Chapter 7
Usaha Rianty
Hari masih pagi. Jam di pergelangan tangan kiri Rianty baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Gadis berambut pendek itu menghampiri Bagas yang duduk termenung di atas sebuah kursi panjang di halaman sekolah.
“Aku bilang juga apa. Coba kalau baikan dengan Mitha, pasti ulangan Inggrismu nggak pas-pasan enam setengah,” katanya sambil duduk di samping Bagas.
“Apa-apaan sih Ri! Kok, datang-datang ngomong begitu?” Bagas memandang Rianty dengan kesal.
“Heh, jangan pura-pura,” Rianty bangkit dari duduknya. Disandarkannya tubuh kurusnya pada sebatang pohon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku rok abu-abunya. “Kamu lagi mikirin ulangan Inggris yang kemarin, ‘kan?”
“Kalau ya, memangnya kenapa?” serang Bagas ketus. “Kamu pikur aku mau diajarin sama si …”
“Cantik Mitha?” potong Rianty tertawa. “Bagas.. Bagas… apa sih ruginya minta diajarin? Gengsi? Hmm….. kalian berdua memang kepala batu.”
Bagas diam saja. Tangannya dilipat ke dada. Matanya memandang lurus ke arah bebungaan yang mekar di sudut halaman.
“He, Gas,” kata Rianty lagi., “Bersaing sih boleh, tapi jangan gontok-gontokan dong! Akibatnya, kamu jadi malu minta diajarin sama Mitha. Nah, kalau sudah begitu, kamu yang repot sendiri kan? Coba, kalau kalian bersaing secara damai…”
“Ala… sudahlah Ri,” Bagas menukas, “Aku bosan dengar ceramahmu!” Ditinggalkannya Rianty, masuk ke kelas.
“Demi kebaikanmu, Gas! Demi prestasimu,” Rianty mengikuti langkah Bagas.“ Mitha jago bahasa Inggris lho! Bisa kalah kamu nanti.” ujarnya memanasi.
“Aku tidak akan kalah, Ri. Aku pasti manang!” Bagas membalikkan tubuh menatap Rianty tajam, lalu berjalan ke tempat duduknya.
Rianty menghela nafas. Oh, gadis Non Blok jangan sampai usahamu gagal, batinnya.
Usaha Rianty
Hari masih pagi. Jam di pergelangan tangan kiri Rianty baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Gadis berambut pendek itu menghampiri Bagas yang duduk termenung di atas sebuah kursi panjang di halaman sekolah.
“Aku bilang juga apa. Coba kalau baikan dengan Mitha, pasti ulangan Inggrismu nggak pas-pasan enam setengah,” katanya sambil duduk di samping Bagas.
“Apa-apaan sih Ri! Kok, datang-datang ngomong begitu?” Bagas memandang Rianty dengan kesal.
“Heh, jangan pura-pura,” Rianty bangkit dari duduknya. Disandarkannya tubuh kurusnya pada sebatang pohon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku rok abu-abunya. “Kamu lagi mikirin ulangan Inggris yang kemarin, ‘kan?”
“Kalau ya, memangnya kenapa?” serang Bagas ketus. “Kamu pikur aku mau diajarin sama si …”
“Cantik Mitha?” potong Rianty tertawa. “Bagas.. Bagas… apa sih ruginya minta diajarin? Gengsi? Hmm….. kalian berdua memang kepala batu.”
Bagas diam saja. Tangannya dilipat ke dada. Matanya memandang lurus ke arah bebungaan yang mekar di sudut halaman.
“He, Gas,” kata Rianty lagi., “Bersaing sih boleh, tapi jangan gontok-gontokan dong! Akibatnya, kamu jadi malu minta diajarin sama Mitha. Nah, kalau sudah begitu, kamu yang repot sendiri kan? Coba, kalau kalian bersaing secara damai…”
“Ala… sudahlah Ri,” Bagas menukas, “Aku bosan dengar ceramahmu!” Ditinggalkannya Rianty, masuk ke kelas.
“Demi kebaikanmu, Gas! Demi prestasimu,” Rianty mengikuti langkah Bagas.“ Mitha jago bahasa Inggris lho! Bisa kalah kamu nanti.” ujarnya memanasi.
“Aku tidak akan kalah, Ri. Aku pasti manang!” Bagas membalikkan tubuh menatap Rianty tajam, lalu berjalan ke tempat duduknya.
Rianty menghela nafas. Oh, gadis Non Blok jangan sampai usahamu gagal, batinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar