Selasa, 12 Januari 2010

Pernikahan Simulasi (10)

Chapter 10
Pengakuan Raditya


Sesampainya di rumah, Raditya langsung menuju ke kamarnya.

“Lo mau gue bikinin nasi goreng nggak,Dit?”

“Ntar aja. Gue nggak laper.”

“Lo kan belum makan apa-apa dari kemarin. Ntar lo sakit lagi. Mau ya?”

Raditya mengangguk dengan mata hampa. Kirana jadi semakin khawatir melihatnya.

“Tunggu disini ya,” ujar Kirana lagi. “Gue nggak lama kok.”

Ketika Kirana baru saja mengambil telur dari lemari es, ia mendengar suara Raditya di kamar mandi. Ditemukannya Raditya membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkannya dan ia hanya bisa terpaku diambang pintu, tak tahu pasti apa yang harus dilakukannya. Insting pertamanya adalah lari keluar mencari bantuan, tetapi ia tak mungkin meninggalkan Raditya dalam keadaan seperti itu. Dihampirinya Raditya dengan ragu.

Perlahan dielusnya punggung Raditya dan sentuhannya agaknya sedikit menenangkan Raditya, dan lambat laun isakan Raditya pun mereda. Dipijatnya tengkuk Raditya dan disekanya keringat di dahi Raditya. Tapi tiba-tiba saja Raditya terkulai lemas, dan kalau saja ia tak segera meraih Raditya ke dalam pelukannya, Raditya pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan dipapahnya Raditya ke kamar dan dibaringkannya Raditya di tempat tidur. Dibukanya kemeja Raditya yang basah dan diselimutinya badan Raditya yang menggigil.

“Sorry, Ran. Gue nggak bisa nangis di depan kayak-kakak gue. Mereka….” Bisik Raditya.

“Nggak pa-pa, gue ngerti kok.” Tangan Kirana masih gemetar saat mengelus rambut Raditya.

“Gue buatin teh panas, ntar lo minum ya?” Raditya mengangguk dan Kirana beranjak meninggalkan Raditya. Ketika Kiran kembali, Raditya kelihatan agak lebih baik.

Dihirupnya sedikit teh yang dibawa Kirana. Wajahnya tak lagi pucat setelah itu. Ketika Kirana merapikan kembali selimutmya, ia memegang tangan Kirana.

“Thanks, ya.”

“Lo pernah ngelakuian lebih dari ini untuk gue.”

“Bukan untuk tehnya. Untuk nggak ngasih gue pernapasan buatan,” Raditya tersenyum nakal.

“Ah, lo Dit!” Kirana ikut tersemyum lega.

“Dan untuk married sama gue,” lanjut Raditya kemudian, ekspresinya begitu serius.

“Seenggaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira gue udah beristri.”

Kirana tetegun sesaat. Suaranya Goyah dan terbata saat mau bicara, “Gue yang seharusnya berterima kasih sama lo.”

“Untuk apa?”

“Untuk setahun yang lo lewatin sama gue. Untuk kesabaran lo. Untuk perngorbanan lo.”

Raditya tersenyum kecil. “Gue nggak ngelakuin apapun yang nggak gue sukain. Ini setahun yang sangat menyenangkan buat gue. Seharusnya gue yang berterima kasih.”

“Jangan maksa deh.” Kirana mencoba bercanda. “Gue yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”

Raditya tersenyum dan mencubit hidung Kirana. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiran Kirana.

“Gue masih nggak ngerti kenapa lo akhirnya mau terlibat dengan ide gila gue,” tanya Raditya.

“Gue juga nggak ngerti, Dit.” Kirana tertawa kecil. “Mungkin gue udah sangat capek berkilah tiap kali nyokap merongrong soal perkawinan. Dan gue ngeliat usul lo itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus. Keengganan gue untuk married, karena nggak ada calon yang pas. Dan keinginan nyokap yang menggebu-gebu untuk segera ngeliat gue married.”

“Apa yang lo dapetin setelah setahun kita married?” Tanya Raditya dengan mimik yang lebih serius.

Kirana terdiam sejenak. “Banyak,” jawab Kirana akhirnya. “Gue belajar bahwa gue nggak married sama malaikat atau monster, tapi dengan manusia yang punya kekurangan yang harus gue maafin dan keistimewaan yang nggak bisa gue abaikan. Gue belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita nggak mendapatkan apa yang kita inginkan nggak selalu berarti kekalahan, tapi bisa jadi itu suatu kemenangan bersama.”

Kirana ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan CINTA dan keSETIAan seperti gurun memerlukan air, tapi dirinya tak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

“Lo emang selalu pinter ngomong, Ran.” Raditya tersenyum.

“Lo sendiri? Apa yang lo pelajari selama ini?”

“Cuma satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kamu pergi.”

Kirana tertegun. “Maksud lo?”

Raditya bangkit dan duduk bersila diatas tempat tidurnya sambil menatap Kirana. “Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kamu tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kamu akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kamu mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kamu juga akan kehilangan akal sehatmu seperti aku.”

Kirana menatap wajah Raditya lekat-lekat. Dan dilihatnya Raditya tidak kelihatan sedang bercanda. Raditya tampak sangat tenang dan serius. Tanpa terasa panggilan lo-gue telah dirubah Raditya dengan aku-kamu, panggilan yang ditujukan untuk orang yang disayangi, orang yang dicintainya.

“Gue masih belum ngerti,” bisik Kirana.

“Pernikahan ini nggak Cuma sebuah simulasi untukku, Ran. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”

“Apa maksud lo dengan ‘lo mencintai gue’?” suara Kiran tercekik.

“Apa yang tidak kamu pahami? Aku mencintaimu Ran,” kata-kata Raditya begitu lugas, menghantam Kirana seperti sebuah pukulan keras yang membuatnya terhempas.

“Aku mencintaimu sejak kamu memarahiku karena yaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku nggak pernah bisa berhenti mencintaimu sampai sekarang, Ran.”

“Tapi lo… lo nggak pernah….”

“Kamu tidak pernah memberiku kesempatan. Kamu selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain, dan kamu selalu datang kepadaku untuk menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak bisa melukis, tidak bisa menulis puisi. Kalau kamu bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kamu gilai di SMA dulu. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kamu kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kamu nggak pernah biasa-biasa aja, Dit.” Ujar Kirana lirih. “Kamu istimewa dengan caramu sendiri.” Tanpa terasa panggilan lo-gue telah dirubah Karina juga dengan aku-kamu, panggilan yang ditujukan untuk orang yang disayangi, orang yang dicintainya. Benarkah ada rasa sayang? Benarkah ada rasa cinta? Atau hanya rasa kasihan? Seperti yang yang dikatakan Raditya kepadanya.

Raditya mengangkat bahu. “ Tapi tidak cukup untuk kamu cintai.”

Sesaat Kirana hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Raditya, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi Raditya terlihat sungguh-sungguh.

“Kenapa kamu katakan semua ini kepadaku disaat kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kamu inginkan?” Tanya Kirana datar.

Raditya tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah ditemukan Kirana sebelumnya. “Aku sendiri nggak tahu kenapa aku harus mengatakan semua ini sama kamu. Aku Cuma pengen kamu tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kamu akan mencintaiku juga. Tapi sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku Cuma pengen kamu tahu kalau kamu tetap bisa memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika kamu membenciku atau melupakanku sekalipun.”

Raditya tertunduk sesaat. Ada sorot asing berpijar di matanya saat ia kembali menatap Kirana. “Dan kalau kamu tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kamu disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kamu belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku padamu, tapi setidaknya kamu tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”

Raditya menghela napas berat dan kemudian melanjutkan perkataanya. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga. Tapi satu hal yang pasti kebhagiaanmu adalah kebahagiaanku.”

Lama mereka berdua saling berpandangan.

“Terima kasih, Dit.” Desah Kirana akhirnya. Dipeluknya Raditya erat-erat, menyembunyikan air matanya di bahu Raditya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar