Chapter 5
40 Hari
Empat puluh hari sudah berlalu. Tepat hari ini aku akan pergi nyekar ke makamnya. Menabur bunga di sana, sambil membawakan diary kesayangannya. Aku pergi mengendarai mobil. Hari masih pagi, namun langit mendung, awan gelap, matahari tertutup awan, mungkin sebentar lagi hujan. Sambil mengendarai mobil sebentar-sebentar aku teringat kenangan bersama Nayshila. Peristiwa-peristiwa lucu, sedih, terlintas begitu saja dalam otakku tanpa dapat kukendalikan.
Aku teringat saat pergi ke mall bersamanya. Kami memasuki sebuah toko sepatu. Aku ingat betul saat itu, kami lewat jalan sempit karena diapit tumpukan boks-boks sepatu. Aku jalan di depan dan Nayshila di belakangku. Tak sengaja kemudian aku menyenggol boks di sampingku, lalu jatuh berserakan. Para pegawai toko melihat ke arah kami, aku malu bukan main, dengan spontan aku berkata kepada Nayshila, “Ya ampun Nay, kalau jalan pelan-pelan dong.” Kami segera keluar dari toko itu, aku tertawa terbahak-bahak. Nayshila pun ngambek padaku.
“Masih pagi sudah gerimis.” Gerutuku sebal. Jalanan basah, namun sepi, membuatku leluasa menyetir, bebas sebentar dari hiruk pikuk kota seperti hari-hari biasanya. Mungkin karena hari ini hari libur, makanya jalanan lenggang.
Aku teringat lagi saat classmeeting perutku sakit bukan main padahal saat itu kami sepakat jadi satu tim, bertanding basket bersama, agar kelas kami jadi juara. Sudah kukatakan pada Nayshila agar ia meninggalkanku sendiri dan tetap bertanding, namun ia malah mencari pengganti kami dan menemaniku di kelas.
Perhatian seperti itulah yang tidak dimiliki teman-teman lain. Hanya Nayshila yang sebegitu perhatiannya, sampai tak mempedulikan dirinya sendiri.
Petir menggelegar, memecah lamunanku tentang dirinya. Sebuah motor menyalip mobilku, melaju dengan cepatnya. Aku kembali fokus menyetir. Sudah setengah perjalanan sebentar lagi aku sampai.
Pernah sewaktu pelajaran kesenian, kami mendapat tugas menggambar bebas. Waktu itu Nayshila bilang malas menggambar, sudah berpikir lama mau gambar apa, namun tak juga mendapat ide. Berbeda denganku, aku langsung menggambar pemandangan, seperti anak TK katanya, ada dua buah gunung dengan matahari di tengahnya, rumah kecil di sebelah kanan dan sawah di kirinya. Nayshila pun kemudian mengumpulkan kertas putih dan meminta nilai. Gita berdalih dengan mengatakan gambar yang ia buat itu transparan yang hanya bisa dilihat oleh dirimu. Tak kusangka Nayshila dapat nilai 7,5, sedangkan aku yang susah-susah menggambar dan mewarnai hanya mendapat 70. Aku kesal dan berkata, “Dasar guru aneh.” Nayshila malah ketawa cekikikan.
Aku tersadar. Hujan mulai turun, deras sekali. Penglihatanku sedikit kabur. Tiba-tiba aku melihat Nayshila di depanku. Nayshila berkata, “Key, temani aku. Aku kesepian disini.”
Aku terkejut. Aku injak rem mendadak, namun di depanku sebuah truk melaju dengan cepatnya… dan, “Arrrggghhh… … …”
40 Hari
Empat puluh hari sudah berlalu. Tepat hari ini aku akan pergi nyekar ke makamnya. Menabur bunga di sana, sambil membawakan diary kesayangannya. Aku pergi mengendarai mobil. Hari masih pagi, namun langit mendung, awan gelap, matahari tertutup awan, mungkin sebentar lagi hujan. Sambil mengendarai mobil sebentar-sebentar aku teringat kenangan bersama Nayshila. Peristiwa-peristiwa lucu, sedih, terlintas begitu saja dalam otakku tanpa dapat kukendalikan.
Aku teringat saat pergi ke mall bersamanya. Kami memasuki sebuah toko sepatu. Aku ingat betul saat itu, kami lewat jalan sempit karena diapit tumpukan boks-boks sepatu. Aku jalan di depan dan Nayshila di belakangku. Tak sengaja kemudian aku menyenggol boks di sampingku, lalu jatuh berserakan. Para pegawai toko melihat ke arah kami, aku malu bukan main, dengan spontan aku berkata kepada Nayshila, “Ya ampun Nay, kalau jalan pelan-pelan dong.” Kami segera keluar dari toko itu, aku tertawa terbahak-bahak. Nayshila pun ngambek padaku.
“Masih pagi sudah gerimis.” Gerutuku sebal. Jalanan basah, namun sepi, membuatku leluasa menyetir, bebas sebentar dari hiruk pikuk kota seperti hari-hari biasanya. Mungkin karena hari ini hari libur, makanya jalanan lenggang.
Aku teringat lagi saat classmeeting perutku sakit bukan main padahal saat itu kami sepakat jadi satu tim, bertanding basket bersama, agar kelas kami jadi juara. Sudah kukatakan pada Nayshila agar ia meninggalkanku sendiri dan tetap bertanding, namun ia malah mencari pengganti kami dan menemaniku di kelas.
Perhatian seperti itulah yang tidak dimiliki teman-teman lain. Hanya Nayshila yang sebegitu perhatiannya, sampai tak mempedulikan dirinya sendiri.
Petir menggelegar, memecah lamunanku tentang dirinya. Sebuah motor menyalip mobilku, melaju dengan cepatnya. Aku kembali fokus menyetir. Sudah setengah perjalanan sebentar lagi aku sampai.
Pernah sewaktu pelajaran kesenian, kami mendapat tugas menggambar bebas. Waktu itu Nayshila bilang malas menggambar, sudah berpikir lama mau gambar apa, namun tak juga mendapat ide. Berbeda denganku, aku langsung menggambar pemandangan, seperti anak TK katanya, ada dua buah gunung dengan matahari di tengahnya, rumah kecil di sebelah kanan dan sawah di kirinya. Nayshila pun kemudian mengumpulkan kertas putih dan meminta nilai. Gita berdalih dengan mengatakan gambar yang ia buat itu transparan yang hanya bisa dilihat oleh dirimu. Tak kusangka Nayshila dapat nilai 7,5, sedangkan aku yang susah-susah menggambar dan mewarnai hanya mendapat 70. Aku kesal dan berkata, “Dasar guru aneh.” Nayshila malah ketawa cekikikan.
Aku tersadar. Hujan mulai turun, deras sekali. Penglihatanku sedikit kabur. Tiba-tiba aku melihat Nayshila di depanku. Nayshila berkata, “Key, temani aku. Aku kesepian disini.”
Aku terkejut. Aku injak rem mendadak, namun di depanku sebuah truk melaju dengan cepatnya… dan, “Arrrggghhh… … …”
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com