Kamis, 17 Desember 2009

Mendung Di Suatu Senja (2)

Chapter 2
Keinginan Helen


Helen datang lagi. Wajah ovalnya tampak muram. Tapi tidak semuram kemarin. Matanya juga tidak berkaca-kaca ketika mengungkapkan cerita dukanya.

”Mereka akhirnya bercerai.” Kata Helen tanpa ekspresi.

”Kak Tasya sama gue ikut Mama. Bang Indra sama Bang Virgo ikut Papa.”
Aku menjerit kecil. Ah, Helen... Kenapa nasibmu harus seperti ini? Betapa teganya orang tuamu. Betapa...

”Lo kaget, Beb?” Tanya Helen. Aku mengangguk.

”Lo tinggal dimana sekarang?” Tanyaku sambil dalam hati memuji ketabahan Helen. Hebat sekali, dia bisa mengendalikan air matanya. Aku sendiri tak mampu membayangkan bila itu terjadi pada diriku.

”Di rumah yang dulu juga. Papa kasih rumah itu buat gue, Mama sama Kak Tasya.”

”Lho, Papa sama Abang lo yang lain tinggal dimana?”

”Papa masih punya rumah lain di Bintaro.”

”Oh...” Aku manggut-manggut.

”Sudah?”

”Apanya yang sudah?”

”Pertanyaan lo?”

Aku tertawa. ”Ya sudah, sudah jelas. Jelas banget malah.”

”Beb...” Tiba-tiba Helen menyentuh lenganku.

”Gue pengen punya seseorang yang... memperhatikan gue, menyayangi gue. Gue kesepian, Beb. Gue butuh kasih sayang...” Helen menunduk.

”Betapa bahagianya, kalo’ aja ada orang yang mencintai gue. Gue butuh seorang sahabat, Beb.”

”Helen, gue kan sahabat lo?” Kusentuh lengan Helen.

”Tapi kita kan nggak selalu sama-sama. Rumah sama sekolah kita aja beda. Padahal, gue pengen punya sahabat yang selalu ada buat gue dimana aja gue berada.”

Aku terdiam. Helen benar. Setelah lulus SMP, kami tidak lagi menuntut ilmu di sekolah yang sama. Karena keluarga Helen pindah rumah maka mau tidak mau sekolah Helen pun ikut pindah. Otomatis, kami tidak selalu dapat bersama seperti dulu. Walaupun sekarang zaman sudah canggih, rasanya aneh saja kalau hanya berkomunikasi dengan HP. Lebih menyenangkan jika bisa bertatap muka dan berbagi cerita. Dengan jarak rumah kami yang cukup jauh, jadi tidak memungkinkan untuk kami saling mengunjungi setiap hari. Hhh, betapa ingin aku mengulangi kembali pada masa-masa kami hampir selalu bersama. Betapa ingin kupeluk separuh lara Helen. Tapi keinginan itu hanya terpendam di hati tanpa pernah terwujud. Aku tak pernah mampu berbuat lebih banyak untuk menghalau duka Helen, kecuali dengan menghiburnya. Hanya itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar