Chapter 1
Undangan Pernikahan Satria
Inilah salah satu kegilaan dalam hidupku, ketika aku masih saja mengingat Satria. Masih saja memikirkannya, meskipun ia telah jauh meninggalkanku dengan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Aku menutup undangan bercorak hijau daun itu dengan perasaan yang tidak jelas. Mengakhiri ungkapan hatiku yang sempat tertulis di atasnya. Marah, kecewa, sedih, bahagia atau apapun lah namanya?
“Lo datang nggak?” Tanya Silvia-sang pengantar undangan, sekaligus sahabat karibku. Aku mengangkat kedua bahuku tanda penuh kebimbangan. Dan Silvia hanya diam saja.
Dua hari lagi ‘Nenek Sihir’ itu-wanita yang akan dinikahi Satria akan mengenakan kebaya itu, kebaya yang aku pilih bersama Satria waktu itu. Mudahnya Satria mengakhiri pertunanganku dan dirinya, hanya karena sebuah alasan yang tidak jelas. Apa yang tidak Satria mengerti tentangku?? Tidakkah cukup perkenalanku dan dirinya selama 2 tahun ini. Bahkan aku sudah lebih mengenalnya melebihi bagaimana aku mengenal diriku sendiri. Air mataku mulai menetes lagi dan membuatku jengkel. Sedikit saja air mataku menetes, selalu saja tampak lain di mataku. Dan itu akan menimbulkan kecurigaan Mama.
“Kamu masih memikirkan Satria?” Itulah yang selalu dipertanyakan Mama, setiap melihatku menangis. Dan aku tidak pernah bisa menjawab karena itulah kenyataannya. Aku tidak pernah bisa menghapus namanya sedetikpun meskipun penuh dengan rasa kebencian. Aku sadar, akulah yang terlalu bodoh dengan semua ini. Dengan mudahnya percaya pada seorang pecundang seperti dirinya. Mengapa aku bisa saja tertipu dengan kalimat indah pada smsnya atau suara merdunya ketika aku dan dirinya berbicara melalui perantara kabel.
Undangan Pernikahan Satria
Inilah salah satu kegilaan dalam hidupku, ketika aku masih saja mengingat Satria. Masih saja memikirkannya, meskipun ia telah jauh meninggalkanku dengan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Aku menutup undangan bercorak hijau daun itu dengan perasaan yang tidak jelas. Mengakhiri ungkapan hatiku yang sempat tertulis di atasnya. Marah, kecewa, sedih, bahagia atau apapun lah namanya?
“Lo datang nggak?” Tanya Silvia-sang pengantar undangan, sekaligus sahabat karibku. Aku mengangkat kedua bahuku tanda penuh kebimbangan. Dan Silvia hanya diam saja.
Dua hari lagi ‘Nenek Sihir’ itu-wanita yang akan dinikahi Satria akan mengenakan kebaya itu, kebaya yang aku pilih bersama Satria waktu itu. Mudahnya Satria mengakhiri pertunanganku dan dirinya, hanya karena sebuah alasan yang tidak jelas. Apa yang tidak Satria mengerti tentangku?? Tidakkah cukup perkenalanku dan dirinya selama 2 tahun ini. Bahkan aku sudah lebih mengenalnya melebihi bagaimana aku mengenal diriku sendiri. Air mataku mulai menetes lagi dan membuatku jengkel. Sedikit saja air mataku menetes, selalu saja tampak lain di mataku. Dan itu akan menimbulkan kecurigaan Mama.
“Kamu masih memikirkan Satria?” Itulah yang selalu dipertanyakan Mama, setiap melihatku menangis. Dan aku tidak pernah bisa menjawab karena itulah kenyataannya. Aku tidak pernah bisa menghapus namanya sedetikpun meskipun penuh dengan rasa kebencian. Aku sadar, akulah yang terlalu bodoh dengan semua ini. Dengan mudahnya percaya pada seorang pecundang seperti dirinya. Mengapa aku bisa saja tertipu dengan kalimat indah pada smsnya atau suara merdunya ketika aku dan dirinya berbicara melalui perantara kabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar