Chapter 3
Pernyataan Cinta
Waktu sebulan cepat berlalu. Kulalui sebulan itu hampir senantiasa bersama Rendy. Kalau aku ke sekolah, dia ikut bersamaku. Ke kantin, ke perpustakaan, ke laboratorium, ke setiap sudut sekolah. Jarang sekali aku berada sendirian tanpanya.
Baik pagi, siang, sore ataupun malam Rendy selalu di dekatku. Ia menemaniku belajar, membuat PR, bahkan kalau aku pergi les piano, Rendy ikut juga. Seolah-olah sebulan ini adalah kado perpisahan darinya untukku.
Virgo masih mencoba mendekatiku. Sekarang hampir tiap hari dia titip salam lewat Tasya atau lewat Chacha, tapi dia tak pernah kugubris. Aku tidak memperdulikannya sama sekali. Meski Rendy berulangkali menyarankan untuk menerimanya, aku tetap menolak.
Rendy dan aku sama-sama menyadari bahwa perpisahan ini sungguh amat berat. Dan setiap hari aku semakin takut kehilangannya. Setiap fajar tiba aku semakin cepat akan kehilangan Rendy. Kadang aku takut jika pagi tiba, aku berharap malam takkan pernah jadi pagi. Dan ketika pagi tiba aku berharap malam takkan kunjung datang. Perasaanku sungguh tak nyaman. Sebagian jiwaku tertawa karena Rendy selalu di dekatku, tetapi bagian hatiku yang lain galau dengan perpisahan kami yang kian mendekat.
Hari demi hari berganti, minggu demi minggu terlewati. Akhirnya saat yang paling kutakuti itu tiba. Rendy harus pergi!!!
”Rendy sebelum lo pergi, gue mau ngomong sesuatu ke lo. Gue bakalan sangat menyesal kalo’ gue nggak ngomongin ini ke lo. Lo mau ngederin gue, kan?”
”Iya, Beb!”
”Sebenernya banyak yang pengen gue omongin ke lo, tapi Cuma satu hal yang paling penting yang harus lo tahu, Ren! Gue mencintai lo sejak lo masih hidup, sampai sekarang Ren... sampai lo sekarang jadi hantu dan bakalan pergi ninggalin gue.”
”Gue tahu. Lo juga harus tahu. Helen itu nggak pernah ada. Sama seperti perasaan lo ke gue, gue juga mencintai lo sejak saat gue masih hidup. Gue pengen lo tahu tentang perasaan gue yang satu ini.”
Dengan terkejut kutatap matanya. Raut wajah itu tersenyum. Dimatanya kutemukan kejujuran dan cinta yang hangat.
”Kalo’ gitu kenap lo pergi, Ren? Kenapa lo jodohin gue sama Virgo?”
”Beby, gue ini hantu. Mana bisa kita bersatu? Nggak mungkin lo hidup tanpa pasangan sampai mati? Mama lo nggak bakalan pernah setuju, Beby!”
”Gue nggak peduli, Ren! Gue...”
”Beby, gue tahu cinta kita terlambat diucapkan. Seharusya kita ucapkan sejak dulu, sejak gue masih hidup! Tapi nggak pernah ada kata terlambat untuk tahu sekarang, beb!”
”Rendy, jangan pergi!” Pintaku dengan wajah yang kini berderai airmata.
”Selamat tinggal Beby!” Ucap Rendy sambil tersenyum.
”Gue nggak bakalan nerima Virgo atau siapapun. Tunggu sampai gue juga mati, Ren.” Seruku dengan sedih.
Rendy hanya tersenyum. Wajah tampannya memudar. Ia tinggal setitik cahaya yang menghilang di kegelapan. Selamat jalan, Rendy!
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar