itu. Yang terpenting dia bisa Facebook-an ria selama yang dia suka. Sejak sepulang sekolah, dia sudah nongkrong di warnet. Pulang ke rumahnya, sudah Facebook-an lagi dengan laptop. Jam tidur pun tidak bisa dilewatkan begitu saja, handphone ditangan pun jadi sasaran untuk ber-Facebook ria.

“Wueleh... wueleh... kamu bener-bener sudah nyandu ya dengan Facebook.” Suara Tiara tiba-tiba menyeruak di dekat telinga Olivia yang saat itu sedang duduk sendiri di kantin sekolah.

Olivia diam saja tak bergeming dari tempatnya.

“Ternyata kamu lebih gila dari aku, Liv. Sekarang gantian aku yang kamu cu-ek in.” ujar Tiara cemberut sambil menepuk halus pundak Olivia yang saat itu sedang asik mengutak atik handphonenya.

Olivia menoleh pada Tiara dan tersenyum, “ Sorry ya, Sis. Soalnya Facebook ini bikin aku penasaran terus setiap waktu. Selalu aja ada kabar atau gosip terbaru dari temen-temen. And yang pasti aku jadi bisa tahu dong kegiatan Arya dan dengan siapa saat ini Arya berhubungan.”

“Hmm... Arya ya?” Tiara termenung sesaat.

“Ada apa? Ada yang salah dengan Arya?” tanya Olivia curiga.

“Eeh, enggak! Aku cuma bingung. Kata kamu Arya sudah jadi pacarmu, tapi kok aku sering melihat dia jalan dengan Rossa? Kamu lagi marahan dengannya ya?” desak Tiara.

Wajah Olivia berubah pucat. Tampak sekali dia agak kurang suka mendengar kabar yang satu ini.

Memang beberapa minggu ini sejak Olivia mengenal Facebook, Olivia tidak pernah terlihat bersama-sama lagi dengan Arya. Padahal Arya sudah berulang kali mencoba menghubunginya – setiap Arya menghubunginya pada saat itu pula Olivia selalu sedang berkonsentrasi dengan Facebook-nya – selalu ditanggapi Olivia dengan nada yang datar-datar saja. Beberapa kali pula Arya mencoba mengajaknya pergi ke suatu tempat, tetapi Olivia selalu menolaknya dengan halus. Saat itu Olivia lebih memilih Facebook dibandingkan Arya.

“Olivia, kamu kenapa sih enggak mau jalan lagi denganku?” tanya Arya suatu kali.

“Duh, bukannya aku gak mau jalan sama kamu Arya. Aku cuma lagi malas pergi kemana-mana karena baru datang tamu di hari pertama nih!” jawabnya segan.

“Mungkin besok aku bisa menemani kamu pergi. Bagaimana?” pinta Olivia dengan sedikit memberi harapan pada Arya.

“Baiklah! Besok, aku tunggu disini, di warung Mie Ayam ‘Pak Kumis’. Tapi kamu jangan sampai lupa ya, Liv.” Arya tersenyum senang karena merasa mendapat harapan dari Olivia.

“Pasti dong!” jawab Olivia mantap sambil mengacungkan jempol.

Ternyata harapan tinggal harapan, Arya sudah terlalu lama menunggu kedatangan Olivia di warung Mie Ayam ‘Pak Kumis’. Dengan langkah gontai dia meninggalkan warung tersebut dengan perasaan kecewa, sedangkan Olivia sudah lupa dengan janjinya pada Arya dan tetap asik ber-Facebook ria dengan Tiara.

Sejak saat itu Arya tak pernah lagi mencoba menghubungi ataupun mengajak Olivia pergi. Arya pun kadang berkomentar biasa-biasa saja jika Olivia ber say hello padanya di Facebook.

Suara Tiara membuyarkan lamunan Olivia, “Sis, jangan terlalu memilih Facebook, dong? Bisa-bisa Arya kabur dengan cewek lain loh! Memangnya kamu sudah siap kehilangan dia?”

“Aku enggak kehilangan dia kok. Aku masih tetap berhubungan dengannya. Tuh lihat, aku selalu kontak dengannya melalui Facebook ini. Kamu lihat kan? Aku selalu memberikan komentar untuknya,” ujar Olivia miris seraya menodongkan handphone nya pada Tiara agar Tiara bisa melihat apa yang dia lakukan pada Arya.

“Aku sih percaya kalau kamu masih berhubungan dengannya, liv. Tapi, orang lain tanggapannya berbeda. Mereka pikir kamu sudah tidak ada hubungan lagi dengan Arya, dan Arya sekarang sedang jadi sasaran empuk cewek-cewek yang selalu mengincar dia sejak dulu. Arya kan cowok paling ganteng di sekolah kita, and pintar juga. Sudah pasti banyak yang suka sama dia. Enggak ada deh orang yang pantas bersama dia kecuali kamu. Karena kalian tuh pasangan ideal di sekolah bagiku,” celoteh Tiara tanpa henti. Dia ingin Olivia benar-benar mengerti akan maksud ucapannya.

Olivia hanya duduk terdiam menunduk dan memandangi handphone yang sedang dipegangnya. Tak terasa setetes air terjatuh mengenai handphone tersebut.

“Kalau kamu tidak menginginkannya, banyak yang akan mencoba mengambilnya darimu mungkin termasuk aku. Aku tahu Arya sudah terlalu baik buatmu, masa hanya dengan website seperti itu Arya bisa tergantikan dari sisimu,” ujarnya lagi.

Olivia tergugu (Susah bicara karena bingung/takut) dan meradang. Matanya mulai banjir dengan air mata.

Arya memang terlalu baik untuk Olivia. Olivia mencoba mengingat kembali pada saat itu dia sedang sakit cacar dan tidak bisa masuk sekolah selama beberapa hari. Padahal sebentar lagi akan ada ujian semester. Satu-satunya teman yang selalu memberi perhatian padanya hanya Tiara dan Arya.

Olivia baru mengenal Arya di kelas dua. Mereka masuk dikelas yang sama, jurusan IPA. Sejak awal masuk kelas itu Arya sudah menunjukkan perhatiannya pada Olivia. Apalagi disaat sakit seperti ini, dia lebih antusias lagi menunjukkan perhatiannya. Selama Olivia sakit, Arya selalu membawakan buku catatan pelajaran serta PR yang diberikan hari ini dari sekolah untuk Olivia. Dia berharap Olivia tidak akan ketinggalan pelajaran karena sudah mendekati ujian.

“Arya, kamu enggak perlu meminjamkan buku catatanmu untukku dong. Nanti kamu belajarnya dari mana jika buku ini ada bersamaku?”

“Tenang saja. Aku sudah menyiapkan copy-nya kok! Jadi kamu enggak usah khawatir ya?” jawab Arya santai.

Olivia tersenyum malu. Arya baik sekali mau menemaninya disaat seperti ini. Padahal tubuhnya penuh dengan cacar, dan Olivia sendiri takut melihat wajahnya di kaca. “Seperti monster, “ pekiknya dalam hati.

Kondisi Olivia saat itu benar-benar membuatnya sangat minder karena harus berhadapan dengan Arya dan Olivia juga takut Arya akan tertular penyakitnya ini. Akan tetapi Arya tampaknya tidak memperdulikan hal tersebut. Arya terkesan tidak merasa jijik dengan cacar yang menempel di tubuh Olivia.

Disaat orang lain menjauhi dirinya, justru Arya berusaha mendekatinya. Disaat orang lain membuang muka darinya, Arya menatapnya dengan penuh sayang. Disaat orang lain mencemooh penyakitnya, Arya memberinya kekuatan untuk menghadapi penyakit tersebut. Sungguh hal ini membuat Olivia menjadi terharu, karena Arya telah bersedia menemaninya disaat susah dan itu adalah perhatian yang tidak bisa dibayar dengan apapun.

“Sekarang waktunya minum obat, Non.” Celetuk Arya sambil menyodorkan beberapa pil untuk diminum Olivia.

Dada Olivia semakin terasa sesak karena mengingat kejadian tersebut. Olivia termenung lama sekali dan air mata masih membasahi pipinya.

“Aku... aku... tidak bermaksud menggantikan Arya dengan website ini, Ra. Aku tidak tahu mengapa hal ini bisa begitu menyita semua perhatianku. Aku sepertinya tidak sanggup untuk berhenti. Sudah kucoba menahan semua keinginan terbesarku untuk membuka Facebook, tetapi tetap saja aku selalu kalah dengan keinginan ini,” ujarnya menyesal.

“Aku tahu, kamu tidak akan pernah mencoba menggantikan Arya dengan yang lain Liv. Konsentrasimu hanya terfokus pada candu Facebook ini saja.” Tiara mengusap pundak sahabat karibnya.

“Sekarang aku harus bagaimana? Arya mungkin sudah tidak mau menemuiku lagi.” Katanya sedih.

“Yah, kita berusaha dulu. Jangan cepat mengambil kesimpulan negatif dulu dong. Tetap optimis, Sis! Oke?” Tiara mengepalkan tinjunya ke udara.

“Oke!”

Keduanya tersenyum riang dan saling berpelukan.

“Satu lagi yang ingin aku ceritain ke kamu, Ra.” ujar Olivia tiba-tiba.

“Apa lagi?”

“Aku kena marah ibuku gara-gara Facebook juga,” kata Olivia malu.

“Wah, itu sudah pasti. Aku sudah bisa menebaknya kok! Terus bagaimana ceritanya?” tanya Tiara antusias.

“Seluruh guru lesku menelpon ke rumah. Sialnya, yang menerima telepon mereka itu adalah ibuku. Ibuku marah hebat ketika menerima laporan ketidak hadiranku dari mereka, apalagi setelah tahu tagihan telepon membengkak – karena sering internetan – termasuk tagihan handphoneku.”

“Lalu?” selidik Tiara penasaran.

Dengan wajah lesu Olivia menimbang-nimbang Handphone ditangannya. “Pulsaku dibatasi, uang jajanku pun dibatasi, dan Pak Cipto-supirku sekaligus menjadi bodyguardku deh.”

“Haa... Bodyguard? Yang bener, akh!” seru Tiara kaget tak percaya.

“Bodyguard untuk apa?” tanyanya kemudian setelah kagetnya hilang.

“Bodyguard untuk menjagaku supaya tidak bolos les lagi,” seru Olivia kesal.

“Ha ha ha, sudah nasibmu kali ya? Terima and pasrah saja deh. Itu juga kan gara-gara ulahmu sendiri.”

“Daripada Pak Cipto yang jadi Bodyguardnya, lebih baik Arya saja yang menjadi bodyguardku,” gerutu Olivia.

Tiara terkikik geli karena melihat ulah Olivia. “Pak Cipto tuh sudah tua, Sis. Kamu pergi dengan berlari kemana pun dia gak akan bisa ngikutin kamu. Napasnya pasti sudah ngos-ngosan sebelum sampai sepuluh langkah mengejarmu. So, ga ada masalah dong kalau dia jadi bodyguardmu. Toh, kamu tetep bisa kabur dari les.”

Perkataan Tiara seperti membuahkan ide baru ke otak Olivia.“Hei, bener juga tuh omonganmu!”

Tapi Olivia kemudian berpikir ulang kembali. “Akh, tapi enggak deh. Aku takut dosa sama orang tua. Hei, lebih baik kita cari Arya sekarang. Kamu mau kan menemaniku mencarinya?” pinta Olivia dengan wajah memohon.

“Dengan sepenuh hatiku, Sis.” Tiara pun merangkul bahu Olivia.

Candu Facebook (2)

Chapter 2
Gara-Gara Facebook


Di warnet, Tiara memberi instruksi bagaimana memulai Facebook pada Olivia. Karena begitu mudahnya mengoperasikan website tersebut, Olivia tidak mengalami kesulitan dalam mempraktekkannya sendiri. Kini dia sudah bisa mengoperasikannya sendiri tanpa bantuan Tiara.

“Hmm... aku mau cari siapa ya? Gimana kalau Arya saja deh. Musti add nama dia dulu nih!”

Jari-jari Olivia dengan lincahnya menuliskan sebuah nama yang sangat dikenalnya.

“Arya Sinatrya. Hmm dia sudah masuk facebook ini belum ya?” tanyanya dalam hati. Tanpa di tunda lagi jari telunjuknya segera menekan tombol enter.

Arya adalah teman dekat Olivia – masih satu sekolah – belum jadi pacar sih, kebetulan masih dalam taraf pe de ka te, tetapi Olivia sudah tahu jika Arya suka padanya.

Beberapa nama disertai foto pun keluar. Kursor pun digerakkan oleh Olivia untuk mencari orang yang dituju.

“Nah, ini dia! Aku akan add dia menjadi temanku.”

Olivia kemudian menambahkan nama Arya menjadi teman di Facebook, dan dia mencoba lagi mencari beberapa nama yang pernah dia ingat dan kenal. Olivia juga memberikan serta membalas komentar untuk teman-temannya yang sedang online saat itu. Pokoknya Olivia jadi kecanduan juga dengan yang namanya Facebook, sama seperti Tiara.

“Eh, statusku sudah ada yang mengomentari, harus segera dibalas nih,” serunya girang. Begitulah seterusnya, setiap ada berita masuk, Olivia akan segera membalasnya dengan penuh semangat.

Akibatnya, seharian ini Olivia sibuk dengan website barunya, sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam lima sore. Alarm di tangan Olivia pun berbunyi.

DRRRRTTTTTT.

“AAAhhhhhh.... sudah jam lima?” teriaknya histeris.

Tiara yang berada dimeja sebelah terkejut saat mendengar suara teriakan Olivia yang melengking bagaikan bunyi sirine ambulance.

“Kamu kenapa sih, Liv?” tanyanya penasaran.

Olivia terlihat risau sekali. Wajahnya tegang dan bibirnya mengatup rapat. Tampak sekali jika dia mengkhawatirkan sesuatu.

“Seharusnya aku ikut les balet jam tiga tadi.” Olivia melihat jam tangannya, dan tersenyum kecut.

Aku jadi bolos les nih. Gimana dong kalau guru lesku menelpon orangtuaku. Bisa-bisa nanti aku kena marah mereka,” ujarnya risau.

“Duh, kirain ada apa. Gak usah bingung, Sis!”

Bilang saja tadi kamu ada pelajaran ektra kurikuler di sekolah, dan gak bisa ditinggal. Ok, Sis?”

Tiara mengangkat tangannya untuk berhigh five dengan Olivia.

“OK deh, Sis!” Olivia menyambut high five tersebut.

“Sekarang kita lanjut lagi or go home?” tanya Tiara sambil membereskan poninya yang jatuh ke dahinya.

“Lanjut lagi dong! Nanggung nih. Pulangnya nanti saja jam enam ya?” pinta Olivia.

Candu Facebook (1)

Chapter 1
Pesbuk

“Ra, lo lagi ngapain sih? Dari tadi gue lihat lo sibuk ngutak ngatik handphone terus. Apa gak pegel tu jari? SMS-an sama siapa sih? Cowok lo si Reza yang rambutnya jabrik itu ya?”

Olivia gemes melihat Tiara selau sibuk dengan handphone-nya sejak pulang sekolah tadi. Mie ayam ‘Pak Kumis’ yang nongkrong didepan matanya pun belum disentuh Tiara. Rasanya pasti sudah tidak enak lagi, karena sudah dingin.

“Bukan! Gue lagi nyoba Facebook dari handphone nih!” jawab Tiara santai.

Olivia merasa asing mendengar kata ajaib yang meluncur dari mulut Tiara.

“Pesbuk? Apaan tuh? Sejenis sabuk pengaman ya?” tanya Olivia penasaran.

“Haaaa...??? Payah banget! Hari gini belum tahu yang namanya Facebook? Kemana aja kamu, Non? Gaptek banget deh.” Tania mencibir pada Olivia.

“Hei! Aku nanya beneran Non! Memangnya Pesbuk itu apa?” Olivia sewot karena tidak senang dibilang payah oleh Tiara.

“Facebook, Sis! Bukan pesbuk! Gak tahu bahasa Inggris yang baik ya?”

Tiara sering sekali menggunakan sebutan “Sis” kepada kawan perempuan dan “Bro” kepada kawan laki-laki.

“Mana aku tahu kalau itu dari bahasa bule sana,” jawab Olivia nyinyir.

“Sekarang di internet sudah ada website baru dengan format yang baru pula, namanya Facebook. Di Facebook itu, kita bisa mencari teman-teman kita dan terhubung dengan mereka secara langsung.”

“Bukannya website yang lainnya juga seperti itu?” tanya Olivia sambil memasukkan mie ayam kedalam mulutnya yang mungil.

“Pada prinsipnya sih sama saja, tapi di facebook ini ada kolom komentar. Jika teman kita sedang melakukan suatu kegiatan, kita bisa memberikan komentar padanya secara langsung. Dan disana juga bisa mengupload foto-foto kita sehingga bisa dilihat oleh teman-teman yang lain. Istimewanya lagi, mereka juga bisa memberikan komentarnya atas foto-foto tersebut. Nah, gimana gak asyik tuh?” ujar Tiara dengan bangga.

“Hmm, boleh juga di coba tuh! Tapi aku belum tahu cara memulainya, jadi... tolong ajarin aku ya?” pinta Olivia usai meneguk es teh manisnya.

“Boleh saja, tapi pake handphone kamu or kita ke warnet saja ya? Soalnya pulsa aku sudah hampir habis nih!”

“Oke deh, Sis! Be te we mie ayamnya gak dimakan nih? Sudah dingin sedari tadi loh gara-gara kamu pesbukan terus. Kalau gak kamu makan, buat aku saja deh? Aku juga gak nolak kok, kan yang bayar tetap kamu.“ Olivia nyengir kuda sambil mencoba meraih mangkok mie ayam Tiara.

“Weits, gak bisa dong! Yang jelas perut aku tetap kudu diisi dulu. Nanti kalau perutku berbunyi kukuruyuk, aku gak akan bisa konsentrasi ngajarin kamu Facebook-an lah... “

Dengan lahap Tiara menyuapkan mie ayam itu kedalam mulutnya. Dalam hitungan tiga menit, mie itu sudah lenyap dari mangkoknya.

“Hebat... hebat... hebat... kamu kelaparan berat ya? Tuh minumnya sekalian. Kalau masih kurang, botolnya bisa kamu makan juga. Ha... ha... ha...,” ledek Olivia geli karena tak tahan melihat kelakuan Tiara yang maruk banget.

Candu Facebook (Sinopsis)

Candu Facebook
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Selasa <> 200410, 0404PM)



Candu Facebook
Chapter 1 Pesbuk
Chapter 2 Gara-Gara Facebook
Chapter 3 Facebook?? Ampun Deh…
Chapter 4 Facebook?? No, Arya?? Yes


Sinopsis

“Arya, aku tahu kamu masih marah kepadaku. Aku sungguh menyesal atas perlakuanku padamu saat itu. Aku mohon, maafkan aku. Aku memang cewek yang gak tahu malu dan gak punya perasaan. Aku menyesal sekali karena terlalu terlena pada dunia maya itu dan aku telah menyia-nyiakan kamu,”
(Mentari Olivia_Olivia)

“Aku sih percaya kalau kamu masih berhubungan dengannya, Liv. Tapi, orang lain tanggapannya berbeda. Mereka pikir kamu sudah tidak ada hubungan lagi dengan Arya, dan Arya sekarang sedang jadi sasaran empuk cewek-cewek yang selalu mengincar dia sejak dulu. Arya kan cowok paling ganteng di sekolah kita, and pintar juga. Sudah pasti banyak yang suka sama dia. Enggak ada deh orang yang pantas bersama dia kecuali kamu. Karena kalian tuh pasangan ideal di sekolah bagiku,”
(Tiara Zalianty_Tiara)

“Jadi jika keadaannya berbeda, kamu mau dijauhi olehku?”
“Aku senang sekali mendengar pengakuanmu tadi Liv, kini biarkan aku memelukmu hanya sebentar saja. Please!”
“Perkenalkan, Dia adalah kembaran identikku alias patung diriku yang kubuat untuk pelajaran seni rupa nanti.”
(Arya Sinatrya_Arya)



Karakter Tokoh Candu Facebook

Mentari Olivia (Olivia)
Memang beberapa minggu ini sejak Mentari Olivia (Olivia) mengenal Facebook, Mentari Olivia (Olivia) tidak pernah terlihat bersama-sama lagi dengan Arya Sinatrya (Arya). Padahal Arya Sinatrya (Arya) sudah berulang kali mencoba menghubunginya – setiap Arya Sinatrya (Arya) menghubunginya pada saat itu pula Mentari Olivia (Olivia) selalu sedang berkonsentrasi dengan Facebook-nya – selalu ditanggapi Mentari Olivia (Olivia) dengan nada yang datar-datar saja. Beberapa kali pula Arya Sinatrya (Arya) mencoba mengajaknya pergi ke suatu tempat, tetapi Mentari Olivia (Olivia) selalu menolaknya dengan halus. Saat itu Mentari Olivia (Olivia) lebih memilih Facebook dibandingkan Arya Sinatrya (Arya).

Mungkin Mentari Olivia (Olivia) memang tidak bermaksud menggantikan Arya Sinatrya (Arya) dengan Facebook. Ia tidak tahu mengapa hal itu bisa begitu menyita semua perhatiannya. Ia sepertinya tidak sanggup untuk berhenti. Ia sudah mencoba menahan semua keinginan terbesarnya untuk membuka Facebook, tetapi tetap saja ia selalu kalah dengan keinginan itu.

Arya Sinatrya (Arya)
Arya Sinatrya (Arya) tidak akan pernah bisa marah pada Mentari Olivia (Olivia), Ia hanya memberimu waktu Mentari Olivia (Olivia) untuk sendiri dan bersenang-senang dengan kesibukannya. Arya Sinatrya (Arya) hanya berpikir itu hanya kesenangan sesaat saja dan mungkin sebentar lagi Mentari Olivia (Olivia) pun akan mulai bosan dan meninggalkannya. Sekalian Arya Sinatrya (Arya) juga ingin tahu isi hati Mentari Olivia (Olivia) yang sebenarnya padanya. Apakah Mentari Olivia (Olivia) akan merindukannya jika Ia tidak berada disamping Mentari Olivia (Olivia). Itu yang ia ingin tahu.


Tiara Zalianty (Tiara)
Menurut Tiara Zalianty (Tiara), Kalau Mentari Olivia (Olivia) tidak menginginkan Arya Sinatrya (Arya), banyak yang akan mencoba mengambil hati Arya Sinatrya (Arya) dari Mentari Olivia (Olivia) mungkin termasuk dirinya juga. Dan dengan konsentrasinya yang hanya terfokus pada candu Facebook itu malah akan benar-benar menjauhkan Arya Sinatrya (Arya) dari sisi Mentari Olivia (Olivia).



Sebuah Kecupan Di Keningku (6-End)

Chapter 6
Surat Dari Fabian

Berhari-hari rasanya aku tak sabar untuk menunggu Fabian pulang. Hampir dua bulan begitu saja. Tak ada khabar berita tentang Fabian. Bahkan sepucuk surat pun tak pernah menghampiriku. Beragam tanda tanya mulai menghantui pikiranku. Mungkinkah dia telah lupa, atau karena masih terlalu sibukkah? Entahlah.. Aku terus menunggu Fabian. Bahkan terkadang aku kerapkali melihat bayangannya disudut mataku. Dua bulan berikutnya, pak pos singgah kerumahku. Beliau membawa sebuah surat untukku. Yach! Dari Fabian. Ini surat pertamanya.

“Untuk Carissa-ku. Carissa, aku telah sampai dan mulai menjalani hari-hari dinegara ini. Aku akan segera pulang ke indonesia begitu kuliahku selesai. Oya, bagaiman khabarmu sekarang? Aku masih berharap kamu masih menyimpan kalung yang waktu itu kuberikan. Aku merindukanmu! Carissa, ini nomor hp ku. Kuharap disuatu senja nanti kamu bersedia menelphonku. +6281155250682. “
Fabian.

Seandainya aku berhak mengatakan sesuatu, akupun ingin mengatakan bahwa aku merindukannya. Kukepal jemariku erat-erat. Kusimpan rindu diulu hati. Sejenak, anganku membayang disuatu siang, saat sebuah kecupan hangat singgah dikeningku. Mungkin itu salam perpisahan. Atau sebuah kalimat yang artinya bahwa dia akan kembali lagi. Entahlah..



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Sebuah Kecupan Di Keningku (5)

Chapter 5
Kalung Dari Fabian


Sungguh! Sebenarnya aku tak rela jika harus membiarkan Fabian pergi, tetapi aku juga tidak ingin merebut mimpi-mimpinya. Dia telah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa itu. Dia berhak meraihnya. Toh, menyayanginya tidak harus membuatnya selalu ada didekatku. Membiarkan mencapai yang terbaik, itulah hakikat sayang yang sebenarnya. Waktu berjalan terlalu cepat. Seperti berlari mengejar rotasi waktu. Hari ini, dibandara ini, mungkin akan menjadi saksi terakhir persahabatanku dengan Fabian. Sirene pesawat mulai berbunyi, operator pun mulai mengingatkan agar penumpang segera masuk kedalam pesawat, karena pesawat sebentar lagi akan berangkat.

“Aku akan kembali Carissa..” ucap Fabian terakhir kalinya. Meyakinkanku.

“Aku percaya.” Jawabku yakin. Fabian mencium keningku. Untuk pertama-kalinya, dan mungkin juga yang terakhir, karena setelah hari ini, aku tak bisa memastikan apakah waktu masih bersedia mempertemukan kami lagi.

Gemuruh suara mesin pesawat seakan membuat jantungku terasa hampir lepas. Mataku terasa berat, dan darinya kemudian menetes butiran-butiran salju bening, membasahi wajahku. Kupandangi pesawat yang semakin menjauh. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kurasakan terhadap Fabian. Selama ini kami hanya berteman, bersahabat! Tapi setelah hari ini, aku merasakan sesuatu yang hilang. Padahal belum ada lima menit Fabian pergi dari kehidupanku, tapi rasanya Fabian telah meninggalkanku entah berapa puluh abad. Aku kembali pulang kerumah. Sesampainya dirumah, kulihat ibu yang sedang menyelesaikan jahitannya. Yach! Setelah ayah tidak ada lagi, ibu mengisi waktunya untuk menerima pesanan jahitan dari tetangga. Dan hasilnya yang tak seberapa itu digunakan untuk biaya kehidupan kami sehari-hari dan juga untuk biaya sekolahku, meskipun terkadang tidak cukup, dan ibu terpaksa harus mengutang pada tetangga yang lain. Aku langsung menghampiri ibu. Membantunya memasang kancing-kancing baju yang telah selesai dijahit.

“Sudah berangkat Fabian, Ris?” tanya ibu.

“Sudah Bu. Tadi sewaktu Carissa mengantarnya ke Bandara, Fabian memberikan kalung ini untuk Carissa Bu. .,” tuturku, sambil menunjukkan sebuah kalung berliontin hati dileherku. Ibu tersenyum.

“Kamu mencintainya?” tanya ibu. Aku terdiam. Lalu tersenyum kecut.

“Tidak!” jawabku.

“Dia mencintaimu?” tanya ibu lagi.

“Tidak mungkin Bu.” Jawabku lagi. Ibu menepuk bahuku.

“Kamu sudah dewasa Carissa, mencintai dan dicintai itu hak mu. Yang terpenting kamu harus paham posisimu. Kita bukan orang kaya, jadi jangan terlalu banyak bermimpi Ris. Karena jika nanti kamu terbangun dari mimpi-mimpi itu, kamu hanya akan mengeluh.” Nasehat ibu.

“Carissa paham Bu.” Jawabku.

Sebuah Kecupan Di Keningku (4)

Chapter 4
General University


Sepulang sekolah Fabian mengajakku kepantai, awalnya aku menolak, tapi akhirnya aku menyetujuinya. Dengan sepeda motornya, kami melaju melawan angin hingga sampai dibibir pantai. Angin menyapa ramah, seakan bersahabat. Fabian memarkirkan sepeda motornya didekat pintu masuk, lalu kami berjalan beriringan menuju tepi pantai. Deru suara ombak terdengar sangat ribut, namun terasa merdu. Sesekali ombak bergulung menyapu kaki kami. Dingin! Ini bukan yang pertama kalinya aku dan Fabian menghabiskan waktu dipantai. Setiapkali jenuh, atau ada waktu luang, Fabian selalu mengajakku ketempat ini. Apalagi disaat pikiranku keruh.

“Bermainlah bersama alam jika kamu bosan menghadapi hari-harimu..” Itulah kata-kata yang selalu ia ucapkan padaku.

“Bi, aku lupa kapan pertama kalinya kamu ajak aku ketempat ini” tanyaku.

“Kamu masih ingat sewaktu kamu tiba-tiba datang kesekolah dan menangis? Aku tanya kenapa, kamu menjawab, ‘hidup ini kejam!’..” jawabnya, tanpa melirik kearahku.

“Ya! Lalu kita sama-sama cabut dari sekolah dan kamu mengajakku ketempat ini. Ya kan?” sambungku, sambil tersenyum getir.

Fabian membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih getir. Sesaat suasana hening. Aku dan Fabian sama-sama menikmati hembusan angin. Aku sempat mendapati Fabian sesekali mencuri pandang kearahku, namun aku pura-pura tidak tahu. Fabian merogoh kantongnya, lalu mengeluarkan selembar amplop dan menyodorkannya padaku. Aku mengambilnya.

“Apa ini Bi?” tanyaku penasaran.

“Bukalah, nanti juga kamu akan tahu.” Jawabnya datar. Aku membukanya pelan-pelan. Aku baru membaca kop suratnya saja, namun dadaku terasa berdetak semakin kencang, jauh lebih kencang dari biasanya. “General University to Fabian Maheswara in United States, America….”.

Selesai membacanya aku langsung menutup surat itu kembali. Mataku memerah, tapi aku berusaha untuk tidak menangis. Kupandangi wajah sahabatku itu dan tersenyum dengan senyuman terindah yang kumiliki. Aku menyodorkan kembali surat itu kepadanya. Dia mengambilnya dan menyimpannya kembali disaku celananya. “Jadi kamu akan pergi?” tanyaku dengan nada getir.

“Aku tidak tahu, harus pergi atau tidak! Sungguh! Aku takut kehilangan sahabat sepertimu.” Jawabnya.

“Pergilah Bi. Aku yakin aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi ingat, jika nanti kamu telah berhasil, jangan lupakan aku ya?” pintaku. Fabian tersenyum kecut. Lalu dipeluknya aku. Kemudian pelan-pelan dilepaskannya lagi.

Sebuah Kecupan Di Keningku (3)

Chapter 3
Semangat Dari Fabian


Aku telah sampai disekolahku tercinta. Belum banyak yang datang dihari sepagi ini. Hanya ada aku dan Fabian, saingan beratku. Aku menyapanya dengan senyuman, dan dia pun membalasnya. Tidak seperti hari-hari biasanya. Begitu sampai dikelas, aku langsung membuka buku pelajaranku dan membacanya ulang. Hari ini kubiarkan saja tasku tergeletak didalam laci mejaku. Kulirik Fabian yang masih asyik dengan bacaannya. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum padanya.

“Seandainya aku berada diposisimu..” Bisikku dalam hati, dalam isyarat tak bernada. Fabian teman sebangkuku. Setiapkali pembagian raport, peringkatku dengannya selalu bersaing. Kalau bukan aku yang juara pertama, pasti Fabian. Begitu juga sebaliknya. Fabian tidak jauh lebih pintar dari aku, buktinya saja, nilai-nilai kami hampir sejajar. Tapi Fabian jauh lebih beruntung dariku. Dia terlahir dari keluarga yang berada. Tiba-tiba Fabian memandangku saat aku sedang melontarkan pernyataan-pernyataan keluh dihatiku.

“Hei.., kenapa tidak buka buku?” Tanyanya. Aku tersenyum.

“Untuk apa?” Tanyaku balik.

“Ya belajarlah. Bukannya biasanya seperti itu?” Tanyanya lagi. Aku diam saja.

“Apa kamu mau nilai-nilaimu dibawahku?” lanjutnya.

“Untuk apalagi aku belajar Bi? Kalau aku tahu, toh aku tidak akan pernah bisa melanjutkan kuliah..,” Ungkapku.

“Kamu pesimis? Sejak kapan! Kamu bukan Carissa yang kukenal sekarang. Mana mimpi-mimpimu yang dulu! Yang selalu kamu ceritakan padaku? Mana!”

“Sudahlah Bi, bermimpi hanya akan membuatku semakin sakit. Aku sadar siapa aku.” Tuturku, seraya pergi meninggalkannya.

Siapa yang tidak ingin bermimpi? Siapa yang tidak ingin punya cita-cita! Aku! Dan orang-orang yang bernasib sama sepertikupun sebenarnya punya cita-cita. Namun garis tangan kami telah berkata lain. Mungkin tuhan telah memilihkan jalan terbaiknya lewat tangisan dan air mata kami.

Sebuah Kecupan Di Keningku

Chapter 2
Aku Ingin Menangis


Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, selesai shalat subuh, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Tinggal detik-detik terakhir, aku menjalani hari-hari dibangku SMU ini. Setelah hari ini dan beberapa hari esok, aku tak tau pasti rutinitas apalagi yang harus kujalani. Didepan cermin, sejenak kupandangi diriku yang berdiri tegak dengan seragam putih abu-abu. Kulihat bayanganku dalam cermin itu erat-erat.

“Tinggal beberapa hari lagi..” bisikku dalam hati.

Sebenarnya aku ingin menangis, namun terlalu banyak rasanya air mata yang selama ini kutumpahkan. Lagipula untuk apa aku menangis? Toh dengan menangis aku juga tidak bisa menyelesaikan masalah. Sama seperti hari-hari biasanya. Aku harus menempuh jarak beberapa kilo meter untuk sampai kesekolah dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain! Aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil, aku juga bukan anak pejabat negeri yang punya banyak uang saku. Sejak menginjakkan kaki disekolah ini, aku tak pernah menjamah kantin selain karena dibayarin teman-teman. Yach!

“Tuhan itu maha adil”. Itulah kata-kata yang kerapkali diucapkan ibu padaku. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing”, itulah nasehat-nasehat ibu. Aku memang tidak punya uang saku, tapi teman-teman selalu mentraktirku dikantin.

Sebuah Kecupan Di Keningku (1)

Chapter 1
Kelabu Di Hatiku

Aku masih menatap langit-langit malam dengan tatapan kosong. Aku mencoba membaca seberkas sinar yang terbias diaksara waktu. Berulangkali aku mendesah, menutup mata, dan mencoba berlari dari kenyataan. Namun tak bisa. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku, dan duduk disebelahku. Aku sempat menoleh kearahnya, namun sebentar, dan kemudian kembali membiarkan mataku menatap pemandangan gelap.

“Seharian ibu lihat kamu duduk diam dikursi bambu ini, Ris. Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya ibu padaku. Sekilas, kutatap wajah ibu dan tersenyum padanya, lalu kuhela nafas dalam-dalam.

“Didalam panas Bu. Carissa tidak kenapa-kenapa kok.” Jawabku. Ibu menggeleng sambil tersenyum, seolah beliau tahu apa yang sebenarnya kusembunyikan.

“Tak ada yang bisa berdusta pada ibu Ris, tidak juga matamu. Kamu ingin menangis kan? Menangislah Ris. Jika kamu ingin menangis, menangislah dihadapan ibu. Tuangkan semua keluh kesahmu. Kamu berhak mencurahkan air mata Ris..,” Ucap ibu lagi.

Kutatap wajah ibu dalam-dalam. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa paham dengan apa yang kurasakan, padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya jauh di lubuk hatiku yang terdalam. Mataku tiba-tiba terasa berat, ada genangan yang hampir tumpah disana, namun aku tetap berusaha membendungnya. Bibirku bergetar, seakan ingin bicara banyak pada ibu. Tapi lidahku keluh, sekeluh tanda tanya dihatiku. Kupeluk tubuh ibu erat-erat, sangat erat bahkan! Ibu membalas pelukanku. Lama. Aku dan ibu berpelukan, lalu melepas pelukan itu pelan-pelan, sambil menumpahkan air mata yang tak mampu kubendung lagi. Kulihat mata ibu yang juga memerah, namun tak mengeluarkan butiran salju bening setetespun. Mungkin ia berusaha membendungnya dalam-dalam, sama seperti yang kulakukan tadi.

“Hidup ini realita Ris. Hadapi saja apa adanya, jangan terlalu banyak menuntut pada nasib, percuma! Hidup ini sulit Ris, tapi jika kamu hadapi dengan ikhlas, kamu akan menemui kemudahannya. Jangan terlalu banyak bermimpi, karena jika nanti kamu terbangun dari mimpi-mimpimu, kamu akan berontak pada kenyataan. Namun jika kamu telah berani untuk bermimpi, kamu harus siap untuk terbangun esok hari.” Ucap ibu lagi, seraya mencium keningku.

Aku masih terdiam bisu, mendengarkan gurauan jangkrik yang semakin merdu terdengar. Kubiarkan langkah kaki ibu yang semakin menjauh, meninggalkanku dikeheningan malam. Langit semakin tampak hitam! Kelam! Ibu benar! Semakin aku bermimpi, semakin sakit rasanya kehidupan yang kulalui. Tapi tanpa mimpi-mimpi itu, aku seperti hidup tanpa nyawa. Tak ada harapan yang bisa kubangun. Sekali lagi, entah untuk yang keberapa kalinya aku memejamkan mata, membaca kata-kata kelabu dihatiku.

Sebuah Kecupan Di Keningku (Sinopsis)

Sebuah Kecupan dikeningku
Created By Sweety Qliquers
(Samarinda, Rabu <> 140410, 0250PM)



Sebuah Kecupan Dikeningku
Chapter 1 Kelabu Di Hatiku
Chapter 2 Aku Ingin Menangis
Chapter 3 Semangat Dari Fabian
Chapter 4 General University
Chapter 5 Kalung Dari Fabian
Chapter 6 Surat Dari Fabian


Sinopsis

“Untuk apa?”
“Untuk apalagi aku belajar Bi? Kalau aku tahu, toh aku tidak akan pernah bisa melanjutkan kuliah..,”
“Sudahlah Bi, bermimpi hanya akan membuatku semakin sakit. Aku sadar siapa aku.”
“Pergilah Bi. Aku yakin aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi ingat, jika nanti kamu telah berhasil, jangan lupakan aku ya?”
(Carissa Ayushita_Carissa)

“Untuk Carissa-ku. Carissa, aku telah sampai dan mulai menjalani hari-hari dinegara ini. Aku akan segera pulang ke indonesia begitu kuliahku selesai. Oya, bagaiman khabarmu sekarang? Aku masih berharap kamu masih menyimpan kalung yang waktu itu kuberikan. Aku merindukanmu! Carissa, ini nomor hp ku. Kuharap disuatu senja nanti kamu bersedia menelphonku. +6281155250682. “
(Fabian Maheswara_Fabian)

“Tak ada yang bisa berdusta pada ibu Ris, tidak juga matamu. Kamu ingin menangis kan? Menangislah Ris. Jika kamu ingin menangis, menangislah dihadapan ibu. Tuangkan semua keluh kesahmu. Kamu berhak mencurahkan air mata Ris..,”
(Ibu Carissa)



Karakter Tokoh Sebuah Kecupan Dikeningku

Carissa Ayushita (Carissa)
Sebenarnya Carissa Ayushita (Carissa) ingin menangis, namun terlalu banyak rasanya air mata yang selama ini ditumpahkannya. Lagipula untuk apa ia menangis? Toh dengan menangis ia juga tidak bisa menyelesaikan masalah. Sama seperti hari-hari biasanya. Ia harus menempuh jarak beberapa kilo meter untuk sampai kesekolah dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain! Carissa Ayushita (Carissa) bukan anak orang kaya yang bisa pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil, ia juga bukan anak pejabat negeri yang punya banyak uang saku. Sejak menginjakkan kaki disekolah ini, ia tak pernah menjamah kantin selain karena dibayari teman-teman.

Fabian Maheswara (Abi)
Sebelum pergi ke United State, America untuk meneruskan sekolah di General University, Fabian Maheswara (Fabian) memberikan sebuah kalung berliontin hati untuk Carissa Ayushita (Carissa). Dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening Carissa Ayushita (Carissa), sebagai salam perpisahaan atau sebuah kalimat yang artinya bahwa dia akan kembali lagi hanya Carissa Ayushita (Carissa) – sahabat yang mungkin saja kini wanita yang dicintainya sepenuh hati.


Ibu Carissa
Menurut Ibu Carissa, Hidup ini realita. Hadapi saja apa adanya, jangan terlalu banyak menuntut pada nasib, percuma! Hidup ini sulit, tapi jika kita menghadapi dengan ikhlas, kita akan menemui kemudahannya. Jangan terlalu banyak bermimpi, karena jika nanti kita terbangun dari mimpi-mimpi kita, kita akan berontak pada kenyataan. Namun jika kita telah berani untuk bermimpi, kita harus siap untuk terbangun esok hari.



Salah Alamat (5-End)

Chapter 5
Jadi…


Bel masuk berbunyi nyaring. Tanpa terasa waktu terasa begitu cepat.

“Duluan ya…” ujarku ramah. Dan hanya melambaikan tangannya ke arahku. Dia tidak seperti adik kelas lainnya. Dia sangat berbeda. Terkadang terlihat lebih dewasa…

***

Aku tak mengerti apa yang membuat Keysha begitu marah padaku. padahal aku sudah berusaha membantunya. Kalau Aditya tidak menemuinya jam istirahat tadi bukan salah aku dong…

“Seumur hidup gue belum pernah di permainkan seperti ini…!!” umpatnya padaku.

“Kok lo sewotnya ke gue sih?! Gue kan udah bilang ke temennya Aditya kalau lo nunggu Aditya di kantin jam istirahat…” protesku membela diri.

“Tapi dia gak datang…!!” semprotnya pedas.

“Ya mana gue tahu, mungkin dia ada urusan lain atau mungkin aja dia datang tapi gak tahu yang mana lo…”

“Tapi kan gue kenal dia, yang gue liat cuma temennya…”

“Gak mungkin, selama jam istirahat temennya sama gue di Perpustakaan…”

“Tapi…”

“Ya udah lo jangan sewot dulu, nanti gue tanyain lagi sama orangnya kenapa dia gak datang…” Keysha pun terdiam meski hatinya masih sangat kesal. Pasalnya belum pernah dia dibuat menunggu oleh cowok. Apalagi untuk cowok seperti Aditya.

Siang ini seperti yang dijanjikan Dhika ada rapat osis untuk acara Pelantikan Anggota OSIS Baru minggu depan. Aku punya kesempatan untuk bertemu Didit lalu menanyakan kenapa Aditya tidak menemui Keysha. Tapi siang ini aku tidak melihat Didit. Kenapa dia tidak ikut rapat?
Memang tak ada anak kelas satu yang ikut rapat siang ini. semua yang hadir adalah anggota Osis lama. Aku yang menjabat sebagai Sekretaris Osis kebagian giliran mencatat daftar siswa kelas satu calon anggota Osis,

Salah satunya adalah Aditya.

“Nu… ini undangan Pelantikan Anggota Baru Osis buat Didit…” Ujar Dhika pada Wisnu.

“Aditya… lo kenal Didit?” tanyaku pada Wisnu.

“Dia adik gue,” jawabnya sembari berlalu dihadapanku. Aku semakin tak mengerti. Kenapa kakak adik begitu tidak mirip. Wisnu memiliki kulit gelap dan mata bulat. Rambutnya ikal, hidungnya tidak terlalu mancung. Sedangkan Didit berkulit putih, hidung mancung bermata sipit seperti Chinese.

“Dan ini untuk Aditya…” ujar Dhika padaku sembari menyerahkan secarik undangan. Aku hanya melongo tak mengerti.

“Kok lo kasihin ke gue sih, gue gak kenal Aditya.”

“Lho…! Bukannya jam istirahat tadi lo asyik ngobrol sama dia di Perpustakaan…?!”

“Itu Didit bukan Aditya.” Kata Dhika yang membuatku semakin bingung.

“Tapi..”

“Tuh si Didit yang item adiknya Wisnu yang lagi main basket sama Aditya di lapangan.” Dhika menunjuk ke lapangan basket yang tepat berada di samping ruang Osis.

“Loh jadi… jadi gue salah orang dong?” Tanyaku ragu.

“…”



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com