Chapter 2
Pertemuan Terakhir
Hari mulai gelap. Hujan sudah berhenti. Aku menyuruh Nayshila pulang ke rumahnya. Aku khawatir kalau-kalau orangtuanya panik mencari Gita yang pergi tanpa pamit.
“Makasih ya Key. Aku pulang dulu.”
“Eh, kamu pernah bilang nggak boleh ada kata terimakasih dalam persahabatan jadi, jangan bilang seperti itu!”
“Iya Key.” Nayshila tersenyum tipis.
Aku mengantarnya sampai ke pagar rumahku, aku peluk Nayshila dan berpesan agar ia lekas pulang. Tak kusangka itu kali terakhir aku memeluk dan melihat senyumnya.
Memang akhir-akhir ini ia sedang menghadapi masalah, di sekolah ataupun di rumahnya. Ia pernah bercerita bahwa ia selalu merasa orang-orang di sekitarnya selalu menyalahkan dirinya, membebaninya dengan berbagai tugas yang seharusnya dilakukan secara bersama-sama, dan ketika ia ingin berbagi masalah dengan teman-teman di sekelilingnya, mereka menulikkan telinga begitu saja, tidak peduli apa yang ia katakan sampai selesai. Hal itu membuatnya memendam seluruh perasaan dan masalah-masalahnya sendiri.
Aku sadar bahwa aku tidak pernah menjadi seorang sahabat bagi dirinya, karena aku terlalu egois, tak pernah ada di sisinya untuk mendengarkan atau hanya menemaninya.
Pertemuan Terakhir
Hari mulai gelap. Hujan sudah berhenti. Aku menyuruh Nayshila pulang ke rumahnya. Aku khawatir kalau-kalau orangtuanya panik mencari Gita yang pergi tanpa pamit.
“Makasih ya Key. Aku pulang dulu.”
“Eh, kamu pernah bilang nggak boleh ada kata terimakasih dalam persahabatan jadi, jangan bilang seperti itu!”
“Iya Key.” Nayshila tersenyum tipis.
Aku mengantarnya sampai ke pagar rumahku, aku peluk Nayshila dan berpesan agar ia lekas pulang. Tak kusangka itu kali terakhir aku memeluk dan melihat senyumnya.
Memang akhir-akhir ini ia sedang menghadapi masalah, di sekolah ataupun di rumahnya. Ia pernah bercerita bahwa ia selalu merasa orang-orang di sekitarnya selalu menyalahkan dirinya, membebaninya dengan berbagai tugas yang seharusnya dilakukan secara bersama-sama, dan ketika ia ingin berbagi masalah dengan teman-teman di sekelilingnya, mereka menulikkan telinga begitu saja, tidak peduli apa yang ia katakan sampai selesai. Hal itu membuatnya memendam seluruh perasaan dan masalah-masalahnya sendiri.
Aku sadar bahwa aku tidak pernah menjadi seorang sahabat bagi dirinya, karena aku terlalu egois, tak pernah ada di sisinya untuk mendengarkan atau hanya menemaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar