Chapter 2
Ulangan Kimia
Bunyi bel tanda pelajaran dimulai, berdering. Pak Burhan yang tersohor galaknya memasuki ruang kelas 2 IPA 1. Suara riuh rendah mendadak lenyap berganti hening.
“Selamat pagi, anak-anak!” suara Pak Burhan yang berwibawa memecah hening.
“Selamat pagi, Pak!” koor siswa-siswi itu sangat sopan.
“Anak-anak, seperti yang pernah bapak katakan bahwa setiap awal bulan akan ada ulangan mendadak. Maka, hari ini bapak akan mengadakan ulangan,” ujar Pak Burhan lalu menuliskan soal-soal kimia di papan tulis.
Bisik-bisik dan sungut-sungut tak senang terlontar seketika itu juga. Namun tak seorangpun berani mengajukan protes. Mereka kenal betul tabiat guru yang satu ini. Sedikit saja memberi komentar yang melawan kehendaknya, pasti diberi bingkisan khusus, soal-soal rumit yang harus dikerjakan tanpa salah.
Bagas dan Mitha tenang-tenang saja menyelesaikan soal-soal itu. Keduanya merasa yakin akan jawaban yang mereka tulis. Mitha selesai beberapa detik lebih dulu. Gadis itu melirik ke arah Bagas. Tepat, saat itu Bagas baru saja menuliskan jawaban nomor terakhir dan melirik ke arah Mitha.
Mitha terkejut menerima lirikan Bagas. Bagas juga tidak kalah kagetnya. Segera, keduanya membuang muka. Tidak lama, mata keduanya bertumbukkan kembali. Sinar kebencian terpancar dari mata mereka.
“Atika!” tegur Pak Burhan memergoki Atika yang berusaha melihat lembar jawaban teman sebangkunya.
Bagas dan Mitha cepat-cepat menunduk. Teguran Pak Burhan yang ditujukan pada Atika membuat jantung mereka dag-dig-dug. Takut ketahuan sedang berpandang-pandangan.
Detik demi detik berlalu meresahkan. Mitha dan Bagas sudah tidak sabar menanti kata ‘kumpulkan’ yang biasanya diucapkan Pak Burhan setelah waktu yang ditentukan habis. Mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk mengerjakan soal-soal itu. Sisa waktu yang ada sudah mereka gunakan untuk memeriksa kembali, sampai mata terasa pegal. Tapi, sang waktu lambat sekali jalannya.
Kesal menunggu, Mitha memperhatikan teman-temannya. Dia merasa geli melihat anak buah Bagas yang kurang pandai mengerutkan kening seolah berpikir, Padahal, mereka tengah mencari jalan untuk menembus benteng pertahanan Pak Burhan yang luar biasa ketat. Nyontek. Itu yang ada di benak mereka.
Bagas dirayapi perasaan yang sama. Dia merasa ingin tertawa melihat anak buah Mitha mencoret-coret kertas buram, seakan tengah menghitung. Padahal, mereka menulis surat minta tolong pada kawan sebangkunya. Kasihan, surat permohonan itu takkan pernah sampai ke tangan sang teman. Mata Pak Burhan terlalu tajam untuk dikelabui.
Puas menyaksikan tingkah anak buah musuhnya, Mitha mengalihkan pandangan pada sang ketua. Opps! Bagas pun sedang memandangnya. Pandangan mereka beradu lagi, lalu seolah sudah sepakat mereka memeletkan lidah bersamaan.
Pak Burhan berjalan melewati bangku Bagas. Uf! Bagas cepat-cepat menunduk. Mitha ikut menunduk.
Pak Burhan membelakangi bangku Bagas. Mitha menjulurkan lidahnya. Bagas melotot. Mitha ganti turut melotot. Mata keduanya melotot seperti kodok.
Pak Burhan membalikkan tubuh. Bagas berhenti melotot. Ditatapnya Mitha sebal, Mitha balas menatap.
“Bagas! Mitha! Kalau mau pacaran nanti saja!” gelegar suara Pak Burhan mengejutkan keduanya.
“Cihuy!” sorak Rianty lupa diri, lupa waktu.
“Siapa itu teriak-teriak?!” Pak Burhan memutar tubuhnya menatap ke arah Rianty dan Sandra, teman sebangkunya.
“Sa.. saya pak..” Rianty mengaku.
“Istirahat nanti, harap ke kantor. Ada tugas untukmu.”
“ I.. i….iya.. pak,” sahut Rianty pelan dan gugup.
Ulangan Kimia
Bunyi bel tanda pelajaran dimulai, berdering. Pak Burhan yang tersohor galaknya memasuki ruang kelas 2 IPA 1. Suara riuh rendah mendadak lenyap berganti hening.
“Selamat pagi, anak-anak!” suara Pak Burhan yang berwibawa memecah hening.
“Selamat pagi, Pak!” koor siswa-siswi itu sangat sopan.
“Anak-anak, seperti yang pernah bapak katakan bahwa setiap awal bulan akan ada ulangan mendadak. Maka, hari ini bapak akan mengadakan ulangan,” ujar Pak Burhan lalu menuliskan soal-soal kimia di papan tulis.
Bisik-bisik dan sungut-sungut tak senang terlontar seketika itu juga. Namun tak seorangpun berani mengajukan protes. Mereka kenal betul tabiat guru yang satu ini. Sedikit saja memberi komentar yang melawan kehendaknya, pasti diberi bingkisan khusus, soal-soal rumit yang harus dikerjakan tanpa salah.
Bagas dan Mitha tenang-tenang saja menyelesaikan soal-soal itu. Keduanya merasa yakin akan jawaban yang mereka tulis. Mitha selesai beberapa detik lebih dulu. Gadis itu melirik ke arah Bagas. Tepat, saat itu Bagas baru saja menuliskan jawaban nomor terakhir dan melirik ke arah Mitha.
Mitha terkejut menerima lirikan Bagas. Bagas juga tidak kalah kagetnya. Segera, keduanya membuang muka. Tidak lama, mata keduanya bertumbukkan kembali. Sinar kebencian terpancar dari mata mereka.
“Atika!” tegur Pak Burhan memergoki Atika yang berusaha melihat lembar jawaban teman sebangkunya.
Bagas dan Mitha cepat-cepat menunduk. Teguran Pak Burhan yang ditujukan pada Atika membuat jantung mereka dag-dig-dug. Takut ketahuan sedang berpandang-pandangan.
Detik demi detik berlalu meresahkan. Mitha dan Bagas sudah tidak sabar menanti kata ‘kumpulkan’ yang biasanya diucapkan Pak Burhan setelah waktu yang ditentukan habis. Mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk mengerjakan soal-soal itu. Sisa waktu yang ada sudah mereka gunakan untuk memeriksa kembali, sampai mata terasa pegal. Tapi, sang waktu lambat sekali jalannya.
Kesal menunggu, Mitha memperhatikan teman-temannya. Dia merasa geli melihat anak buah Bagas yang kurang pandai mengerutkan kening seolah berpikir, Padahal, mereka tengah mencari jalan untuk menembus benteng pertahanan Pak Burhan yang luar biasa ketat. Nyontek. Itu yang ada di benak mereka.
Bagas dirayapi perasaan yang sama. Dia merasa ingin tertawa melihat anak buah Mitha mencoret-coret kertas buram, seakan tengah menghitung. Padahal, mereka menulis surat minta tolong pada kawan sebangkunya. Kasihan, surat permohonan itu takkan pernah sampai ke tangan sang teman. Mata Pak Burhan terlalu tajam untuk dikelabui.
Puas menyaksikan tingkah anak buah musuhnya, Mitha mengalihkan pandangan pada sang ketua. Opps! Bagas pun sedang memandangnya. Pandangan mereka beradu lagi, lalu seolah sudah sepakat mereka memeletkan lidah bersamaan.
Pak Burhan berjalan melewati bangku Bagas. Uf! Bagas cepat-cepat menunduk. Mitha ikut menunduk.
Pak Burhan membelakangi bangku Bagas. Mitha menjulurkan lidahnya. Bagas melotot. Mitha ganti turut melotot. Mata keduanya melotot seperti kodok.
Pak Burhan membalikkan tubuh. Bagas berhenti melotot. Ditatapnya Mitha sebal, Mitha balas menatap.
“Bagas! Mitha! Kalau mau pacaran nanti saja!” gelegar suara Pak Burhan mengejutkan keduanya.
“Cihuy!” sorak Rianty lupa diri, lupa waktu.
“Siapa itu teriak-teriak?!” Pak Burhan memutar tubuhnya menatap ke arah Rianty dan Sandra, teman sebangkunya.
“Sa.. saya pak..” Rianty mengaku.
“Istirahat nanti, harap ke kantor. Ada tugas untukmu.”
“ I.. i….iya.. pak,” sahut Rianty pelan dan gugup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar