Senin, 22 Februari 2010

Aku Rela, Jika Kau Bahagia (6)

Chapter 6
Kepergian Satria


“Tari, line 3 buat lo…?”

“Siapa sih yang berani gangguin gue di jam sibuk begini.” Protesku pada Reza, rekan kerjaku.

“Siapa…?!” sapaku ketus.

“Tari, ini Silvia…”

“Ada apa?!”

“Ikut gue,” aku mengeryit.

“Ini masih jam kantor!”

“Iya, gue tahu… gue tunggu di parkiran…”

“Iya, tapi kemana Sil?” belum sempat aku mendengar jawabannya. Aku sudah mendengar tanda putus. “Ada apa sih nih orang seenaknya aja ganggu orang kerja.” Rutukku sendiri. Namun aku bergegas ke ruangan Boss untuk minta ijin. Dan tidak lama kemudia aku sudah melihat wajah Silvia diantara barisan mobil-mobil di parkiran.

“Cepetan…!!”

“Enak aja lo, nyuruh-nyuruh anak orang! Berani bayar berapa?” Protesku tidak berkesudahan seraya tersenyum. Silvia sama sekali tidak menggubrisku dan aku berhenti meledek. Wajah Silvia yang terlihat bingung membuatku konyol. Bagaimana mungkin Silvia yang selalu ceria bisa benar-benar serius. Dan aku ikut saja diam.

“Ayo turun…” Ajak Silvia. Aku diam tidak bergerak. Untuk apa Silvia harus mengajakku ke rumah Satria.

“Untuk apa?” tanyaku curiga.

“Turun aja…” Silvia menyeretku dengan paksa. Aku memberontak. Tapi melihat wajahnya yang masih saja serius tanpa ekspresi, aku menurut. Perasaanku mulai tidak enak.

“Gue bisa jalan sendiri…” Sekali lagi aku protes karena Silvia masih saja menggandeng tanganku.

Aku heran, pakaian hitam seolah menjadi dress code di rumah ini. Dan aku tidak menjumpai satu wajah pun yang bisa aku kenali. Apa yang terjadi? Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa. Aku menurut saja, mengekor Silvia yang berjalan terburu-buru. Semua orang yang sempat berpapasan denganku seolah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kamar Satria!!! Sayup-sayup aku mendengar suara tangis, mungkinkah istrinya meninggal seperti cerita Silvia beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa istrinya sakit. Ya Tuhan secepat itukah. Mmm… tapi untuk apa aku harus datang. Apakah Satria akan merengek untuk memintaku menjadi istrinya. Aku tersenyum, memikirkan bagaimana aku bisa menikah dengan seorang duda. Agak ragu aku melangkah. Suara tangis makin nyaring kudengar. Ketika wajahku tersembul dari balik pintu, aku mengenali satu persatu wajah itu. Tante Olivia-Mama Satria dan suaminya Oom Arya-Papa Satria. Anandyta, adik semata wayangnya dan saudaranya yang lain yang tidak bisa aku kenali satu persatu.

“Masuklah Tya…” Pinta tante Olivia, dengan wajahnya yang sembab. Aku berjalan mendekati kerumunan itu, sementara Silvia memilih berhenti dan berdiri tepat di depan pintu.

“Satria, sudah lama menunggumu…” kata tante Olivia lagi. Satu persatu orang mulai menjauh dan aku melihat tubuh itu. Tubuh yang tergolek tidak berdaya dengan selang infus dan oksigen berselang-seling dari mulut dan hidungnya.

“Satria…” desisku perlahan. Aku terhenyak, sedih. Aku berdiri tepat, disamping ranjangnya. Dia mencoba tersenyum dengan kepayahan. Tangannya bergerak mencari tanganku dan aku menggenggamnya hingga tangan itu diam dengan sendirinya, bersama senyum yang masih mengembang. Matanya menutup perlahan dan tangis mulai menyayat.

“Satriaaa…” teriakku histeris. Aku bingung. Tangan itu masih saja diam, meski aku meremasnya.

“Dia sudah pergi nak…” Sebuah suara di belakangku, mengabarkanku akan apa yang baru saja terjadi.

“Innalillahi wa inna illaihi roji’un…” Kalimat itu saling bersahutan ku dengar dan aku menimpalinya dalam hati.

“Satria…” desisku tertahan. Aku lunglai tidak berdaya. Mengapa secepat itu dia Pergi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar