Selasa, 08 Juni 2010

Big Rival (4)

Chapter 4
Lawan Yang Tangguh


Pagi ini cerah sekali, secerah wajah Pak Burhan yang biasa masam. Warga 2 IPA 1 menjadi heran dibuatnya. Tidak seperti biasanya, kali ini tak terdengar suara bentakan beliau.

“Maaf, pak. Bapak tampaknya gembira sekali hari ini,” ujar Rianty yang tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

Pak Burhan tersenyum pada Rianty.

“Matamu tajam sekali, Rianty.” Ucap beliau memuji. “Yah, bapak memang sedang gembira, karena di kelas ini ada dua anak yang mendapat nilai tertinggi dalam ulangan minggu lalu.”

“Pasti Mitha dan Bagas!” tebak Rianty.

Pak Burhan mengangguk, “Ya, keduanya memperoleh nilai Seratus.”

“Wih! Benar-benar pasangan yang klop!” sorak Rianty. Diliriknya Mitha dan Bagas. Keduanya memandang geram ke arahnya.

“Betul, lalu bagaimana dengan tugasmu, Rianty?” suara Pak Burhan mulai galak. Wajahnya yang mirip Pak Raden disetel angker kembali. Rianty tersenyum masam. Soal-soal itu memang sudah selesai dikerjakan tapi ia tidak menjamin apakah jawabannya benar semua.

“Bagaimana? Sudah selesai?” tanya Pak Burhan tak sabar, ketika melihat Rianty diam saja.

“Sudah pak,” sahut Rianty pelan. Diserahkannya buku bergambar Micky Mouse. Pak Burhan mengambil buku itu dan memeriksanya sebentar.

“Nah, anak- anak. Sekarang kita mulai pelajaran baru,” kata beliau sambil mengembalikan buku itu pada Rianty. Agak heran, Rianty menerimanya. Mata bagusnya melotot tatkala melihat nilai yang tertera di sana. 100! Uf! Padahal sejak tadi jantungnya sudah berdentam-dentam riuh, takut kalau-kalau ada jawaban yang salah. Nggak rugi deh 3 hari 3 malam kutak-kutik rumus-rumus kimia.

Dan, selama 2 jam pelajaran kimia hari ini, Rianty benar-benar memusatkan perhatiannya ke papan tulis. Ya, mata, ya telinga dipasangnya baik-baik . Ternyata kalau diperhatikan, pelajaran kimia itu tidak sulit.

Sebaliknya, Mitha dan Bagas yang biasa tekun dan serius, hari ini tampak gelisah. Masing-masing tidak rela musuhnya memperoleh nilai 100. Mata mereka melotot ke papan tulis, tapi hati dan pikiran seakan-akan mau meledak. Waktu terasa merangkak lambat.

Kriiing…..!! Bel tanda istirahat berbunyi nyaring.

Bagas menghela nafas lega. Mitha merasa baru saja keluar dari gua pengap. Cepat-cepat, dia memasukkan bukunya ke dalam tas. Maya yang duduk sebangku dengannya memandangnya heran. Tapi dia segera menerka sebabnya.

“Si kunyuk itu hebat juga ya?” bisiknya lirih.

“Hm… boleh bangga dia sekarang, tapi nanti…. lihat saja! Siapa yang lebih unggul,” cibir Mitha.

Di kantin. Bagas mengaduk-aduk mie baksonya tanpa selera.

“Lesu amat sih, Gas!” tegur Mario. “Udah deh kan nilainya seri. Nanti juga kamu menang.”

“Heran, cewek sekarang kok pinter-pinter ya?”

“Ya, berkat ibu Kartini,” sahut Mario.

“Tapi bagaimanapun juga aku harus menang. Malu dong! Masa kalah sama cewek,” tegas suara Bagas. Mario tertawa. Ditepuknya bahu Bagas.

“Aku mendukungmu, Gas. Suatu saat dia pasti KO,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar