Chapter 4
Kanker???
Aku masih asyik, di depan layar monitorku. Mengedit laporan keuangan yang belum sempat aku selesaikan kemarin di kantor. Seharusnya liburan seperti ini, aku menikmatinya. Tetapi aku telah kehilangan selera untuk menikmatinya. Aku memilih mengerjakan apapun agar rasa sepi yang seringkali menemaniku terasa berkurang. Silvia juga menemaniku. Maklum sama-sama JOJOBA (JOmblo-JOmblo BAhagia).
“Hmmm… Tari…” panggil Silvia menggantung padaku. Aku hanya meliriknya sedikit dengan ujung mataku dan tidak meninggalkan sedikit pun pandanganku dari layar untuk merespon panggilannya. Dan Silvia lama untuk meneruskan panggilan itu, mungkin saja pikirannya masih asyik dengan majalah di pangkuannya itu.
“Lo tahu nggak istrinya Satria?” Aku heran untuk apa Silvia tanyakan itu, karena itu tidak lagi penting untukku. Meski 2 bulan yang lalu sebelum mereka menikah, Silvia juga hampir menunjukkan karateristiknya. Dan masih seperti kemarin, aku menganggap itu semua tidak penting lagi dan aku tidak peduli.
“Dia sakit kanker…”
“Whattt…” tiba-tiba tanganku meng-klik huruf itu sehingga terbaca di layar dan aku menghapusnya setelah sadar. Aku menoleh, mencari keterangan lebih lanjut pada Silvia.
“Sakit…?!”
“Ya…” jawabnya singkat.
“Darimana lo tahu? Udah lama? Kenapa lo nggak bilang waktu itu sama gue?”
“Bukannya lo bilang itu nggak penting?” Silvia menggodaku.
“Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit.” Lanjutnya.
“Satria???”
“Hallooo… istrinya, Tari sayang… bukan Satria.”
“Ya, maksud gue… Satria gimana? Ah sudahlah emangnya penting ya, apa gue harus tahu…” Kali ini aku mencibir, karena sadar Silvia telah mengejekku.
“Apa Satria nggak tahu ya kalau “Nenek Sihir” sakit?” tanyaku sendiri, bengong.
“Apa…?!” ulangi kata-katamu tadi, istrinya Satria… bukan “Nenek Sihir”…!!”
Aku tersenyum. “Ya maaf, habisnya gue kan nggak tahu namanya siapa?”
“Emang penting ya?” Silvia tersenyum. Sekali lagi mengejek.
“Terserah, mau istrinya yang sakit atau Satria yang sakit, bodo’ amat…!!”
“Bener nih, kalau Satria yang sakit, lo nggak bakalan menangis iba? Eh, kenapa kita malah ngetawain orang yang dapat bencana sih…” tiba-tiba Silvia menjadi seorang peri sok bijak.
“Ya udah… gue ucapin… semoga… bahagiaaa… buat mereka…” ucapku dengan nada tidak ikhlas.
Kanker???
Aku masih asyik, di depan layar monitorku. Mengedit laporan keuangan yang belum sempat aku selesaikan kemarin di kantor. Seharusnya liburan seperti ini, aku menikmatinya. Tetapi aku telah kehilangan selera untuk menikmatinya. Aku memilih mengerjakan apapun agar rasa sepi yang seringkali menemaniku terasa berkurang. Silvia juga menemaniku. Maklum sama-sama JOJOBA (JOmblo-JOmblo BAhagia).
“Hmmm… Tari…” panggil Silvia menggantung padaku. Aku hanya meliriknya sedikit dengan ujung mataku dan tidak meninggalkan sedikit pun pandanganku dari layar untuk merespon panggilannya. Dan Silvia lama untuk meneruskan panggilan itu, mungkin saja pikirannya masih asyik dengan majalah di pangkuannya itu.
“Lo tahu nggak istrinya Satria?” Aku heran untuk apa Silvia tanyakan itu, karena itu tidak lagi penting untukku. Meski 2 bulan yang lalu sebelum mereka menikah, Silvia juga hampir menunjukkan karateristiknya. Dan masih seperti kemarin, aku menganggap itu semua tidak penting lagi dan aku tidak peduli.
“Dia sakit kanker…”
“Whattt…” tiba-tiba tanganku meng-klik huruf itu sehingga terbaca di layar dan aku menghapusnya setelah sadar. Aku menoleh, mencari keterangan lebih lanjut pada Silvia.
“Sakit…?!”
“Ya…” jawabnya singkat.
“Darimana lo tahu? Udah lama? Kenapa lo nggak bilang waktu itu sama gue?”
“Bukannya lo bilang itu nggak penting?” Silvia menggodaku.
“Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit.” Lanjutnya.
“Satria???”
“Hallooo… istrinya, Tari sayang… bukan Satria.”
“Ya, maksud gue… Satria gimana? Ah sudahlah emangnya penting ya, apa gue harus tahu…” Kali ini aku mencibir, karena sadar Silvia telah mengejekku.
“Apa Satria nggak tahu ya kalau “Nenek Sihir” sakit?” tanyaku sendiri, bengong.
“Apa…?!” ulangi kata-katamu tadi, istrinya Satria… bukan “Nenek Sihir”…!!”
Aku tersenyum. “Ya maaf, habisnya gue kan nggak tahu namanya siapa?”
“Emang penting ya?” Silvia tersenyum. Sekali lagi mengejek.
“Terserah, mau istrinya yang sakit atau Satria yang sakit, bodo’ amat…!!”
“Bener nih, kalau Satria yang sakit, lo nggak bakalan menangis iba? Eh, kenapa kita malah ngetawain orang yang dapat bencana sih…” tiba-tiba Silvia menjadi seorang peri sok bijak.
“Ya udah… gue ucapin… semoga… bahagiaaa… buat mereka…” ucapku dengan nada tidak ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar