Chapter 2
Keyakinan Bima
Di Indramayu bis malam antar kota itu berhenti di restoran untuk memberi kesempatan pada semua penumpang untuk makan malam. Bima dan Adelia duduk berhadapan di salah satu sudut, menyantap menu pilihan masing-masing.
“Kenapa nggak ngajak cowokmu untuk menemanimu? Atau jangan-jangan kalian backstreet?”
“Oh, no! Nggak gitu! Dia cowok yang super-sibuk dengan kuliah dan seabreg kegiatan akademisnya. Tapi giliran dia yang punya mau, aku yang harus mengalah.”
“Kasihan. Itu namanya egois, maunya memang sendiri. Kamu pasti tertekan jadi pacarnya.”
“Biasa aja.” Adelia mengaduk-aduk isi piringnya dengan gerakan sendok yang tak beraturan.
“Mungkin sudah saatnya kamu mengalihkan perhatian.”
“Maksudmu?” Adelia menatap cowok tampan di depannya tanpa berkedip.
“Mungkin kamu lebih tepat jika punya cowok yang lebih fresh. Yang masih SMA, yang nggak terlalu sibuk dan... tampan seperti aku.”
Adelia terbelalak dan kemudian melemparkan segumpal tisu yang persis mengenai wajah Bima.
“Kamu memang cowok yang aneh dan bikin aku suka kaget-kaget dengan candamu.”
“Tapi suka, kan?”
“Suka,” jawab Adelia tanpa bisa dibendung. “Tapi... Sony juga baik dan setia.”
“Baik dan setia...? A-ha! Bukankah kamu habis bertengkar dengannya lagi?”
Adelia tersentak. Wajahnya seketika merah padam.
“Sorry, Del. Tadi aku membuntuti kamu pas kamu ke toilet dan aku menguping pembicaraanmu lewat telpon.”
“Kamu jangan suka menguping kemudian berprasangka buruk,” desis Adelia.
“Apa yang kamu pikirkan jika kamu mendengar nada ucapan yang keras dan bentakan?” desak Bima.
“Kadang pacaran memang nggak selalu mulus. Ada aja kerikil-kerikil kecil yang.... Ah, cuma kesalahpahaman kecil yang nggak berarti.” Adelia masih mengaduk-aduk isi piringnya dan kemudian menyingkirkan piring itu. Ia minum air putih segelas penuh.
Setengah jam kemudian bis malam meninggalkan Indramayu. Bima dan Adelia kembali duduk berdampingan, mengabaikan waktu dan jam tidur, untuk bicara. Mereka bicara tentang sekolah, pelajaran ekstra kurikuler yang membosankan, musik, televisi, film Indonesia yang semakin latah dan banyak lagi. Sesekali tawa keras Bima membangunkan seorang ibu tua yang telah tertidur tak jauh dari posisi mereka. Sesekali pula jeritan kaget Adelia mengusik orang-orang di depannya.
“Kenapa kita nggak ketemu setahun yang lalu ketika kamu belum punya Sony? Apakah Solo terlalu luas?”
“Pasti karena kita nggak berjodoh.”
“Kamu yakin bahwa Sony adalah jodoh kamu? Sony yang temperamental itu? Kenapa kamu nggak berpikir bahwa jodohmu baru saja kamu temukan?”
“Ah, jangan kelewatan!”
“Siapa yang tahu, Del? Mungkin aja perjumpaan kita yang nggak kita duga ini adalah sebuah awal...”
“Sadarlah, Bim! Ada Sony yang pagi nanti menjemputku di terminal!”
Tiba-tiba Bima berteriak dan mendorong wajah Adelia ke jendela. “Lihat! Ada bintang jatuh! Mintalah sesuatu, Del. Make a wish!”
Adelia menegaskan pandangannya ke luar jendela, ke langit malam yang pekat di luar sana.
“Tadi aku sempat melihatnya, Del! Sebuah bintang jatuh. Cukup besar dan sinarnya amat tajam.”
“Dan kamu mengucapkan permintaan dalam hati?”
“Ya. Aku ingin suatu hari kita ketemu dan...”
“Lupakanlah, Bim! Kita hanya bertemu dan berteman selama perjalanan ini. Setelah turun dari bis ini di terminal Solo nanti, kita akan saling melupakan. Nggak ketemu, nggak berhubungan. Nggak ada telepon, meski sekedar say hello. Cerita kita berakhir pagi hari nanti.”
“Ya, baiklah. Aku menghormati keinginanmu. Tapi... aku akan menunggu kamu pada tanggal 9 Mei, jam 5 sore di depan Balaikota Solo. Kamu paham tempat itu?”
“Kamu?”
“Ya. Tepat sebulan lagi, aku menunggumu. Jam 5 sore, aku pasti ada di depan Balaikota pada tanggal 9 Mei nanti. Aku siap untuk kecewa jika kamu nggak datang menjumpaiku. Tapi... datanglah jika kamu memang ingin bertemu denganku.”
“Lupakanlah angan-angan gilamu itu, Bim. Kamu akan melakukan hal sia-sia yang hanya akan membuatmu kecewa. Aku memiliki Sony.”
“Kamu akan merindukan aku.”
“Aku akan melupakan kamu karena hari-hariku selalu terisi Sony. Kita cuma punya semalam yang menyenangkan dan harus dilupakan.”
“Andai nggak ada Sony, kamu akan datang menjumpaiku?” Adelia terlihat bimbang dan akhirnya ia benar-benar tidak menjawab.
Bima menghela nafas panjang. “Aku akan menantimu di depan gedung Balaikota. Di bawah pohon yang rindang itu ... 9 Mei pukul 5 sore waktu Indonesia bagian barat.”
Adelia tetap membisu.
Waktu seolah berlari lebih cepat dari lajunya bis malam antar kota. Setidaknya itulah yang Bima rasakan ketika tahu-tahu bis telah memasuki batas kota Solo bagian barat.
Adelia mengambil ponsel-nya dan menelpon seseorang.
“Aku sudah hampir tiba. Kamu udah di terminal, kan?”
Kurang dari setengah menit Adelia sudah mengantongi kembali teleponnya.
“Mana nada-nada rindu itu, Del? Cowok setiamu tetap kesal dan uring-uringan? Menjemputmu dengan setengah hati?”
Adelia tertunduk, menyembunyikan mendung di wajahnya. Untunglah suasana di dalam bis amat temaram. Andai lampu di dalam bis dinyalakan, pastilah Bima mengetahui sepasang mata yang buram itu.
“Aku menunggumu di tempat itu, Del ...” bisik Bima. “Kamu boleh datang atau tidak sama sekali. Aku siap kecewa.”
Pukul 5 pagi. Bis malam antar kota itu akhirnya memasuki terminal Tirtonadi Solo. Bima meraih dan menjabat tangan Adelia sebelum Adelia meraih tas punggungnya yang ada di bawah bangku.
“Sampai ketemu sebulan lagi, Del ...”
“Terima kasih untuk perjalanan yang menyenangkan,” bisik Adelia seolah tak menghiraukan ucapan Bima.
Bima membiarkan Adelia mendahuluinya turun dari atas bis. Bima membuntuti langkahnya dengan jarak yang cukup jauh.
Bima melihat gadis itu melangkah lesu. Rambut panjangnya tergerai dipermainkan oleh angin pagi yang bertiup cukup keras. Seseorang menyeruak dari segerombol orang di tepian sana. Cowok itu berdiri menunggu. Bima yakin, cowok itu adalah Sony. Adelia menghampiri cowok itu, menyentuh lengannya dengan ragu. Keduanya telah berdiri berhadapan dan kini saling bicara. Bima terus melangkah dan sebentar kemudian melewati keduanya. Bima tak ingin menoleh apalagi menyapa Adelia. Ia terus melangkah dan membisu, meski hatinya amat ingin meneriakkan nama Adelia.
Serangkaian kalimat terdengar lapat-lapat di telinga Bima.
“Lain kali kamu harus bicara, Del! Emangnya kamu ini siapa? Wonder Woman, hah?!”
Bima menoleh dan melihat Adelia tengah ditunjuk-tunjuk wajahnya oleh Sony. Adelia hanya menunduk dalam-dalam.
Bima mempercepat langkahnya, keluar dari terminal dan menghampiri taksi. Ia benar-benar tak ingin menoleh lagi.