Chapter 2
Perasaan Yasmine
Sudah jam tujuh kurang sepuluh menit, Indy belum datang juga. Yasmine duduk gelisah di bangkunya. Sebentar-sebentar ia melongokkan kepalanya ke jendela yang terletak di samping tempat duduknya. Tidak biasanya Indy terlambat. Apalagi ini hari Senin, harinya upacara bendera. Sebagai anggota pasukan pengibar bendera, seharusnya Indy datang agak pagi. Tapi, bukan karena itu Yasmine menunggu Indy. Dia hanya ingin cepat-cepat menceritakan kejadian malam minggunya.
Yasmine melirik jam di pergelangan tangan kirinya. 5 menit lagi bel berbunyi. Anak-anak sudah berhamburan ke lapangan siap mengikuti upacara. Bahkan, anak-anak kelas 3 IPA 1 yang terkenal tertib sudah mengatur barisan. Ah, Yasmine merasa kecewa. Percuma saja dia menunggu Indy. Toh, tidak ada waktu lagi untuk bercerita.
Di lapangan, mereka harus tekun mengikuti jalannya upacara. Payahnya, pelajaran pertama sesudah upacara adalah Matematika yang gurunya terkenal killer. Nah,mana ada kesempatan ngobrol? Padahal, Yasmine sudah tidak sabar ingin cerita.
Tepat jam 7, saat anak-anak sudah berbaris. Indy datang dengan nafas terengah-engah. Untung upacara baru akan dimulai. Tergesa, gadis itu menggabungkan diri dengan kelompok Pengibar bendera. Seorang gadis yang sudah siap menggantikannya kembali masuk ke barisannya.
Di barisannya, Yasmine menghela nafas lega. Dia sudah takut saja, Indy tidak hadir.
Upacara pagi itu terasa berlangsung berjam-jam. Pikiran Yasmine tidak terpusat pada jalannya upacara. Kata-kata Dewa terus mengiang di telinganya. O, betapa ingin dia mendengar komentar Indy bila gadis itu tahu apa yang diucapkan Dewa. Indy pasti terkejut. Matanya yang bulat pasti terbelalak. Ah, Yasmine tersenyum sendiri. Untung tidak ada yang melihat. Kalau tidak, mungkin dia disangka tidak waras.
“Aduh, kukira kamu nggak datang.” Yasmine menghampiri Indy setelah upacara selesai.
“Hm, biasanya kalau aku terlambat, kamu nggak ngomong begitu. Kok, sekarang?” Dengan curiga, Indy menatap Yasmine. “Memangnya ada apa sih?”
“Ada….,” Yasmine tidak meneruskan ucapannya. “Istirahat nanti aku ceritain deh. Yuk, masuk ke kelas. Ntar si killer ngamuk lho.” Ditariknya tangan Indy.
Dua jam dijejali aneka perhitungan rumit membuat kepala Yasmine pening. Terlebih lagi bila ingat kejadian malam minggu. Uh, rasanya mau pecah! Yasmine melirik jam tangannya. 1 menit lagi istirahat.
Teng…teng..teng..! Lonceng berbunyi tanda istirahat tiba. Barengan, Yasmine dan Indy menarik nafas lega.
“Fiuh! Gila tuh si killer!” Indy melap keningnya yang dihiasi butiran keringat dengan tissue.
“Ngasih soal nggak tanggung-tanggung. Emangnya kita Einstein,” Yasmine menyambung. “Ke kantin yok!” Ajaknya, menggamit lengan Indy.
“Wah, ada kabar seru ya? Kok baru istirahat pertama sudah ngajak ke kantin.” Indy penasaran.
“Bukan seru lagi, tapi super seru!” Yasmine memasukkan dompet mungilnya ke saku rok abu-abunya.
Di kantin, Yasmine memesan es jeruk 2 gelas.
“Waktu malam Minggu Dewa ke rumahku,“ Kata Yasmine setelah pesanan mereka datang.
“Enggak heran. Dari dulu dia naksir kamu kan?” Indy mengaduk-aduk esnya.
“Tapi kamu pasti heran kalau malam itu juga dia….,” Yasmine menggantung kalimatnya. Dia menunggu reaksi Indy.
“Dia kenapa?” Desak Indy, semakin penasaran.
Yasmine tersenyum. “Dia bilang, mau nggak kamu jadi pacarku?”
“Wow, berani juga tuh anak!” Setengah melongo Indy berseru.”Terus, apa jawaban kamu, Yas?”
“Beri aku waktu.” Sahut Yasmine pendek.
Indy meneguk esnya yang sudah mencair. Ditatapnya Yasmine lama-lama.
“He, kok menatapku terus?” Yasmine mengibaskan tangannya di depan wajah Indy.
“Yas, gimana perasaanmu terhadap Dewa?” Pelan suara Indy seolah takut ada yang mendengar.
“Perasaanku? Mm….gimana ya?” Yasmine mengerutkan kening “Akh, biasa aja tuh.”
“Kalau biasa aja, kenapa kamu bilang ‘beri aku waktu’? Tolak aja. Kan beres!”
Yasmine diam. Benar juga apa yang dikatakan INdy. Toh, sebenarnya dia tidak menyukai Dewa. Tapi, Dewa lumayan juga kok. Dia tampan, baik, walau agak urakan.
“Aku rasa, aku menyukainya.” Ujar Yasmine kemudian. “Sedikit, tapi lambat laun kan jadi bukit.”
“Gila! Kamu pikir, cinta itu mainan? Kalau kamu nggak mencintainya, ya…jangan dipaksa.”
Sekali lagi Yasmine terdiam. Dia jadi bingung. Kalau dia menolak Dewa, berarti malam minggunya akan tetap sepi. Atau…. menerimanya….akh…..apa betul dia bisa pelan-pelan belajar mencintai Dewa?
“Pikir baik-baik, Yas. Jangan memainkan perasaan orang lain.“ Indy menasihati. Yasmine manggut-manggut. Makin bingung deh.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar