Chapter 7
Pastikan Dia Jangan Menunggu
“Seharusnya Bang Virgo nggak perlu repot-repot kaya’ gini. Sampai nganterin ke rumah segala. Aku kan udah minta tolong sama Chacha.”
“Chacha memang datang ke rumah kemarin. Tapi aku bilang ke dia, kalau aku mau nganter sendiri kesini.”
“Memangnya ada yang penting?” Beby duduk di hadapan Virgo. Menatapnya.
“Kalau nggak ada yang penting, emangnya nggak boleh nemuin kamu?”
“Bukannya gitu. Biasanya Bang Virgo kan....”
”Nggak pernah cariin kamu, apa lagi sampai ke rumah?” potong Virgo tersenyum.
“Sorry Beb, kaya’nya selama ini aku terlalu sibuk sama diriku sendiri, ya?”
“Nggak pa-pa. Melukis kan bukan hal yang jelek.”
“Bukan itu. Maksudku....”
Beby menunduk. “Aku ngerti kok.”
”Seharusnya aku bisa lebih memahami kamu, Beb.”
“Nggak perlu. Pahami aja keinginan Bang Virgo.” Beby menelan ludah pahit.
“Sudah terima amplop coklat yang kutitipin sama Mamanya Bang Virgo?”
“Iya, sudah.”
“Ryan bilang, itu panggilan kerja buat Bang Virgo ya?”
Virgo mengangguk. “Pertambangan Minyak di Batam.”
“Bang Virgo terima?”
”Menurut kamu gimana?”
“Aku nggak punya hak buat ngasih pendapat.” Beby menggeleng.
“Kenapa nggak tanya sama Kak Tasya aja?”
“Tasya?” Virgo memajukan tubuhnya.
“Karena kamu ngeliat aku meluk dia?”
“Sebenernya bukan cuma itu.”
“Apa lagi?”
“Aku nggak pengen ngebahas itu.”
“Kalau kamu belum tahu pasti gimana aku sama Tasya. Kenapa langsung memutuskan?”
“Itu masalah pribadi Bang Virgo. Kenapa aku harus tahu? Kenapa harus ngebahas masalah itu sama aku?” elak Beby.
“Karena kamu ada hubungannya dengan masalah ini.”
“Aku?” Beby tertawa. Pahit.
“Aku kan bukan apa-apanya Bang Virgo.”
“Kalau kamu bukan apa-apa, dia nggak akan cemburu. Tasya bukan tipe orang yang bisa menyerah begitu aja sebelum bertanding.”
“Nggak perlu ada pertandingan. Kan memang sudah ada pemenangnya.”
“Kamu!” Virgo mengultimatum.
“Kamulah pemenangnya!”
“Udah cukup, aku nggak mau ngebahas ini lagi. Bang Virgo ngaco!” Beby bangkit.
Bagaimana dia bisa tahan duduk berhadapan begitu dan membiarkan Virgo mempermainkan perasaannya, mengobrak-abriknya?
“Duduk, Beb. Aku belum selesai.”
“Apa lagi?!”
“Aku diwisuda besok.”
“Terus?”
“Kamu mau ngedampingi aku, kan?”
“Kenapa nggak minta Kak Tasya aja, buat ngedampingi Bang Virgo?”
“Tasya lagi, Tasya lagi!” Virgo menggeleng kesal.
“Aku minta kamu yang nemenin! Bukan Tasya!”
“Apa sih yang Bang Virgo mau sebenernya?”
“Waktu Tasya minta balikan, aku nggak tahu kenapa kaya’nya ada yang lain dihatiku Beb. Di hatiku sudah nggak ada namanya lagi. Di hatiku cuma ada kamu....”
Beby menggeleng.
“Cukup, Bang Virgo bikin aku bingung. Aku kan bukan siapa-siapanya Bang Virgo…”
“Karena aku nggak pernah ngebalas semua yang kamu berikan?”
“Memang nggak harus, kan?”
“Beb, waktu kamu ke paviliun itu....”
“Aku nggak mau ngedenger penjelasan Bang Virgo tentang alasan, kenapa Bang Virgo meluk Kak Tasya waktu itu. Itu urusan Bang Virgo.”
“Urusanmu juga.” Virgo menatap tajam.
“Aku perlu menanyakan ini, Beb. Sebelum kuputuskan ke Batam atau nggak.”
“Bang Virgo mau ke Batam?” Beby menatap Virgo tanpa menyadari matanya menyimpan kepanikan.
“Tergantung jawabanmu.”
“Aku?”
“Iya, dan bukannya Tasya! Please, jangan ngomongin dia lagi. Kita sedang mendiskualifikasikan dia.” Virgo menarik napas sejenak.
“Kamu mau aku pergi ke Batam dan terikat kontrak yang memisahkan kita berdua untuk waktu yang cukup lama?”
Beby tidak tahu harus menjawab apa. Kalau menuruti kata hatinya, maka dia ingin menjawab tidak.
“Bang Virgo mau pergi?”
“Buat aku, kerja di manapun sama aja kalau nggak ada kamu. Tapi kalau ada kamu, aku pilih kerja di sini. Lagipula sudah ada perusahaan lagi yang menawariku disini. Kalau kamu mau aku tetap disini, minta aku jangan pergi Beb!”
Beby mendongak. Menatap hitamnya mata Virgo yang bagus.
“Aku nggak mau Bang Virgo pergi,” ucapnya pelan.
“Aku....”
Virgo menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Aku nggak akan pergi,” jawabnya pasti.
“Aku nggak akan pergi, Beb! Aku akan selalu ada buat kamu!”
Pastikan Dia Jangan Menunggu
“Seharusnya Bang Virgo nggak perlu repot-repot kaya’ gini. Sampai nganterin ke rumah segala. Aku kan udah minta tolong sama Chacha.”
“Chacha memang datang ke rumah kemarin. Tapi aku bilang ke dia, kalau aku mau nganter sendiri kesini.”
“Memangnya ada yang penting?” Beby duduk di hadapan Virgo. Menatapnya.
“Kalau nggak ada yang penting, emangnya nggak boleh nemuin kamu?”
“Bukannya gitu. Biasanya Bang Virgo kan....”
”Nggak pernah cariin kamu, apa lagi sampai ke rumah?” potong Virgo tersenyum.
“Sorry Beb, kaya’nya selama ini aku terlalu sibuk sama diriku sendiri, ya?”
“Nggak pa-pa. Melukis kan bukan hal yang jelek.”
“Bukan itu. Maksudku....”
Beby menunduk. “Aku ngerti kok.”
”Seharusnya aku bisa lebih memahami kamu, Beb.”
“Nggak perlu. Pahami aja keinginan Bang Virgo.” Beby menelan ludah pahit.
“Sudah terima amplop coklat yang kutitipin sama Mamanya Bang Virgo?”
“Iya, sudah.”
“Ryan bilang, itu panggilan kerja buat Bang Virgo ya?”
Virgo mengangguk. “Pertambangan Minyak di Batam.”
“Bang Virgo terima?”
”Menurut kamu gimana?”
“Aku nggak punya hak buat ngasih pendapat.” Beby menggeleng.
“Kenapa nggak tanya sama Kak Tasya aja?”
“Tasya?” Virgo memajukan tubuhnya.
“Karena kamu ngeliat aku meluk dia?”
“Sebenernya bukan cuma itu.”
“Apa lagi?”
“Aku nggak pengen ngebahas itu.”
“Kalau kamu belum tahu pasti gimana aku sama Tasya. Kenapa langsung memutuskan?”
“Itu masalah pribadi Bang Virgo. Kenapa aku harus tahu? Kenapa harus ngebahas masalah itu sama aku?” elak Beby.
“Karena kamu ada hubungannya dengan masalah ini.”
“Aku?” Beby tertawa. Pahit.
“Aku kan bukan apa-apanya Bang Virgo.”
“Kalau kamu bukan apa-apa, dia nggak akan cemburu. Tasya bukan tipe orang yang bisa menyerah begitu aja sebelum bertanding.”
“Nggak perlu ada pertandingan. Kan memang sudah ada pemenangnya.”
“Kamu!” Virgo mengultimatum.
“Kamulah pemenangnya!”
“Udah cukup, aku nggak mau ngebahas ini lagi. Bang Virgo ngaco!” Beby bangkit.
Bagaimana dia bisa tahan duduk berhadapan begitu dan membiarkan Virgo mempermainkan perasaannya, mengobrak-abriknya?
“Duduk, Beb. Aku belum selesai.”
“Apa lagi?!”
“Aku diwisuda besok.”
“Terus?”
“Kamu mau ngedampingi aku, kan?”
“Kenapa nggak minta Kak Tasya aja, buat ngedampingi Bang Virgo?”
“Tasya lagi, Tasya lagi!” Virgo menggeleng kesal.
“Aku minta kamu yang nemenin! Bukan Tasya!”
“Apa sih yang Bang Virgo mau sebenernya?”
“Waktu Tasya minta balikan, aku nggak tahu kenapa kaya’nya ada yang lain dihatiku Beb. Di hatiku sudah nggak ada namanya lagi. Di hatiku cuma ada kamu....”
Beby menggeleng.
“Cukup, Bang Virgo bikin aku bingung. Aku kan bukan siapa-siapanya Bang Virgo…”
“Karena aku nggak pernah ngebalas semua yang kamu berikan?”
“Memang nggak harus, kan?”
“Beb, waktu kamu ke paviliun itu....”
“Aku nggak mau ngedenger penjelasan Bang Virgo tentang alasan, kenapa Bang Virgo meluk Kak Tasya waktu itu. Itu urusan Bang Virgo.”
“Urusanmu juga.” Virgo menatap tajam.
“Aku perlu menanyakan ini, Beb. Sebelum kuputuskan ke Batam atau nggak.”
“Bang Virgo mau ke Batam?” Beby menatap Virgo tanpa menyadari matanya menyimpan kepanikan.
“Tergantung jawabanmu.”
“Aku?”
“Iya, dan bukannya Tasya! Please, jangan ngomongin dia lagi. Kita sedang mendiskualifikasikan dia.” Virgo menarik napas sejenak.
“Kamu mau aku pergi ke Batam dan terikat kontrak yang memisahkan kita berdua untuk waktu yang cukup lama?”
Beby tidak tahu harus menjawab apa. Kalau menuruti kata hatinya, maka dia ingin menjawab tidak.
“Bang Virgo mau pergi?”
“Buat aku, kerja di manapun sama aja kalau nggak ada kamu. Tapi kalau ada kamu, aku pilih kerja di sini. Lagipula sudah ada perusahaan lagi yang menawariku disini. Kalau kamu mau aku tetap disini, minta aku jangan pergi Beb!”
Beby mendongak. Menatap hitamnya mata Virgo yang bagus.
“Aku nggak mau Bang Virgo pergi,” ucapnya pelan.
“Aku....”
Virgo menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Aku nggak akan pergi,” jawabnya pasti.
“Aku nggak akan pergi, Beb! Aku akan selalu ada buat kamu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar