Senin, 15 Februari 2010

Sepotong Kalimat Cinta (Chapter 1)

Chapter 1

Si Keren Dimas




Aku tahu aku bodoh telah mengharapkannya. Bukankah itu adalah mimpi yang paling konyol? Aku jadi teringat kemarin, saat Adel meneleponku sore-sore.



"Halo, Lea, ya?"



"Yap." Aku menyahut cepat. "Betul sekali."



"Eh, lagi ngapain?"



"Lagi... nelepon."



"Sudah tahu, Non!" Suara Adel terdengar jengkel. "Kita ngerumpi yuk. Di rumahku lagi nggak ada orang, juga nggak ada kerjaan. Jadi daripada bengong, kan?"



Ups, itulah enaknya jadi orang kaya. Tak usah mikirin biaya pulsa yang membengkak.



"Tapi mau ngerumpiin apa?"



"Enakan ngerumpiin siapa?" Adel meralat. "Eh, menurutmu Dimas itu gimana?"

Ups! Hatiku berdebar tiba-tiba. Sudah tentu, habis dia kan yang selama ini merusak semangat makanku, semangat tidurku, juga semangat belajarku. Memangnya ada cowok lain yang lebih keren?



"Gimana?" desak Adel lagi.



"Eh... lumayan." Aku buru-buru menyahut.



"L-u-m-a-y-a-n?" Suara Adel jelas betul tidak terima. "Hanya itu?"



"Yap."



"Masa sih? Yang bener aja!"



"Memangnya menurutmu gimana?" pancingku mencoba tetap cuek.



"Menurutku...." Adel berhenti sejenak. "Keren. Cakep. Fantastis. Manis. Ganteng!"



Aku mau tak mau tertawa juga.



"Masa kamu nggak tertarik sih?" Adel kedengarannya penasaran. "Temen-temen sekelas kita banyak lho yang naksir."



"Termasuk kamu."



"Tentu! Kamu...."



"Ya, kalau sekadar suka sih...."



Sampai di situ lamunanku terhenti. Di pandangan Adel, juga teman-teman lain — bahkan mungkin termasuk Dimas sendiri — aku tampak begitu acuh tak acuh terhadap cowok itu. Padahal sebenarnya, berpapasan dengan Dimas saja dapat membuat hatiku menari dengan begitu gembiranya. Hanya, aku memang bukanlah Adel, Keyla, Nayshilas, atau siapa saja yang berani mengungkapkan perasaan dengan terus-terang. Aku lebih suka memendam rapat-rapat perasaanku.



Aku kemudian terdiam. Lama.



Aku jadi gelisah oleh kesadaran yang baru timbul. Kalau dari teman sekelas saja yang menyukainya sudah begitu banyak, bagaimana kalau jumlah yang sudah banyak itu masih harus ditambah oleh teman-teman dari kelas lain, juga adik-adik kelas? Tak tertutup kemungkinan, kan? Juga dari teman-temannya yang lain, tetangganya atau teman adiknya barangkali.



Segala harapanku memang mustahil! Seharusnya aku tahu itu. Aku terlalu jauh bermimpi. Punya keinginan sih, sah saja sebetulnya, tapi rasanya kali ini aku kelewat jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar