Ditolak Chacha
Chacha menerima catatan ekonominya yang kemarin kupinjam tanpa curiga.
”Loh, kok’ cepet banget?” Tanya Chacha.
”Gue kan nggak nyalin pake tangan, tapi pake fotocopy.” Sahutku berusaha menenangkan debar-debar di dada.
Memang sudah seminggu ini debar-debar di dadaku semakin meningkat frekuensinya. Kian hari aku semakin menyukai Chacha. Dari wajah, penampilan dan kepribadiannya. Semua yang ada padanya membuatku resah gelisah bagaikan deburan ombak yang bergelora.
Kemarin malam, aku tidak dapat lagi menahan gelora cinta yang berdebur indah di hati. Dengan gemetar, aku menulis... I LOVE YOU, CHACHA ... di sehelai kertas. Hanya itu yang bisa kutulis. Aku tidak bisa berpikir lagi untuk mencari kata-kata yang lebih romantis.
Sekarang kertas itu ada di halamam tengah catatan Ekonomi Chacha. Semoga dia dapat melihatnya. Dan semoga aku nggak bertepuk sebelah tangan.
Ooops! Aku tersentak.
Kertas itu ditemui Chacha lebih cepat dari yang kuduga. Sewaktu ia mengipasi dirinya yang gerah, kertas bandel itu nyelonong keluar dari persembunyiannya. Aku berusaha mengambilnya. Tapi... Terlambat! Chacha lebih cepat.
Hanya sedetik Chacha menbacanya lalu menatapku. Aku balas menatapnya. Aneh! Tidak ada rona merah yang menjalar di pipinya seperti yang seringkali kubaca di majalah-majalah tentang seorang cewek yang menerima kata cinta dari seorang cowok. Apa karena Chacha nggak cinta sama aku? Semoga dugaanku meleset.
”Lo?” Chacha berkata pelan.
” Ya, gue cin...”
”Jangan diterusin.” Potong Chacha. Dia menghela nafas. Dipandanginya langit-langit rumah, lalu memandangku sangat serius.
”Gue mau cerita sesuatu, lo mau ngedengerin kan?” Tanya Chacha padaku dan aku pun mengangguk.
”Gue ini Yatim Piatu, Yan. Kedua orang tua gue meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas ketika gue masih bayi. Sejak itu, gue diasuh dan dirawat oleh Oom Reyhan, adik Papa gue. Oom Reyhan dan Tante Aurel-Istrinya sangat menyayangi gue. Mereka mengirim gue ke Jakarta untuk menuntut ilmu. Gue diberi tempat kost yang menyenangkan, diberikan semua yang gue perluin. Begitu besarnya perhatian mereka sama gue. Dan gue berjanji bakalan ngebales semua kebaikan mereka. So, gue bertekad untuk belajar dengan rajin. Gue menolak semua cinta dari temen-temen cowok karena gue... gue nggak pengen sekolah gue terganggu. Gue harap... lo bisa ngertiin alasan gue, Yan.”
”Tapi... apa dalam hati kecil lo... lo cin...”
”Ryan, saat ini yang ada dalam benak gue Cuma satu. Menuntut ilmu setinggi mungkin. Gue nggak pengen diganggu sama pertanyaan kaya’ gitu.” Chacha berkata tegas.
”Jawab yang jujur, Cha! Lo jangan pura-pura nggak suka sama gue.” Aku mulai emosi. Entah darimana datangnya, aku merasa diremehkan oleh penolakannya. Aku merasa dadaku sesak menahan kecewa.
”Gue nggak lagi pura-pura. Dan... Lo jangan paksa gue buat nerima cinta lo.” Bentak Chacha.
Aku terdiam. Kesadaran menyentakku.
”Maafin gue, Cha. Gue... gue terlalu kasar tadi sama lo.” Suaraku tiba-tiba menjadi serak.
”Nggak apa-apa.” Chacha tersenyum tipis.
”Gue tahu, emang nggak enak rasanya ditolak.” Kata Chacha lembut.
Lalu kami sama-sama terdiam.
”Chacha, apa sama sekali nggak ada harapan buat gue? Gue sayang sam lo, Cha.” Kataku memecah kebisuan.
”Ryan, kalo’ lo mau bersabar. Mungkin nanti, kalo saatnya dateng gue bisa ngasih jawaban yang menyenangkan hati lo. Tapi... gue nggak bisa janji. Karena saat ini, gue pengen konsentrasi penuh sama sama sekolah.”
Aku termangu mendengarnya.
”Ya Cha. Gue bakalan coba. Gue bakalan coba buat nungguin lo.” Batinku.
Langit biru tua kala malam itu aku meninggalkan rumah kost Chacha. Samar-samar ada satu dua bintang berkerlip indah. Disanalah... di langit maha luas, ada bintang harapanku tentang sepotong hati yang entah kapan bisa kuraih.
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar