Kamis, 07 Januari 2010

Edelweiss (1)

Chapter 1

Memori Biru




Ini Memori biru

Rangkuman kebersamaan

Dalam hari-hari yang singkat

Kesederhanaan alur kisah,

Dan saling mengasihi adalah sebuah kebahagiaan

Semuanya tumbuh seiring kenangan

Sehingga sang waktu pun...

Tak mampu memupusnya



(Indra Danuatmadja)

Catatan Kecil Perjalanan



***



Bromo. 10:15 Malam.

Aku baru saja mengedipkan mata ke arah Rendy ketika Mami sudah berdiri di belakang kami dengan muka butek. Terlambat. Anak itu memang lamban. Selamban kura-kura. Slow motion-nya bikin celaka. Dia lebih gemulai ketimbang balerina.



”Ren-dy! Apa-apaan sih kalian ini?!” Wanita gemuk itu menjerit dengan suara semirip lengkingan knalpot bajaj.



”Sa-saya mau ke toilet dulu, Mami!”



Ryan sudah mengambil jurus langkah seribu begitu mami melototkan mata sebesar ikan maskoki. Dia terbang segesit Elang yang mau menyergap mangsanya. Rendy nyaris terjatuh dari kursinya. Gagal menyembunyikan botol miras. Prahara tidak dapat dielakkan! Aku menepuk dahi. Dan mengaduh dalam hati. Kesal. Anak itu selalu bikin ulah. Kali ini Mamai pasti akan mengeluarkan petuah-petuah bijaknya yang sepanjang tujuh halaman folio ketik dua spasi. Seperti syarat penulisan cerpen pada sebuah majalah remaja. Tentu saja. Sebagai orang yang dituakan-dalam rombongan tur, Keysha Seruningtyas (Mami) adalah peserta dengan usia terlanjut-dia ingin menunjukkan eksistensinya sebagai pemimpin yang baik. Mami adalah ibu dari Beby Galia Putri. Satu-satunya siswi yang memboyong ibunya ke acara tur perpisahan kelas kami.



Hah, cengeng banget memang kedengarannya.



Tapi kalau tidak begitu, katanya sih dia tidak diperbolehkan ikut.



Mami merampas botol yang disembunyikan Rendy di belakang punggungnya.



”Apa itu?!” Tanyanya gusar.



”Itu wiski, Mami.” Aku menjawab memotong amarahnya yang sudah di ubun-ubun.



”Astaga!” Mami mendesis, menolehkan kepalanya ke arahku.



”Udara dingin sekali, anak-anak Cuma ingin menghangatkan badan dengan wiski itu, Mami.”



”Tapi itu bukan alasan untuk bermabuk-mabukkan?!”



”Maaf Mami. Tentu saja bukan untuk bermabuk-mabukan...”



”Rendy!” Wanita berwajah tirus itu kembali mengarahkan pandangannya yang tajam ke Rendy masih terdiam kaku di tempatnya duduk seperti patung.



”Kamu yang beli ya?”



”Maaf, Saya yang membelinya, Mami.”



Mami mengibaskan tangannya. Lalu pergi meninggalkan kami dengan bibir separuh mencibir. Bersungut-sungut seperti kebiasaannya. Dia langsung kembali ke kamar tanpa bilang apa-apa lagi. Memarahi kami dengan diam sampai dua kali dua puluh empat jam seperti biasa!



Mami tidak melanjutkan amarahnya dengan berteriak-teriak seperti biasanya.



Setelah aku berkorban mengambil alih tanggung jawab, otomatis dia memaklumi keadaan yang tidak mengenakkan itu.



Dia tahu aku pasti melindungi anak-anak!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar