Senin, 22 Februari 2010

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (3)

Chapter 3
Melupakan Satria

Aku harus melupakan Satria. Dan harus mulai dari awal lagi. Aku harus jadi Tya yang kuat. Upss… namaku Tari, mengapa aku begitu suka dipanggil Tya hanya karena Satria suka memanggilku begitu. Namaku Mentari Aristya, biasa dipanggil Tari dan Tya adalah nama belakangku yang kupakai pertama kali ketika aku mencoba berkenalan dengan Satria, namun Satria tetap memanggilku Tya meski ia tahu nama panggilanku Tari. Tidak ada yang perlu aku sembunyikan, termasuk semua sikap burukku. Dan Satria menerimanya tanpa penolakan sedikitpun. Namun Satria menolak setelahnya, setelah aku bersedia menyerahkan sepenuh hatiku. Ughhh… mengapa aku mengulang cerita itu lagi.

Aku mulai menghapus memory inboxku, sms sejak pertama kali aku dan Satria menjalin perkenalan. Aku tidak berani membacanya, aku takut mengingatnya lagi. Seperti ketakutanku, tidak bisa melupakannya. Dan aku takut merasakannya lagi, mungkinkah ada laki-laki yang baik tersisa untukku, seorang perawan tua. Ughh… aku tidak tahu lagi betapa beratnya menanggung status itu. Belum lagi Mama dan Papa. Tuhan… aku memandang sekeliling kamarku, tidak akan kubiarkan satupun wajah Satria nongol di depan mataku. Melihat wajahnya sama saja aku melihat monster paling menakutkan, yang aku takuti selama ini.

“Ihhh… ihhh…” aku mengambil dengan jijik sebuah foto yang terpajang tepat diatas tempat tidurku. Membongkar piguranya dan kudapati fotoku dengan senyum manis tepat di samping manusia berwajah monster itu. Foto ketika aku dan Satria bertemu untuk ketiga kalinya di sebuah taman hiburan.

“Sebenarnya cakep juga…” aku tersenyum, melihat wajah tirus manis dengan kulit kecoklatan dan tubuh yang tegap semampai.

“Huekkk…” aku tidak boleh mengaguminya. Aku tidak boleh buta lagi karena wajah itu. Andai waktu itu Tuhan membuka mataku untuk menatapnya lebih jelas, mungkin fotoku disampingnya bukan tersenyum manis, tapi terbelalak histeris.

“Haha…” aku tertawa, hambar. Perlahan aku memotong foto itu. Memisahkan wajah manisku dengan wajah monster itu. Aku menyimpan bagian fotoku dan memotong kecil-kecil foto bagian Satria-monster itu, seakan-akan dia ada di depanku. Terserah mau sakit, mau merintih, masa bodoh… tapi, apa kabar dengan fotoku yang ada padanya? Mungkinkah akan mengalami nasib yang sama atau mungkin lebih parah. Apalagi jika ditemukan istrinya.

“Ughhh… ughhh…” aku mengelus wajahku, tidak tega membayangkan jika wajahku yang manis ini harus terbakar api. Oh Tuhan…

“Tarii…” aku mengeryit, panggilan untukku?

“Tariiiii…” ternyata memang betul. Ada instruksi dari Mama pasti. Dan aku bergegas mencari sosok Mama. Mungkin saja di dapur.

“Ini untukmu…”

“Untukku…?!!” tanyaku heran, ketika sebuah buket bunga mawar putih terulur untukku. Deggg… bukankah biasanya Satria yang selalu mengirimkannya untukku. Apakah ini juga dari Satria? Aku tersadar untuk segera bertanya.

“Dari siapa, Ma?” Mama menggeleng tidak tahu. Aku mencari kertas kecil berisi memo yang selalu diletakkan di dalam rangkaian bunga itu.

To Tya
Maafkan aku…
From Satria

“Ughhh…!!!” aku mendengus kesal dan meletakkan bunga itu serampangan. Tidak seperti biasanya memang, bunga itu selalu terpajang segar di atas meja riasku. Untuk apa lagi aku harus merawatnya. Dan… untuk apa lagi Satria harus mengirimnya untukku. Meskipun ia belikan aku toko bunga, kata maaf tidak juga bisa aku berikan untuknya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar