Chapter 3
Emosi Jiwa
Rianty tersenyum kecut menerima tugas dari Pak Burhan. 10 soal yang rumit dapat membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Otaknya memang bebel untuk pelajaran kimia.
“Oh, gadis Non Blok yang malang!” goda Bagas.
Rianty melotot.
“Iya gara-gara kamu!” omelnya.
“Lho, kok aku. Siapa suruh berteriak kaya orang utan.”
Rianty tersenyum tidak jadi marah.
“Kalian cocok deh kalau …”
“Kalau apa, Ri?” potong Mitha yang tiba-tiba muncul bersama kelompoknya.
“Kalau apa ya?” Rianty pura-pura bego. Ujung telunjuk kirinya menyentuh keningnya.
“Yang bener Ri!” bentak Maya, tangan kanan Mitha.
“Eh, nggak jadi deh!” Rianty cepat-cepat meninggalkan kelas.
Bagas memanggil Rianty, “Ri… Rianty!”
Rianty tidak mengacuhkannya.
“Terlalu! Ngakunya sahabat Rianty, tapi melihat Rianty dibentak diam saja!” kata Bagas pada tangan kanannya, Mario. Tentu saja, kalimat itu ditujukan pada Mitha.
Mithaa mendengus, “Huh! Bilang aja mau menarik Rianty masuk ke dalam grup konyol itu! Pake menyalahkan aku segala!” ujarnya pada Maya tapi…matanya melirik Bagas.
Bagas menghampiri Mitha. Mitha berkacak pinggang.
“Mau apa?” tantang Mitha galak.
“Mau apa kek,, itu urusanku! Ngapain tanya-tanya!” sentak Bagas.
Wajah Mitha merah padam. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu ketika Rianty tiba-tiba masuk ke kelas dan menarik tangannya.
Mitha menepis tangan Rianty.
“Udah deh! Jangan ribut!” Ujar Rianty.
“Gas! Simpan emosimu! Malu, ‘kan udah gede!” serunya kemudian pada Bagas.
Bagas menurut. Mitha meninggalkan kelas dengan kepala mendongak angkuh. Dibelakangnya Maya mengikuti.
Rianty geleng-geleng kepala melihat kedua sahabatnya itu.
Emosi Jiwa
Rianty tersenyum kecut menerima tugas dari Pak Burhan. 10 soal yang rumit dapat membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Otaknya memang bebel untuk pelajaran kimia.
“Oh, gadis Non Blok yang malang!” goda Bagas.
Rianty melotot.
“Iya gara-gara kamu!” omelnya.
“Lho, kok aku. Siapa suruh berteriak kaya orang utan.”
Rianty tersenyum tidak jadi marah.
“Kalian cocok deh kalau …”
“Kalau apa, Ri?” potong Mitha yang tiba-tiba muncul bersama kelompoknya.
“Kalau apa ya?” Rianty pura-pura bego. Ujung telunjuk kirinya menyentuh keningnya.
“Yang bener Ri!” bentak Maya, tangan kanan Mitha.
“Eh, nggak jadi deh!” Rianty cepat-cepat meninggalkan kelas.
Bagas memanggil Rianty, “Ri… Rianty!”
Rianty tidak mengacuhkannya.
“Terlalu! Ngakunya sahabat Rianty, tapi melihat Rianty dibentak diam saja!” kata Bagas pada tangan kanannya, Mario. Tentu saja, kalimat itu ditujukan pada Mitha.
Mithaa mendengus, “Huh! Bilang aja mau menarik Rianty masuk ke dalam grup konyol itu! Pake menyalahkan aku segala!” ujarnya pada Maya tapi…matanya melirik Bagas.
Bagas menghampiri Mitha. Mitha berkacak pinggang.
“Mau apa?” tantang Mitha galak.
“Mau apa kek,, itu urusanku! Ngapain tanya-tanya!” sentak Bagas.
Wajah Mitha merah padam. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu ketika Rianty tiba-tiba masuk ke kelas dan menarik tangannya.
Mitha menepis tangan Rianty.
“Udah deh! Jangan ribut!” Ujar Rianty.
“Gas! Simpan emosimu! Malu, ‘kan udah gede!” serunya kemudian pada Bagas.
Bagas menurut. Mitha meninggalkan kelas dengan kepala mendongak angkuh. Dibelakangnya Maya mengikuti.
Rianty geleng-geleng kepala melihat kedua sahabatnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar