Rabu, 30 Desember 2009

Pastikan Dia Jangan Menunggu (5)

Chapter 5
Air Mataku Menitik


“Ada telepon buat Beby nggak Ma?”

“Nggak ada tuh.” Mama mendongak, menatap Beby dengan alis berkerut.

“Kamu nunggu telepon dari siapa sih, Beb? Penting ya sampai nanyain tiap hari?”
Beby tersenyum pahit. Menggeleng perlahan. Jadi Chacha benar. Dia memang tidak berarti apa pun untuk Virgo.

Sudah lebih dari sebulan Beby tidak lagi menemui Virgo. Terakhir adalah saat Beby mengantarkan amplop titipan Ryan. Itu pun Virgo tidak ada di rumah. Dia hanya ditemani Mama Virgo. Setelah itu Beby menjauh. Mencoba menahan diri. Dia harus tahu, apa memang ada yang bisa diharapkan.

Tapi ternyata tidak! Sama sekali tidak!

Virgo tidak mencarinya. Tidak menelepon. Tidak datang ke rumah.

Mungkin dia memang harus melupakan. Tidak usah mengharapkannya. Tapi bisakah? Sebulan ini saja Beby sudah merasa kehilangan.

“Oya, Beb. Tadi Chacha kesini. Katanya, mau pinjam diktat organik buat kuis besok. Mama suruh cari sendiri di kamarmu. Tapi katanya nggak ada.”

Tertinggal di tempat Virgo saat Beby memaksa cowok itu mengajarkannya sebelum ujian kemarin. Dan dia lupa mengambilnya kembali untuk dipinjam Chacha besok.

“Beby pergi dulu, Ma.”

“Lho, baru pulang kok mau pergi lagi?”

“Ambil diktat di rumah temen, Ma. Kasihan Chacha, besok dia perlu banget.”

Sekalian mengambil semua barangnya yang tertinggal di paviliun Virgo.



***



“Bang Virgonya ada, Mbok?” Rumah besar itu sepi saat Beby tiba di sana. Cuma Mbok Inah yang menyambutnya.

“Ada di paviliun, Non. Biasa, sedang melukis. Masuk saja ke dalam.”

Beby melangkah masuk. Menyusuri taman belakang yang luas sebelum sampai ke paviliun.

“Bang Virgo!”

Beby tertegun di ambang pintu. Batal melangkahkan kaki untuk masuk. Merasakan seluruh dunia berputar terbalik. Dan dia terjebak dalam pusaran tanpa henti.

Virgo menoleh. Mendapatkan Beby tertegun di ambang pintu. Dia bisa membaca seluruhnya. Keterkejutan. Kesakitan. Semua di mata itu. Perlahan dilepaskannya pelukannya pada Tasya.

“Beby.”

“Sorry, aku nggak tahu kalau Bang Virgo ada tamu.” Beby mencoba tersenyum.

“Nggak pa-pa kok.” Virgo menghampiri. Tenang seperti biasa.

“Oya, kenalin. Ini Tasya. Sya, ini Beby.”

Beby melebarkan senyumnya. “Sorry ganggu. Aku Cuma mau ambil barang-barangku yang ketinggalan.”

“Kececeran dimana-mana tuh.”

“Nggak pa-pa, nggak penting kok. Cuma diktat itu aja yang mendesak. Bisa tolong ambilin nggak, Bang?”

Virgo meraih diktat organik Beby di atas lemari.

“Makasih! Aku pulang dulu, Bang.”

Beby berbalik cepat. Melangkah cepat melintasi taman belakang rumah Virgo.

“Beby!” Kejar Virgo.

“Katanya mau ngambil barang-barang yang lain?”

“Nggak pa-pa! Nggak penting-penting banget kok. Bisa tolong dikumpuin dulu nggak, Bang? Nanti aku minta tolong Chacha buat mampir ngambil kesini. Dia suka lewat sini kalau pulang kuliah.”

“Kenapa nggak kamu ambil sendiri aja?”

“Aku sibuk. Lagian udah hampir ujian semester. Aku kan harus belajar keras.”

“Nggak pengen aku ajarin kaya’ biasanya?”

“Nggak usah, Nanti ganggu Bang Virgo. Lagian, aku harus mandiri kan?” Beby tersenyum lagi. Menyamarkan semua rasa yang sempat terlihat Virgo tadi.

“Aku pulang, Bang.”

“Kuantar, Beb.”

Hampir setahun berada di dekat Virgo, menghampirinya selalu, Virgo tidak pernah menawarinya mengantar pulang. Itu pun setelah seharian Beby menemaninya di paviliun. Atau membereskan paviliun yang seperti kapal pecah. Virgo bahkan tidak pernah mengantar sampai ke depan rumah, tempat Beby memarkirkan mobilnya.

Lalu kenapa baru sekarang, setelah segalanya terlambat?

“Aku bawa mobil.”

“Aku antar sampai depan, ya?”

“Nggak usah. Bang Virgo kan ada tamu. Tuh udah ditungguin.”

“Hati-hati, Beb.”

Beby mengangguk. Virgo bahkan tidak pernah berpesan seperti itu.

Di dalam mobil, airmata Beby mengalir deras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar