Chapter 9
Sepenggal Kenangan Edelweiss
Ada dua hati nan membisu
Tanpa kata
Tanpa sapa
Edelweiss hanya saksi sunyi
Dalam giris lagu hati
Kala airmata kita menitik
Bagai tetesan embun di pucuk cinta
(Indra Danuatmadja)
Edelweiss Cinta Kita
***
Denpasar 07.00 pagi.
Masih terlalu pagi sebenarnya untuk memulai perjalanan.
Aku lunglai. Berdiri di hadapan taksi dengan sikap membisu seperti Arca. Perjalanan ini merupakan pertemuan terakhirku dengan teman-teman sekelas lainnya. Tiga tahun kami bersama dalam suka dan duka. Ada saatnya memang kami harus berpisah. Memilih jalan hidup kami masing-masing setelah menamatkan pendidikan di SMA Tunas Kelapa.
"Indra, mampir-mampir ke rumah ya?" Chacha menjabat tanganku.
"Jangan lupain gue ya Ndra, kalau sudah di negeri orang!" Helen berteriak dari dalam bis.
"Awas lho Ndra, kalau nggak mampir ke rumah waktu pulang ke Jakarta!" teriak Beby Galia Putri menongolkan kepalanya keluar jendela, lalu melambai antusias.
"Sering-sering SMS, ya?" Lanjutnya.
Aku mengangguk.
Langkahku memberat ketika Marvel Andromedha sudah mendesak agar segera berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Telat satu jam, berarti aku harus ketinggalan pesawat.
Pagi itu semuanya seperti membisu.
Aku melambai, namun masih mematung di samping taksi yang akan mengantar ku ke bandara. Entah, keengganan seperti menjerat tubuhku dalam ketidakrelaan berpisah. Kenangan kami demikian kental sehingga memenjarakanku dalam keterdiaman. Aku seperti tidak percaya. Dalam hitungan detik, kami sudah harus berpisah!
Di halaman hotel, bis pun sudah siap mengantar rombongan tur kembali ke Jakarta. Aku tidak ikut pulang ke Jakarta, karena via udara langsung ke Singapura untuk mengikuti tes masuk ke salah satu perguruan tinggi jurnalistik di sana.
Aku lihat Tasya masih menundukkan kepalanya seperti biasa. Dia tidak berkata apa-apa tanda pamit. Aku hanya lihat matanya yang membasah. Aku tahu dia sedih. Sedih sekali. Sayang aku tidak punya cukup waktu untuk menghiburnya. Aku hanya bisa berdoa, semoga prahara keluarganya lekas berlalu.
"Indra, jaga diri baik-baik!" Akhirnya Tasya berteriak dengan suara parau.
Aku mengangguk. Nyaris meneteskan airmata haru. Tapi aku cepat-cepat berbalik, lalu masuk dan duduk di dalam taksi.
Perjalanan dalam hari-hari singkat kebersamaan memang membawa kenangan yang dalam. Di dalam taksi yang melaju kencang menuju bandara, aku sudah tidak kuasa menahan airmata yang menyeruak. Barangkali aku terlalu cengeng dengan akhir kebahagiaan ini. Barangkali juga aku telah jatuh hati kepada Tasya.
Ah, entah kapan aku dapat bertemu, dan merangkai cerita indah bersama gadis itu lagi. Gadis edelweiss itu!!!
Sepenggal Kenangan Edelweiss
Ada dua hati nan membisu
Tanpa kata
Tanpa sapa
Edelweiss hanya saksi sunyi
Dalam giris lagu hati
Kala airmata kita menitik
Bagai tetesan embun di pucuk cinta
(Indra Danuatmadja)
Edelweiss Cinta Kita
***
Denpasar 07.00 pagi.
Masih terlalu pagi sebenarnya untuk memulai perjalanan.
Aku lunglai. Berdiri di hadapan taksi dengan sikap membisu seperti Arca. Perjalanan ini merupakan pertemuan terakhirku dengan teman-teman sekelas lainnya. Tiga tahun kami bersama dalam suka dan duka. Ada saatnya memang kami harus berpisah. Memilih jalan hidup kami masing-masing setelah menamatkan pendidikan di SMA Tunas Kelapa.
"Indra, mampir-mampir ke rumah ya?" Chacha menjabat tanganku.
"Jangan lupain gue ya Ndra, kalau sudah di negeri orang!" Helen berteriak dari dalam bis.
"Awas lho Ndra, kalau nggak mampir ke rumah waktu pulang ke Jakarta!" teriak Beby Galia Putri menongolkan kepalanya keluar jendela, lalu melambai antusias.
"Sering-sering SMS, ya?" Lanjutnya.
Aku mengangguk.
Langkahku memberat ketika Marvel Andromedha sudah mendesak agar segera berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Telat satu jam, berarti aku harus ketinggalan pesawat.
Pagi itu semuanya seperti membisu.
Aku melambai, namun masih mematung di samping taksi yang akan mengantar ku ke bandara. Entah, keengganan seperti menjerat tubuhku dalam ketidakrelaan berpisah. Kenangan kami demikian kental sehingga memenjarakanku dalam keterdiaman. Aku seperti tidak percaya. Dalam hitungan detik, kami sudah harus berpisah!
Di halaman hotel, bis pun sudah siap mengantar rombongan tur kembali ke Jakarta. Aku tidak ikut pulang ke Jakarta, karena via udara langsung ke Singapura untuk mengikuti tes masuk ke salah satu perguruan tinggi jurnalistik di sana.
Aku lihat Tasya masih menundukkan kepalanya seperti biasa. Dia tidak berkata apa-apa tanda pamit. Aku hanya lihat matanya yang membasah. Aku tahu dia sedih. Sedih sekali. Sayang aku tidak punya cukup waktu untuk menghiburnya. Aku hanya bisa berdoa, semoga prahara keluarganya lekas berlalu.
"Indra, jaga diri baik-baik!" Akhirnya Tasya berteriak dengan suara parau.
Aku mengangguk. Nyaris meneteskan airmata haru. Tapi aku cepat-cepat berbalik, lalu masuk dan duduk di dalam taksi.
Perjalanan dalam hari-hari singkat kebersamaan memang membawa kenangan yang dalam. Di dalam taksi yang melaju kencang menuju bandara, aku sudah tidak kuasa menahan airmata yang menyeruak. Barangkali aku terlalu cengeng dengan akhir kebahagiaan ini. Barangkali juga aku telah jatuh hati kepada Tasya.
Ah, entah kapan aku dapat bertemu, dan merangkai cerita indah bersama gadis itu lagi. Gadis edelweiss itu!!!
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar