Chapter 1
Gadis Itu Bernama Meichan Bumi Langit
Waktu itu hujan rintik. Kami berdua sama-sama berteduh di halte ini meski tak sedang menunggu bis kota. Dia sedikit basah, sedangkan aku basah kuyup. Ia berikan sehelai sapu tangan berenda bunga dari dalam tas kerjanya kepadaku, sebelum ia sendiri mengelap basah yang ada padanya.
Aku tak segera mengambil sapu tangannya. Aku mempersilakan ia menggunakannya terlebih dulu. Namun, gadis itu tetap tak mau. Ia justru mendesakku, “Kamulah yang lebih pantas menggunakannya pertama kali. Kamu basah kuyup, aku hanya basah sedikit.”
Aku pun mengambil sapu tangan itu, mengelap wajahku, kemudian kedua lenganku. Usai itu, aku mengangsurkan sapu tangan itu kembali kepadanya. Ia mengambilnya dan tak risih sedikit pun menggunakan bekasku itu untuk mengelap wajah dan pundaknya, dua bagian yang basah terkena tetes hujan rintik.
“Mau pulang?” Aku bertanya.
“Oh, nggak. Aku masuk malam.” Dia menunjuk sebuah nama supermarket 24 jam yang terjahit di atas saku baju sebelah kirinya.
“Kamu?”
“Aku mau pulang. Kontrakanku tak begitu jauh dari sini. Biasanya, aku jalan kaki sekitar lima menit-an.”
“Kerja di mana?”
“Belum dapat. Aku baru wisuda dua minggu yang lalu…”
“Oh?”
Terasa aneh jika kami ingin melanjutkan perbincangan demi membunuh waktu, tapi tak saling mengetahui nama. Untuk itu, kuulurkan tanganku kepadanya, memperkenalkan namaku… “Laut.”
Dia tak segera mengambil tanganku. Mata sipitnya menyorotkan kebingungan dan dahinya berlipat, menandakan ia butuh penjelasan.
“Ya, namaku Laut. Lengkapnya Laut Liu Chow,” Setelah mendapat penegasan itu, barulah ia menyambut salam tanganku lantas menyebutkan sebuah nama…
“Meichan Bumi Langit. Panggil saja Mei…”
Sebuah perkenalan yang hangat di tengah udara dingin yang terus berembus menerbangkan jarum-jarum gerimis yang jatuh miring, pecah, kemudian bergabung dalam genangan dan aliran air.
“Nama kamu… ?”
“Namaku aneh ‘kan?”
“Maksudku bukan itu. Aku tak menganggapnya aneh. Aku justru merasa itu adalah nama yang unik. Sorry, Kamu Chinese…?”
“Oh, nggak. Aku Melayu. Memang, namaku seperti nama Chinese. Sebenarnya, nama itu ada sejarahnya. Aku lahir dalam sekoci di tengah lautan dan persalinan ibuku dibantu oleh seorang dokter yang bernama Liu Chow…”
“Ha? Di dalam sekoci? Di tengah laut?”
“Ya…”
“Kok’ bisa?”
“Kamu tahu tragedi Boegenville?”
“Ya, aku tahu. Kapal yang terbakar di tengah laut itu ‘kan?”
“Ya.”
Aku kemudian menceritakan padanya bahwa ayah dan ibu yang tengah mengandung sembilan bulan adalah penumpang di kapal yang na’as itu. Meski demikian, ayah dan ibu selamat dan sempat masuk ke dalam sekoci sebelum diturunkan dari kapal yang terus dilalap api. Malam itu juga, aku dilahirkan dalam sekoci itu. Ibu selamat, ayah juga, dan aku pun selamat dan akhirnya bisa hidup di dunia ini berkat jasa seorang dokter yang kebetulan juga ada di dalam sekoci itu. Namanya dokter Liu Chow.
“Wah… sungguh cerita yang luar biasa.”
“Kamu percaya?”
“Iya. Kenapa nggak?”
“Banyak yang tidak percaya jika aku ceritakan ini. Kamu barulah orang kedua yang memercayainya dari ratusan orang yang aku ceritakan.”
Mengenai Dokter Liu Chow, aku ceritakan juga bahwa hubungan keluarga kami dengannya seperti hubungan persaudaraan saja setelah kejadian di tengah lautan itu. Beberapa kali, kami sekeluarga berkunjung ke rumahnya di Semarang. Ia juga pernah datang ke rumah kami di Balikpapan.
“Namu kamu sendiri seperti Chinese, atau justru kamu sendiri yang keturunan Tionghoa?”
“Nggak, mataku saja yang sipit. Aku juga Melayu seperti kamu. Mungkin ketika Ibuku mengandungku, ia sangat menggemari Drama Taiwan…”
“Ha…ha…”
Kini, hujan rintik tak mereda. Justru hujan lebat yang kemudian menghajar sudut Kota Jakarta ini. Kami terkurung dan tak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Sebenarnya, bisa saja aku berlari, terus melintasi guyuran hujan dan dalam waktu lima menit sudah sampai di rumah kontrakan. Toh, aku juga sudah biasa melakukannya dan tak pernah terserang sakit apapun yang biasanya sering menyerang orang yang kehujanan. Meski demikian, aku tak melakukannya sebab ada Meichan.
Meichan kemudian menceritakan kepadaku bahwa tadinya ia diantar seorang teman dengan menggunakan sepeda motor. Namun kemudian, mendadak temannya itu harus ke rumah sakit setelah menerima kabar dari seseorang lewat Hp-nya bahwa Ayahnya sakit keras. Ia kemudian tak mengantarkan Meichan sampai ke tempat kerja. Ia berbelok menuju ke rumah sakit dan Meichan berinisiatif untuk menyarankan padanya, menurunkan Meichan di halte bis kota ini. Dari sini, Meichan berencana naik ojek untuk mencapai tempat kerjanya. Namun, hujan buru-buru ‘bertamu’ sebelum ia bisa menemukan seorang tukang ojek yang biasanya banyak mangkal di depan sini.
Dalam perbincangan kami seterusnya, aku menyinggung masalah ketidakbiasaan suasana yang terpampang di depan kami. Apakah di semua penjuru Jakarta juga seperti ini adanya menjelang malam ini? Tak ada kemacetan. Jalanan aspal yang membentang di hadapan kami lengang. Biasanya, meski hujan, bukankah Jakarta selalu ramai?
“Ada apa ya?” Kami sama-sama bertanya, kami sama-sama tak bisa memberikan jawaban. Kami pun sepakat untuk membuang jauh kesibukan pikiran tentang apa yang sesungguhnya melanda Ibukota ini. Kami kembali asyik merangkai cerita-cerita dan sama-sama berbagi keluh kesah sebagai orang rantau. Ternyata, Meichan dari Palembang. Kubilang kepadanya aku dari Kalimantan. Kami sama-sama, orang rantau yang mencari penghidupan di Ibukota.
Halte ini, masih kami berdualah yang menghuninya. Maksud kami untuk melanjutkan perjalanan masing-masing belum kesampaian, baik karena hujan tak mengizinkan atau memang kami sengaja untuk terus mengobrol karena kami menemukan kecocokan.
Aku kemudian iseng menanyakan mengenai asal usul keluarganya. Dia tak canggung mengatakan bahwa nenek buyutnya adalah perantau dari Aceh yang datang ke Palembang sebagai buruh kapal. Dia pun seperti mengerti kebingungan yang ada di kepalaku, yang belum mengerti mengapa dia bekerja sebagai Cleaning Service di supermarket? Bukankah ‘cewek’ jarang yang mau bekerja sebagai Cleaning Service? Dia lantas tertawa dan menegaskan bahwa apapun pekerjaannya jika itu halal, ia akan mengerjakannya.
Aku kemudian paham dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan alamat tempat tinggalnya dan bermaksud suatu kesempatan akan menyempatkan diri untuk bertamu.
“Aku belum punya banyak teman di Jakarta,” kukatakan kepadanya. Dia dengan terbuka memberitahu alamatnya dan bersedia menerimaku datang kapan pun, asal jangan pada saat dia tengah bekerja.
“Kalau kamu kurang yakin aku ada di rumah atau tidak, teleponlah dulu ke nomor itu. Kalau aku tak ada di sana berarti aku di rumah…” Dia mencatatkan pada sesobek kertas notes, nomor telepon supermaket tempatnya bekerja dan alamat rumah kontrakannya.
“Ya, tentu. Terima kasih. Aku pasti datang nanti.”
Hujan lebat menjadi hujan rintik seperti semula untuk kemudian lenyap seluruhnya. Langit menjelang malam itu cerah dengan tiba-tiba. Mungkinkah pengaruh dari lampu-lampu jalan yang mulai menyala?
Dia meminta diri, pamit untuk berjalan kaki saja menuju supermarket dan aku pun berdiri melepas kepergiannya. Andaikan saja kami searah, akan lebih banyak lagi yang bisa kami bicarakan meski untuk mencapai supermarket tempatnya bekerja hanya akan butuh waktu lima belas menit lamanya.
Gadis Itu Bernama Meichan Bumi Langit
Waktu itu hujan rintik. Kami berdua sama-sama berteduh di halte ini meski tak sedang menunggu bis kota. Dia sedikit basah, sedangkan aku basah kuyup. Ia berikan sehelai sapu tangan berenda bunga dari dalam tas kerjanya kepadaku, sebelum ia sendiri mengelap basah yang ada padanya.
Aku tak segera mengambil sapu tangannya. Aku mempersilakan ia menggunakannya terlebih dulu. Namun, gadis itu tetap tak mau. Ia justru mendesakku, “Kamulah yang lebih pantas menggunakannya pertama kali. Kamu basah kuyup, aku hanya basah sedikit.”
Aku pun mengambil sapu tangan itu, mengelap wajahku, kemudian kedua lenganku. Usai itu, aku mengangsurkan sapu tangan itu kembali kepadanya. Ia mengambilnya dan tak risih sedikit pun menggunakan bekasku itu untuk mengelap wajah dan pundaknya, dua bagian yang basah terkena tetes hujan rintik.
“Mau pulang?” Aku bertanya.
“Oh, nggak. Aku masuk malam.” Dia menunjuk sebuah nama supermarket 24 jam yang terjahit di atas saku baju sebelah kirinya.
“Kamu?”
“Aku mau pulang. Kontrakanku tak begitu jauh dari sini. Biasanya, aku jalan kaki sekitar lima menit-an.”
“Kerja di mana?”
“Belum dapat. Aku baru wisuda dua minggu yang lalu…”
“Oh?”
Terasa aneh jika kami ingin melanjutkan perbincangan demi membunuh waktu, tapi tak saling mengetahui nama. Untuk itu, kuulurkan tanganku kepadanya, memperkenalkan namaku… “Laut.”
Dia tak segera mengambil tanganku. Mata sipitnya menyorotkan kebingungan dan dahinya berlipat, menandakan ia butuh penjelasan.
“Ya, namaku Laut. Lengkapnya Laut Liu Chow,” Setelah mendapat penegasan itu, barulah ia menyambut salam tanganku lantas menyebutkan sebuah nama…
“Meichan Bumi Langit. Panggil saja Mei…”
Sebuah perkenalan yang hangat di tengah udara dingin yang terus berembus menerbangkan jarum-jarum gerimis yang jatuh miring, pecah, kemudian bergabung dalam genangan dan aliran air.
“Nama kamu… ?”
“Namaku aneh ‘kan?”
“Maksudku bukan itu. Aku tak menganggapnya aneh. Aku justru merasa itu adalah nama yang unik. Sorry, Kamu Chinese…?”
“Oh, nggak. Aku Melayu. Memang, namaku seperti nama Chinese. Sebenarnya, nama itu ada sejarahnya. Aku lahir dalam sekoci di tengah lautan dan persalinan ibuku dibantu oleh seorang dokter yang bernama Liu Chow…”
“Ha? Di dalam sekoci? Di tengah laut?”
“Ya…”
“Kok’ bisa?”
“Kamu tahu tragedi Boegenville?”
“Ya, aku tahu. Kapal yang terbakar di tengah laut itu ‘kan?”
“Ya.”
Aku kemudian menceritakan padanya bahwa ayah dan ibu yang tengah mengandung sembilan bulan adalah penumpang di kapal yang na’as itu. Meski demikian, ayah dan ibu selamat dan sempat masuk ke dalam sekoci sebelum diturunkan dari kapal yang terus dilalap api. Malam itu juga, aku dilahirkan dalam sekoci itu. Ibu selamat, ayah juga, dan aku pun selamat dan akhirnya bisa hidup di dunia ini berkat jasa seorang dokter yang kebetulan juga ada di dalam sekoci itu. Namanya dokter Liu Chow.
“Wah… sungguh cerita yang luar biasa.”
“Kamu percaya?”
“Iya. Kenapa nggak?”
“Banyak yang tidak percaya jika aku ceritakan ini. Kamu barulah orang kedua yang memercayainya dari ratusan orang yang aku ceritakan.”
Mengenai Dokter Liu Chow, aku ceritakan juga bahwa hubungan keluarga kami dengannya seperti hubungan persaudaraan saja setelah kejadian di tengah lautan itu. Beberapa kali, kami sekeluarga berkunjung ke rumahnya di Semarang. Ia juga pernah datang ke rumah kami di Balikpapan.
“Namu kamu sendiri seperti Chinese, atau justru kamu sendiri yang keturunan Tionghoa?”
“Nggak, mataku saja yang sipit. Aku juga Melayu seperti kamu. Mungkin ketika Ibuku mengandungku, ia sangat menggemari Drama Taiwan…”
“Ha…ha…”
Kini, hujan rintik tak mereda. Justru hujan lebat yang kemudian menghajar sudut Kota Jakarta ini. Kami terkurung dan tak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Sebenarnya, bisa saja aku berlari, terus melintasi guyuran hujan dan dalam waktu lima menit sudah sampai di rumah kontrakan. Toh, aku juga sudah biasa melakukannya dan tak pernah terserang sakit apapun yang biasanya sering menyerang orang yang kehujanan. Meski demikian, aku tak melakukannya sebab ada Meichan.
Meichan kemudian menceritakan kepadaku bahwa tadinya ia diantar seorang teman dengan menggunakan sepeda motor. Namun kemudian, mendadak temannya itu harus ke rumah sakit setelah menerima kabar dari seseorang lewat Hp-nya bahwa Ayahnya sakit keras. Ia kemudian tak mengantarkan Meichan sampai ke tempat kerja. Ia berbelok menuju ke rumah sakit dan Meichan berinisiatif untuk menyarankan padanya, menurunkan Meichan di halte bis kota ini. Dari sini, Meichan berencana naik ojek untuk mencapai tempat kerjanya. Namun, hujan buru-buru ‘bertamu’ sebelum ia bisa menemukan seorang tukang ojek yang biasanya banyak mangkal di depan sini.
Dalam perbincangan kami seterusnya, aku menyinggung masalah ketidakbiasaan suasana yang terpampang di depan kami. Apakah di semua penjuru Jakarta juga seperti ini adanya menjelang malam ini? Tak ada kemacetan. Jalanan aspal yang membentang di hadapan kami lengang. Biasanya, meski hujan, bukankah Jakarta selalu ramai?
“Ada apa ya?” Kami sama-sama bertanya, kami sama-sama tak bisa memberikan jawaban. Kami pun sepakat untuk membuang jauh kesibukan pikiran tentang apa yang sesungguhnya melanda Ibukota ini. Kami kembali asyik merangkai cerita-cerita dan sama-sama berbagi keluh kesah sebagai orang rantau. Ternyata, Meichan dari Palembang. Kubilang kepadanya aku dari Kalimantan. Kami sama-sama, orang rantau yang mencari penghidupan di Ibukota.
Halte ini, masih kami berdualah yang menghuninya. Maksud kami untuk melanjutkan perjalanan masing-masing belum kesampaian, baik karena hujan tak mengizinkan atau memang kami sengaja untuk terus mengobrol karena kami menemukan kecocokan.
Aku kemudian iseng menanyakan mengenai asal usul keluarganya. Dia tak canggung mengatakan bahwa nenek buyutnya adalah perantau dari Aceh yang datang ke Palembang sebagai buruh kapal. Dia pun seperti mengerti kebingungan yang ada di kepalaku, yang belum mengerti mengapa dia bekerja sebagai Cleaning Service di supermarket? Bukankah ‘cewek’ jarang yang mau bekerja sebagai Cleaning Service? Dia lantas tertawa dan menegaskan bahwa apapun pekerjaannya jika itu halal, ia akan mengerjakannya.
Aku kemudian paham dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan alamat tempat tinggalnya dan bermaksud suatu kesempatan akan menyempatkan diri untuk bertamu.
“Aku belum punya banyak teman di Jakarta,” kukatakan kepadanya. Dia dengan terbuka memberitahu alamatnya dan bersedia menerimaku datang kapan pun, asal jangan pada saat dia tengah bekerja.
“Kalau kamu kurang yakin aku ada di rumah atau tidak, teleponlah dulu ke nomor itu. Kalau aku tak ada di sana berarti aku di rumah…” Dia mencatatkan pada sesobek kertas notes, nomor telepon supermaket tempatnya bekerja dan alamat rumah kontrakannya.
“Ya, tentu. Terima kasih. Aku pasti datang nanti.”
Hujan lebat menjadi hujan rintik seperti semula untuk kemudian lenyap seluruhnya. Langit menjelang malam itu cerah dengan tiba-tiba. Mungkinkah pengaruh dari lampu-lampu jalan yang mulai menyala?
Dia meminta diri, pamit untuk berjalan kaki saja menuju supermarket dan aku pun berdiri melepas kepergiannya. Andaikan saja kami searah, akan lebih banyak lagi yang bisa kami bicarakan meski untuk mencapai supermarket tempatnya bekerja hanya akan butuh waktu lima belas menit lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar