Chapter 1
Kisah Hidup Helen
Seraut wajah Oval nongol dari balik pintu. Helen. Aku melempar senyum sembari meletakkan pulpen ke meja kecil di samping tempat tidurku.
”Mumet lagi?” Tanyaku menghampirinya. Helen tidak menjawab. Didorongnya daun pintu hingga terbuka lebar, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Keruh sekali wajahnya. Bibirnya yang tipis terkatup rapat. Sepasang mata beningnya dengan alis hitam lebat nampak muram. Entah problem apa lagi yang mengusiknya.
”Ada apa non? Ditanya kok, diem?” Aku duduk di sampingnya. Hening. Helen menunduk. Ada yang bergulir di kedua belah pipinya. Aku menghapus mutiara cair itu.
”Beban lo nggak akan berkurang, kalo’ lo cuma nangis doang.” Kataku.
”Ayo, ceritain aja. Gue siap buat ngedengerin lo.” Lanjutku.
Kembali hening, kembali ada yang bergulir pelan-pelan di pipi mulusnya tapi makin lama makin deras. Tangis tanpa suara, tanpa isak. Itu memang ciri khas Helen. Atau, mungkin ia sudah tak mampu lagi terisak. Sudah jenuh karena dukanya seperti tak kunjung reda, kendati hidup dalam alam kemewahan. Kedua orang tuanya yang tak pernah rukun, kakak-kakaknya yang sibuk berhura-hura senantiasa menancapkan kuku-kuku kepedihan di lubuk hatinya. Kisah klise memang, tapi itulah realita. Itulah hidup yang harus dijalani Helen.
Dan, ia tak mungkin menolaknya kecuali berusaha merubahnya. Tetapi mungkinkah itu? Apa yang bisa dilakukannya? Si bungsu yang tak pernah mencicipi manisnya kasih sayang orang tua. Si bungsu yang tak dipedulikan kakak-kakaknya. Sendirian sibuk berjuang untuk tetap berjalan pada jalur yang lurus agar tidak terperosok dalam lubang gelap yang kerap menggerogoti remaja-remaja dari keluarga broken home. Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan Helen.
Dan, bila segala duka tak sanggup lagi ia pendam, dicurahkannya padaku, sahabat satu-satunya yang dipercaya. Setelah tumpah ruah kerikil yang mengganjal hatinya, ia pun merasa lega... tenang. Selalu begitu. Sore ini, kehadirannya pasti seperti hari-hari lalu. Bawa cerita sedih untuk kusimak baik-baik.
”Rasanya gue pengen mati.” Kata pembukaan yang mengejutkan, Memecah kebisuan. Aku diam, memasang telinga lebar-lebar.
”Gue udah nggak tahan lagi.” Helen menyapu pipinya yang basah dengan tissue.
”Mereka mau bercerai. Mereka sudah gila...” Lirih suaranya hampir tak terdengar.
”Semalam Papa gue pulang pagi lagi.” Lanjut Helen masih dengan suara yang lirih.
”Mama gue yang lagi tidur, kebangun sama suara pintu pagar yang dibuka Papa. Mama gue negur Papa dengan kasar.” Helen mulai dapat berkata lancar. Volume suaranya kini agak keras.
”Awalnya Papa pura-pura nggak denger tapi Mama ngomel terus. Papa jadi kesel terus nampar Mama dan...” Kembali Helen berkata lirih.
”Mama minta cerai. Dan... Papa juga setuju. Beb, kenapa sih gue harus dilahirin sama orang tua kaya’ mereka? Orang tua yang nggak pernah mau ngertiin kebutuhan anaknya. Orang tua egois yang Cuma bisa nunjukin pertengkaran demi pertengkaran di hadapan anak-anaknya.” Sudut mata Helen mulai basah lagi, mencurahkan aliran bening untuk yang ke sekian kalinya.
”Jangan ngomong kaya’ gitu dong, Len.” Kataku sambil membelai rambut hitamnya.
”Sebelum kita lahir, Tuhan sudah nentuin siapa yang bakalan jadi orang tua kita. Jadi, kita harus menerima mereka apa adanya. Bagaimanapun juga mereka tetap orang tua lo, Len.” Lanjutku.
”Tapi mereka egois, Beb!” Sela Helen dengan suara keras.
”Mereka nggak pernah mencintai gue!” Teriaknya lagi.
”Siapa bilang?” Sergahku cepat.
”Semua orang tua pasti mencintai anaknya. Gue kan udah bilang itu berulang kali.” Lanjutku.
”Kalo’ mereka mencintai gue, kenapa harus bercerai?” Helen menatapku sedih.
”Belum cukup mereka nyiksa batin gue? 17 tahun hidup tanpa kasih sayang dan perhatian, Sekarang mereka malah berpisah Cuma buat memuaskan amarah. Tanpa peduliin kita, anak-anaknya. Hah! Orang tua macam apa itu?” Kepala mungil Helen merunduk.
Aku menghela nafas panjang. Tak tahu apa yang harus kukatakan untuk meringankan beban Helen. Rasanya sudah terlalu sering aku menasehatinya, menghiburnya dan 1001 ’me’ lainnya. Tapi problem yang dihadapinya memang pelik. Papa dan Mamanya adalah korban kawin paksa. Mereka dijodohkan orang tua masing-masing. Padahal, mereka sudah memiliki pujaan hati. Tetapi, rasa cinta dan hormat pada orang tua, memaksa mereka untuk menikah dengan pilihan orang tua. Akibatnya, sepanjang usia perkawinan mereka selalu diwarnai pertengkaran. Begitu cerita Helen padaku. Helen tahu semua kisah orang tuanya dari diary mamanya yang tak sengaja ditemukannya.
”Helen, lo harus tabah ya?” Kataku kemudian.
”Anggap aja semua itu kerikil kecil yang menghalangi jalan kehidupan lo. Lanjutku.
”Gue capek, Beb.” Jawab Helen pelan. Disandarkannya kepalanya di bahuku. Aku membelai rambutnya.
”Untung ada lo. Kalo’ nggak, mungkin gue udah minum racun kali Beb.”
”Jangan Len...” Aku mendorong tubuh Helen pelan.
”Gue bakalan benci lo seumur hidup gue, kalo’ lo ngelakuin itu.”
”Gue nggak sebego itu kali, Beb.” Jawab Helen sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum lega.
”Syukur deh!” Kataku.
”Tapi, ngomong-ngomong udah jam 8 malam nih. Lo belum makan kan, Len? Makan bareng gue aja, yuk!”
”Kebetulan, gue udah laper banget nih.” Helen menepuk perutnya. Mendung di wajahnya sirna entah kemana. Dia memang sangat senang jika kuajak makan bareng dirumah karena di rumahnya suasana makan bersama tidak pernah terjadi. Ah, Seandainya mendung itu benar-benar berlalu... Tapi kapan???
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar