Senin, 15 Februari 2010

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 2)

Chapter 2
Cinta Bella


Kabut tipis mulai menyelimuti hutan-hutan kecil di lereng bukit. Angin dingin menusuk tulang hingga ke ulu hati. Pohon-pohon pinus masih basah dan lembab. Api unggun mulai meninggalkan bara berwarna kemerahan. Dengan asap menjulang tinggi.

Di gasebo kecil Raka termangu. Memperhatikan siluet pinus yang berjejer rapi. Bak raksasa yang sangat menakutkan. Sesekali ia mendekap jaket parasutnya. Sambil teringat dengan seorang gadis yang pernah mencuri perhatiannya. Tania, nama gadis itu. Mahasiswi ekonomi di sebuah universitas swasta.

Pertemuan itu memang begitu singkat. Di sebuah toko buku. Saat Raka menabraknya tanpa sengaja, dan gadis itu memaki-maki Raka seenak hatinya. Raka pun berang dan membalas makian kecil itu. Dan ternyata mereka bertemu lagi di salah satu universitas di Jakarta. Pertemuan itu membuat Raka terbayang-bayang dengan gadis judes yang menghardiknya. Kebencian itu pun timbul dengan sendiri. Raka mengolok-olok si Gadis di depan umum. Bahkan di depan mahasiswa lainnya.

Namun kebencian itu mendadak berubah menjadi sebuah kerinduan di hati Raka. Raka berkali-kali mencoba merayunya. Meminta maaf kepada si Gadis. Tapi si Gadis menolaknya mentah-mentah. Ia sama sekali tidak mempedulikan Raka. Meski Raka sangat mengharapkan cinta sang Gadis, namun tetap saja ditolak.

Hal itu membuat Raka sakit hati. Perih rasanya. Terasa kabut-kabut tipis menyelubungi relung hatinya. Entah mengapa kabut-kabut itu semakin menebal, rasanya.

Raka mendesah pelan. Desahan angin menghapus tubuhnya yang beku. Gesekan angin membuat dahan-dahan pinus bergoyang dan riuh dengan suara yang syahdu. Saat menikmati semilir angin, sebuah tangan tiba-tiba saja menutup mata Raka dari belakang. Raka tercekat merasakan tangan dingin yang menutup kedua matanya.

"Dira!" tebaknya asal.

Namun si pemilik tangan diam saja.

Raka berusaha menebaknya lagi. Mungkin hal ini keisengan teman-temannya. "Fadlan! Lepasin, dong," tebak Raka lagi.

Namun lagi-lagi orang di belakangnya itu diam saja. Raka mengulurkan tangannya dan menebak lagi. Namun tidak ketebak.

"Aduh, siapa sih. Jangan bercanda terus, dong," seru Raka menyerah.

Kemudian tangan itu pun membuka matanya dengan perlahan.

"Hei! Bengong aja," sapa seseorang padanya.

Raka mengucek-ucek matanya. Melihat seseorang di depannya dengan terpana.
"Bella?" gumamnya.

Gadis itu tersenyum. Duduk di depannya kemudian.

"Kamu kenapa sih, Rak. Melamun terus. Kamu lagi kasmaran, ya?" selidik Bella.

"Ah, nggak kok. Aku nggak melamum."

"Sudah, jangan bohongi aku. Buktinya, dari tadi aku perhatiin, kamu bengong terus. Aku tahu ada seorang gadis yang mencuri perhatianmu. Siapa sih dia?"

Raka terbelalak sambil menelan air liurnya.

"Melamun? Melamunkan siapa?"

"Udah deh, nggak usah bohong lagi."

Raka mengerinyitkan keningnya. "Kamu tahu dari mana?"

"Aku sudah membaca semua buku catatan harian kamu. Maaf ya, kalau aku lancang."

"Bel...! Ja-jadi... kamu.... " Raka menatap wajah Bella dengan lekat, seperti tidak percaya atas pendengarannya sendiri.

"Maaf, aku nggak sengaja, Rak. Kamu marah?"

Raka diam. Hening. Namun hanya sesaat.

"Siapa Tania? Kamu mengenalnya?" tanya Bella memecahkan keheningan

"Hm, dia anak ekonomi."

Bibir Bella membulat. "Oo."

Hening lagi. Perasaan Bella tercabik-cabik. Sesungguhnya dia sangat mengharapkan Raka menjadi kekasihnya. Namun Raka tidak pernah menggubris perasaan itu. Meski perhatian yang diberikan Bella sangat lebih untuk Raka, Raka seakan tidak peduli.

Tak berapa lama Raka beringsut dari duduknya. Angin dingin semakin menggila seakan menghunus jantungnya.

"Aku pergi dulu, ya. Aku ngantuk," ucap Raka sambil berlalu meninggalkan Bella yang terpaku.

"Tapi, Rak. Tunggu... jangan tinggalkan aku dong, Rak."

"Udah deh, besok aja ngobrolnya," tolak Raka apatis (tanpa perasaan).

Bella terpaku. Kali ini hatinya seolah terhempas ke dalam cadas-cadas yang tajam. Namun Bella dengan sabar hati menunggu kepastian yang tak pasti. Meski berkali-kali hatinya tersayat pedih karena Raka memikirkan gadis lain, Bella tetap saja memberi perhatian penuh terhadap Raka.

Bella terpaku memperhatikan Raka yang meninggalkannya begitu saja. Malam seakan menghadirkan giris sunyi yang luar biasa. Tak terasa airmatanya menitik. Dan setiap begitu, maka ia hanya dapat menuangkan baur perasaannya lewat lembar-lembar buku diarinya. Di sana, ia menaburkan kalimat dalam bentuk puisi. Puisi cinta buat Raka.

Ketika hasrat hatiku
mendambakan dirimu
namun bayanganmu
hanya terlintas dalam angan dan mimpiku

Aku begitu mendambakanmu
mengharap kau merajut benang cintaku
agar menjadi sebuah sutra
yang indah dalam hatiku
dan terlukis sejuta namamu

(Di sudut kamar-Bella Raflesia)


Bella meremas buku diari yang senantiasa menyertainya kemana pun ia pergi. Hatinya masih berdarah dalam penantian. Pemuda itu terlalu angkuh di dalam obesesinya. Dipandanginya jelaga langit. Gemintang bermain mata dalam kerlap-kerlip abadinya. Mereka indah namun tak tergapai tangan. Seperti itulah Raka sekarang. Ia gemintang yang tak terjamah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar