Selasa, 12 Januari 2010

Pernikahan Simulasi (4)

Chapter 4
Pertengkaran


Dan hari-hari berganti menjadi minggu dan bulan yang melelahkan dan membosankan. Kirana bisa mentolerir kebiasaan Raditya membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Dia bisa memaklumi kegemaran Raditya nonton film action, genre yang paling tidak dia minati dan sepak bola, olahraga yang menurutnya amat membosankan. Kirana bahkan bisa memaafkan kebisaaan Raditya mengeluarkan pasta gigi dengan menekan bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa dilakukannya.

Hanya satu yang belum sanggup diterima Kirana, cara Raditya menghabiskan akhir pekannya. Setiap minggu pagi Raditya berangkat sebelum jam enam pagi untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya dan sorenya sekitar jam setengah empat dia pergi memancing.

Untuk Kirana yang selalu menghabiskan waktu Luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke pameran lukisan lain, dari mal ke mal dan berakhir dengan acara makan-makan. Kebiasaan Raditya itu sama sekali tidak bisa dipahami oleh Kirana. Kirana tak sanggup menonton Raditya bermain sepak bola atau menemaninya memancing, karena dia dengan sangat cepat akan merasa bosan.

Sebulan pertama Kirana berusaha mengerti. Tetapi Raditya selalu pulang dengan mata berbinar hingga dia tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabarannya tandas dan pagi itu, saat dia tengah memasukkan botol air minum dan kotak roti Raditya ke dalam tas, Kirana memintanya untuk tidak memancing.

“Temenin gue jalan-jalan ke mal sore ini yuk, Dit?” pintanya.

“Lo kan bisa pergi sendiri, Ran.” Kata Raditya sambil memasukkan kaos bersih dan handuk kecil ke dalam tasnya.

“Seingat gue lo pernah janji, kalo lo bakalan selalu ngegandeng tangan gue ke manapun gue pergi.”

“Gue nggak bisa ngebatalin rencana memancing gue hari ini, Ran.” Raditya masih tetap tak memandang ke arah Kirana, dia masih sibuk dengan sepatu bolanya.

“Gue udah janji ama temen-temen gue bakalan nyobain tempat pemancingan baru.” Lanjutnya.

“Lo kan bisa nyobainnya minggu depan aja.”

“Tadi malam nggak ada bulan, Ran. Ikan-ikan tuh bakalan sangat rakus hari ini,” Raditya tersenyum sambil melompat-lompat sebagai pemanasan dengan sepatu bola barunya. “Gue bisa mecahin rekor sepuluh kilo ntar sore,” Lanjutnya lagi.

“Minggu depan voucher diskon salon gue udah nggak berlaku lagi,” gumam Kirana.

“Ntar gue kasih uang tambahan deh, buat lo ke salon.” Sahut Raditya ringan sambil mulai lari-lari di tempat.

“Berapa sih diskon yang lo dapet dari voucher itu? Kalo gue kasih lima puluh ribu cukup nggak?” sambungnya.

“Radit! Itu Cuma cukup buat beli minutan atin di salon.”

“Haaa… gue bisa cukur rambut, pijat plus minum kopi dengan lima puluh ribu.”

“Ya, Tuhan Radittt!”

Raditya berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapan Kirana dengan tangan di pinggang. “Ran, lo tuh udah cantik banget tahu nggak sih. Jadi lo tuh nggak perlu repot-repot buat ke salon lagi.”

“Thank you, gue udah cukup yakin ama kecantikan gue sendiri. Yang gue butuhin Cuma keluar dari rutinitas harian yang membosankan ini dan gue memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”

“Terus…? Sekarang lo lagi nungguin apaan? Ya udah pergi aja, Ran. Gue nggak ngelarang lo kok. Kalo lo bawain gue oleh-oleh, gue akan lebih tidak keberatan.”

“Ini bukan masalah lo ngelarang gue apa nggak, Dit. Apa enaknya coba jalan-jalan di mall sendirian? Kayak anak ilang aja, gue butuh temen Dit.”

“Kalo gitu ajak aja temen-temen lo, gampang kan?”

“Udah.”

“Ya udah terus nunggu apaan lagi?”

“Mereka udah punya acara sendiri-sendiri, dengan suami-suami mereka.” Kirana menekankan pada kata suami dengan harapan Raditya akan peka dengan maksudnya.

Raditya mengerutkan keningnya. “Lo mau ngelewatin hari minggu ama gue, suami lo? Hi…Hi..” tawa Raditya.

“Iyaaa!”

“Aduh Ran, kenapa lo nggak bilang dari tadi sih. Tentu aja lo boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Gue bakalan seneng banget kalo lo ada disana.”

“Radityaaa! Lo ini buta, tuli atau apa sih? Lo tahu kan gue benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!” jerit Kirana.

“Mata Raditya menyipit. “Dan lo juga tahu kalo gue paling alergi jalan-jalan ke mall,” desisnya.

“Gue pikir udah waktunya lo mengalah sekali-kali, Dit.”

“Mengalah!” Suara Raditya meninggi.

“Apa gue masih kurang mengalah selama ini? Ran, lo udah menyita enam kali dua puluh empat jam waktu gue, apa lo nggak bisa ngasih gue….”

“Tunggu…” potong Kirana.

“Enam kali dua puluh empat jam? Cuma enam kali dua jam , Dit! Kita Cuma bener-bener ketemu dan ngobrol satu jam waktu sarapan dan satu jam lagi waktu makan malam!”

“Kita bisa aja ngobrol lebih banyak kalo lo mau lebih banyak melewatkan waktu lo ama gue! Tapi nggak kan? Lo malah lebih milih mengurung diri di kamar dengan meletus atau cemilan… atau apalah namanya…”

“Juventus, AC Milan! Ran”

“Ya apapun itulah! Sorry Dit, waktu gue terlalu berharga buat dipakai nontonin orang-orang saling sikut atau nendang tiap dua menit atau dua puluh dua orang yang memperebutkan satu buah benda bundar yang terbuat dari kulit, yang disebut bola itu!”

“Paling nggak, itu nggak mengada-ada dan bisa dimengerti daripada film-film lo yang becek atau banjir air mata itu!”

“Lo childish, Dit!”

“Dan lo, Tuan putri yang egois!”

Raditya menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu belakang. Dan Kirana masuk ke kamar dan membanting pintunya sekeras mungkin.

Dada Kirana mulai terasa sesak dan kepalanya sakit, kemudian dia mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Gue benci jadi cengeng, dan air mata kecewa ini mulai membuat mata gue pedih. Gue sama sekali nggak pernah ngira sesuatu yang kayak gini terjadi ama gue. Gue tahu Radit ngelakuin ini semua, simulasi ini buat gue. Tapi selama ini gue nggak pernah nuntut apapun dari dia.”

“Sebaliknya, gue udah banyak banget berkorban sejak ngelakuin pernikahan simulasi ini ama Radit. Ngurangi jadwal clubbing gue, pulang dari kantor secepat mungkin, memperhitungkan apa Radit bakalan suka sama makanan yang gue beli. Apa Radit juga udah berbuat banyak seperti gue? Jawabanya…NGGAK!”

Akhirnya Kirana keluar dengan mata besar seperti mata kodok, membuka lemari es dan mengeluarkan satu kotak es krim coklat kesukaannya dari frezer. Pagi itu dilewatkannya di depan TV, menyaksikan film melankolis. Air matanya dibiarkannya meleleh tanpa henti dan sekotak es krim itun pun habis tanpa terasa.

Raditya kembali jam setengah sebelas siang, masih cemberut. Dia langsung mandi dan sudah rapi dengan t-shirt dan celana jinsnya. Kemudian dia duduk manis di samping Kirana yang sedang bermalas-malasan duduk di sofa ruang TV.

“Kalo lo mau ke mall, gue saranin lo mandi dan dandan sedikit.” Kata Raditya.

“Gue nggak mau pergi ke mall.”

“Lo bilang tadi pagi….”

“Gue nggak mau ngerepotin lo. Gue nggak mau lo gatel-gatel karena alergi lo kumat.”

“Kiran, kalo kita nggak pergi sekarang, kita bisa pulang kesorean. Gue ada janji jam empat….”

“Gue bilang gue nggak mau ke mall! Lo bisa pergi mancing sekarang sama temen-temen lo, kalo lo mau.”

“Jangan kayak anak kecil gini deh, Ran.” Geram Raditya.

“Ayo! Teriaknya lagi.

“Nggak! Dan kalo lo mau marah terus minggat kayak dulu lagi, silakan! Gue nggak perduliii!” Teriak Kirana.

Wajah Raditya benar-benar merah sekarang. “Kiran! Jangan main-main sama gue! Gue nggak mau lo nolak pergi jalan-jalan terus ngehukum gue dengan cemberut sepanjang hari kayak gini. Mandi sekarang, kita pergi setengah jam lagi.”

“Gue bukan budak lo. Jangan suruh-suruh gue. Dan gue tetep nggak mau pergi.”

“Oke. Terserah! Kalo lo mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihi diri sendiri dan melar…melar…melar…melar dan melar….”

“Radit!” Jerit Kirana sambil melempar kotak es krim di tangannya ating Raditya. Raditya terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.

Kirana lari ke kamarnya, membanting pintu dan melempar dirinya ke tempat tidur, sesenggukan. Dia mendengar Raditya memaki dan menendang pintu. Saat itu Kirana merasa takut, takut sekali. Raditya seperti telah menjadi manusia lain yang tak pernah dikenalinya sama sekali, asing dan mengerikan. Kirana menutup telinganya dengan bantal dan terus menangis hingga tenggorokannya sakit dan kepalanya berat serta memaksanya tertidur kelelahan.

Sorenya Kirana keluar mengendap-endap. Sementara itu Raditya telah pergi memancing disaat dirinya masih menangis karena kata-kata Raditya yang kasar, yang membuatnya makin marah kepada Raditya. Kali ini Kirana yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkan Raditya dan kembali ke rumah orang tuanya. Maka ketika selesai mandi Kirana segera memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper.

Di saat itulah Raditya ating. Dia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat dia melihat koper Kirana dari pintu kamar yang terkuak.

“Apa-apaan nih, Ran?” Tanya Raditya.

“Gue mau pulang ke rumah nyokap.”

Raditya masuk dan duduk di atas kasur Kirana, mengawasi gerak-geriknya. “Semudah ini lo nyerah?”

“Ini diluar dugaan gue.”

“Apa?”

“Gue nggak pernah ngira, kalo gue married ama monster.”

Raditya hanya terdiam dan menunduk.

“Gue…, Gue bawa pizza kesukaan lo.” Kata Raditya lirih.

“Gue udah terlalu gemuk.”

Raditya menggeleng dengan ekspresi bersalah. “Nggak. Lo cantik kok, Ran.”

“Gue nggak butuh pendapat lo. Karena lo bukan suami gue, inget? Jadi penilaian lo nggak punya arti apa-apa buat gue.”

“Gue udah coba buat jadi suami yang baik.”

“Lo gagal, Dit!”

“Seenggaknya gue udah coba. Dan lo… lo nggak ngelakuin apapun supaya pernikahan kita berhasil….”

“Simulasi, Dit.”

Raditya menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Ya, simulasi.”

“Lo salah, Dit. Gue udah ngelakuin terlalu banyak. Gue udah belajar terlalu banyak. Dan gue udah ngambil keputusan. Gue nggak pernah mau menikah. Gue nggak suka menikah. Apalagi sama lo.”

Raditya tidak mengatakan apa-apa, lama sekali. Kemudian dia keluar dari kamar Kirana dan seketika itu Kirana ambruk di atas tempat tidur. Semua topeng ketegaran Kirana hancur berkeping-keping, Kirana tak pernah menyangka Raditya bisa menyakitinya sehebat ini. Lama kemudian. Setelah Kirana bisa sedikit menguasai dirinya, dia bangkit. Merapikan dandanannya dan menyeret kopernya keluar.

“At least lo tunggu ampe hujannya reda,” suara Raditya menyambut Kirana.

“Terlalu lama, Gue nggak bisa tinggal lebih lama lagi sama lo, gumam Kirana.”

Kirana tak peduli hujan yang serta merta mengguyurnya sampai basah kuyup saat dirinya membuka pintu gerbang dan mengeluarkan mobil. Meninggalkan Raditya secepatnya, hanya itu yang ada di benaknya. Dan ketika mobilnya tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, dia begitu berang dan putus asa hingga dia keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya. Dan air matanya larut begitu saja dalam siraman hujan.

Disaat itu juga Kirana melihat Aditya datang, berlari tanpa payung menghampirinya. Tanpa mengatakan apa-apa Raditya mencabut kunci mobil Kirana dan mengunci mobil itu dari luar.

“Ayo pulang,” kata Raditya.

Kirana hanya menggeleng tanpa berani menatap wajah Raditya di hadapannya.

Dan Raditya mengangkat Kirana, menggendongnya, tanpa menghiraukan perlawanan Kirana. Raditya membopongnya sampai ke rumah dan tak memberikan Kirana kesempatan untuk melepaskan diri.

Setiba di dalam rumah, Raditya mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.

“Ganti baju lo,” kata Raditya kemudian.

“Semua baju gue di dalam koper.”

“Pake baju gue aja.”

“Nggak akan pernah dan gue nggak sudi!”

Raditya mencengkram pergelangan tangan Kirana dan menatapnya lurus dengan mata berkobar, “Ini bukan waktunya lo ngelawan gue, Ran. Lo bisa sakit!”

“Monster,” desis Kirana.

Malam itu suhu tubuh Kirana menanjak naik, kepalanya terasa sakit dan tenggorokannya nyeri. Kirana masih ingat saat Raditya menyuruhnya menelan sebutir tablet penurun panas dan dia membangkang. Ketika abang Kirana datang untuk memeriksa keadaannya, dia masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuanya.

Setelah itu bagi Kirana semuanya menjadi kabur. Kesadarannya kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika Kirana terjaga dan menemukan Raditya tengah mengganti kompres di dahinya, sentuhannya begitu hangat dan menentrankan. Ketika dirinya tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi buruknya dan mendapati Raditya tengah membersihkan ceceran muntahannya di lantai. Dan ketika dirinya terbangun dari tidur yang membuatnya gelisah dan merasakan tangan Raditya erat menggenggam jemarinya.

Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, Kirana terbangun dan nyala api dan dadanya telah padam. Jendela kamarnya terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari taman di luar kamarnya. Ibu Kirana tengah duduk di samping jendelanya dan membaca.

“Mama.”

Ibu Kirana menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat dirinya menghampiri Kirana. “Bagaimana? Sudah enakan, Ran?”

“Radit mana, Ma?” bisik Kirana.

“Ah, pertanyaan bodoh. Seharusnya tadi gue tanya, dimana gue sekarang atau at least siapa nama gue. Kenapa pertanyaan pertama gue harus tentang Radit?” Rutuk Kirana pada diri sendiri.

“Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.” Jawab ibu Kirana sambil tersenyum mengelus rambut anak bungsunya.

“Gue sakit dan dia pergi ke kantor. Heh…memang suami teladan.” Maki Kirana dalam hati.

“Mama udah berapa lama di sini?”

“Dari pagi. Kamu tidak ingat mama datang pagi tadi?”

Kirana mencoba menggeleng dan dirinya merasa kepalanya serta merta seperti terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkannya adalah, Raditya sama sekali tidak peduli kalau dirinya sedang sakit. Dia berbalik dan memejamkan matanya. Air matanya yang panas luruh satu-satu.

Sore itu ketika Raditya pulang, Kirana berpura-pura tidur. Kirana sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengan Raditya.

“Bagaimana, Ma?” tanya Raditya, suaranya mendekati tempat tidur Kirana. Dan kemudian tangannya hinggap di dahi Kirana. Hangat dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya dia menyentuh leher Kirana, dan kalaupun pada saat itu Kirana sanggup menempiskan tangan Raditya dengan tenaganya yang nyaris nihil. Dan dia takkan sudi melakukannya.

“ Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”

Tangan Raditya berpindah ke bahu Kirana dan mulai memijat dengan lembut. “Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti.” Pinta Kirana dalam hati. Tapi kemudian Raditya bangkit dan merapikan selimut Kirana sambil terus bicara dengan ibu Kirana.

“Kalau Mama capek, Mama bisa ambil cuti besok.”

Ibu Kirana tertawa kecil. “Kamu sendiri? Kamu tidak tidur entah berapa malam dan kamu mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Kirana. Apa kamu tidak capek?”

“Saya pakai baterai Energizer, Ma.”

Ibu Kirana tertawa lagi, “Radit, Radit. Kamu harus istirahat juga. Kalau kamu sakit, Mama nggak yakin kirana bisa mengurusmu sesabar kamu merawat dia.”

“Mama! Radit itu Cuma menantu Mama! Cuma simulasi pula.” Batin Kirana.

“Sudah tanggung jawab saya, Ma.”

“Heh, alangkah klisenya kata-katamu, Dit!” Sindir Kirana dalam hati.

Sunyi, Ibu Kirana cukup lama terdiam. “Kamu betul-betul tidah butuh bantuan Mama?”

“Terima kasih, Ma. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Mama lagi.”

“Ya udah kalau gitu. Kamu tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalu dia mau, Mama sudah buatkan bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”

“Ya, Ma.”

“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Kiran sudah baikkan. Ya udah kalau begitu, Mama pulang dulu ya Dit.”

“Mau saya antar pulang dulu, Ma?”

“Tidak usah, Mama naik taksi saja.”

Dan saat itu juga Kirana bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuk Raditya.

Kirana ingin menghukum Raditya karena kata-katanya yang menyakiti perasaannya. Dia ingin menghukum Raditya karena melukai harga dirinya. Dan dia ingin menghukum Raditya karena membuatnya benci pada dirinya sendiri. Raditya yang membuatnya sakit dan entah berapa lama tak berdaya, dan bahkan terpaksa membiarkan Raditya mengurusnya seperti bayi.

Raditya harus membayar untuk semua penghinaan itu. Kirana benci, sangat benci pada Raditya. Kirana membuat segalanya sangat sulit untuk Raditya malam itu. Kirana memberontak saat Raditya mencoba menyuapinya. Kirana menolak saat Raditya memintanya untuk makan obat.

Kirana meminta Raditya membuka jendela kamar karena dirinya kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena dirinya kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi dan entah sudah berapa belas kali. Kirana meminta Raditya membuatkannya susu yang tidak diminumnya, merebuskan mie Instan yang tidak dia makan, menyiapkan roti yang dibuangnya ke lantai, mengupaskan apel yang dibiarkannya di meja hingga berubah cokelat dan memasakkan omelet yang hanya dicuilnya sedikit. Atau Kirana menyuruh Raditya untuk memijat kakinya, yang dia bilang terlalu keras, terlalu lembek, tidak terasa. Dan saat Raditya mulai terkantuk-kantuk di kursi, Kirana akan membangunkannya untuk menyalakan TV agar dia bisa menyuruh Raditya mengganti chanel tiap kali dia mulai mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuat Kirana sangat puas kalau saja Raditya mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memaki Kirana seperti dulu. Tapi Raditya sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabaran Raditya telah merusak semua rencana balas dendam Kirana selama ini. Semakin lama Kirana semakin menyadari kelembutan di dalam suara Raditya. Yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran dan kelelahan di mata Raditya. Yang Kirana tahu, itu hanya bisa datang dari keputusasaan.

Dengan melemahnya sikap Raditya, malah membuat Kirana merasa bersalah. Dan Kirana pun sadar Raditya juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang Kirana lakukan. Dan kebencian Kirana justru musnah dan berganti rasa kasihan, sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan Kirana, tapi tak bisa dia elakkan.

Menjelang fajar, disaat Kirana mengawasi Raditya tertidur meringkuk di kursi. Kirana teringat lagi akan pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Kirana mengulang kembali setiap kalimat yang diucapkannya dan tiba-tiba dirinya merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Perang batin terjadi pada diri Kirana. “Sebenernya apa sih yang terjadi ama gue? Selama dua puluh lima tahun ini gue bersahabat sama Radit, gue nggak pernah ngerasa terganggu sedikit pun sama hobi dan kegemarannya. Tapi ketika Radit jadi suami simulasi gue, semua hobi dan kegemarannya menjadi sebuah kesalahan fatal buat gue.”

“Padahal masih banyak hal lain yang menyenangkan dari Radit. Kenapa gue sampai bisa ngelupain itu dan ngebiarin kemarahan sesaat ngebutain mata gue? Kenapa?”

“Permintaan gue wajar kok, dan gue pun berhak meminta Radit nemenin gue kemana pun gue mau. Dan Radit? Radit juga sama bersalahnya sama gue, karena dia yang mengobarkan pertengkaran konyol itu. Tetapi Radit lebih bisa berbesar hati buat nyingkirin pertengkaran itu. Sementara gue? Gue justru memupuk dendam dan benci sama dia. Jadi siapa sebenrnya yang jadi pemenang dalam kontes kedewasaan ini? Siapa? Radit? Atau Gue?”

Ketika Kirana terbangun keesokkan paginya, Raditya menyambutnya dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Raditya membantu Kirana ke kamar mandi dan Raditya pun tidak protes ketika Kirana memintanya untuk tidak mengunci pintu. Raditya telah menyediakan kursi di dekat wastafel agar Kirana tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak, Raditya telah menyediakan pakaian bersih untuk Kirana dan bahkan meletakkan bedak dan sisirnya. Sehingga saat Kirana keluar dari kamar mandi, dirinya akan merasa jauh lebih segar dan hidup.

Ketika Kirana kembali ke kamar, dia melihat seprainya telah diganti, mejanya telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurnya telah diganti dengan yang baru. Ketika Raditya duduk di pinggir tempat tidurnya, menambahkan gula pada susu cokelatnya dan mengolesi roti sarapan paginya dengan selai, Kirana hampir saja menangis karena terharu.

“Lo nggak ke kantor?” Tanya Kirana mencoba membuka percakapan, kata-kata ramah pertama yang diucapkan pada Raditya setelah pertengkaran mereka.
“Ini hari minggu, Ran.”

“Gue udah sakit selama seminggu?” bisik Kirana tak percaya.

“Iya,” Raditya tersenyum. “Tapi gue seneng lo udah sembuh sekarang. Gue nggak bisa tenang di kantor mikirin lo terus.”

“Nyokap gue kan ke sini.”

“Iya. Gue kepaksa minta tolong nyokap lo buat ating. Gue bener-bener nggak bisa ninggalin kerjaan gue minggu kemaren. Sorry ya,Ran.”

Kirana hanya menunduk, bersembunyi dari ketulusan di Raditya. Diliriknya jam di atas meja di sebelah tempat tidurnya. Jam setengah delapan pagi. “Lo nggak main bola, Dit?”

Raditya menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai strawberry. “Gue mau ngasih kesempatan ama Agus. Udah dua bulan dia Cuma duduk di bangku cadangan.”

Kirana tersenyum.

“Dia kurang berani nyerang. Nggak segesit gue. Maklum udah agak gendut. Tapi, siapa tahu.” Raditya mengangkat bahu dan tersenyum.

“Lo mau pergi mancing ntar sore?”

Raditya menggeleng lagi.

“Kenapa?” Tanya Kirana penasaran.

“Gue harus ngasih kesempatan ikan-ikan itu buat berkembang biak, Ran. Kalo gue tangkapi terus, mereka bisa punah.”

“Kalo lo mancing lagi, tolong sampein terima kasih gue ama mereka [ikan-ikan] ya?”

“Terima kasih buat apaan?”

“Untuk nunjukin sisi lain dari lo yang nggak gue tahu sebelumnya,” Batin Kirana. Tapi yang keluar dar mulut Kirana malah… “Karena minjemin lo buat gue hari ini.”

Senyum Raditya serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lengan Kirana. “Lain kali kalo lo pengen gue anter ke manapun lo mau, bisa nggak lo bilang ke gue minimal sehari sebelumnya? Bukannya gue nggak mau, tapi kalo gue udah bikini janji sama temen-temen gue, gue kan nggak bisa ngebatalinnya gitu aja Ran?”

Kirana mengangguk dengan mata berkaca-kaca, dengan hitungan detik saja air matanya sudah menetes.

“Gue janji nggak akan sering-sering nonton film action lagi, Kata Raditya kemudian.

“Kita emang perlu ngobrol lebih sering, kayak yang lo bilang. Jangan nangis dong Ran, nanti susu cokelat lo jadi asin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar