Kamis, 25 Februari 2010

Langit Menggelap Di 'Lavender Park' (1)

Chapter 1

Awal Sebuah Pertemuan




Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.



Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.



Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. “Apa kabar?” katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.



“Kamu di sini?” Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.



Begitu juga Zidan, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.



Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Zidan di sebelahnya.



“Kaget?” tanya Zidan, duduk di sebelah Reyna.



Reyna tertawa kecil. “Gimana?” tanya Reyna tak jelas arahnya. “Lama sekali kita tidak bertemu.”



“Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?”



“Tiga puluh tahun!” jawab Reyna pasti.



“Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu.”



“Terima kasih,” Reyna tersenyum geli. Masih ‘semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.



“Kapan datang?” tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.



“Belum seminggu,” jawab Zidan.



“Mencariku?” Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.



Zidan tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, “Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu,” tawanya menghilang.



Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Zidan tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.



Reyna dan Zidan. Zidan pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang seorang istri dan ibu seorang anak, dan Zidan yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.



Reyna hampir saja meninggalkan Bram-suaminya ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Bram. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Zidan.



Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Zidan tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Zidan yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Zidan berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.



“Berapa lama kamu akan tinggal?” tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.



“Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku,” jawab Zidan, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. “Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini.”



“Itu sebabnya kamu kemari?”



“Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali,” lanjut Zidan tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. “Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari.”



“Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu.”



Zidan menggeleng.



“Atau membangun hubungan baru.”



Zidan menggeleng lagi, “Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…”



“Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!” potong Reyna. “Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih.”



Kebekuan kembali merajai perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.



Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.



Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Zidan. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Zidan pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Zidan tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Zidan tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Bram mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.



Terdengar Zidan menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar