Kamis, 07 Januari 2010

Edelweiss (8)

Chapter 8

Jingga Kenangan




Kau adalah edelweiss yang terluka

Dalam gambaran duka berkabut nestapa

Dan tangis berlumur darah

Mungkinkah kenangan ini

Dapat menghapus jejak langkah sang angin?

Mungkin tidak, pikirmu!

Tapi di sini aku justru menangis

Sebab kau adalah edelweiss yang tak terjamah tangan



(Indra Danuatmadja)

Aku Cinta padamu Tasya



***



"Gue pikir itu cuma sugesti."



"Sugesti?!"



"Iya."



"Maksud kamu, sugesti...."



"Sugesti itu, di mana sesuatu hal atau benda yangdianggap dapat memberikan nilai makna atau tujuan pada seseorang. Misalnya jimat, bebatuan bertuah, mantra-mantra dan lain sebagainya. Ya mungkin, termasuk edelweiss ini juga!"



"Masa’ sih?"



"Ya menurut gue, Penggambaran edelweiss sebagai bunga keabadian kisah asmara, tidak terlepas dari persepsi yang melegenda. Soalnya, bunga edelweiss tidak mudah ditemukan di sembarang tempat. Edelweiss tumbuh di tempat yang paling terpencil. Biasanya di lereng-lereng bukit yang terjal. Tidak mudah digapai tangan-tangan jahil. Nah, kalau kita bicara soal kata terpencil, di mana sih daerah terpencil pada manusia selain hati?"



"Hm, maksud kamu...."



"Edelweiss itu hanya simbol penggambaran cinta sejati. Cinta abadi seseorang kan berasal dari lubuk hati - mirip dengan tempat tumbuhnya edelweiss di lereng-lereng terpencil."



"Oo… jadi cuma sugesti ya, Ndra?"



"Ya iyalah. Kalau bukan sugesti, setiap orang yang menyimpan edelweiss di dompetnya pasti memiliki pacar yang nggak bakal selingkuh. Bapak-bapak nggak ada yang berpoligami. Hahaha...."



Aku terbahak.



Gadis itu tersenyum.



"Eh, Lo kok pendiam banget sih? Punya masalah?"



"Ng-nggak." Dia menggeleng dengan ragu-ragu.



"Tapi, sayang dong kalau edelweiss itu cuma sugesti!"



"Maksud Lo?"



"Sebenernya, dengan edelweiss ini aku berharap Papa dan Mamaku Jakarta bisa rujuk lagi!"



"Ya ampun, Sya! Jadi...."



"Orangtuaku baru aja bercerai, Ndra!"



"Pantesan lo...."



Aku terkesiap. Sedikit merasa menyesal telah secara tidak langsung menguakkan kembali kisah suram keluarganya yang luluh lantak. Tapi aku memang tidak sengaja. Aku prihatin. Sangat prihatin. Pantas gadis itu seperti tidak memiliki semangat hidup.



"Aku memang bodoh ya, Ndra! Mau percaya...."



"Nggak, Sya!"



"Tapi...."



"Lo jangan ngomong kaya’ gitu dong."



"A-Aku...."



"Lo nggak salah kok, ngelakuin itu semua demi kebaikan orangtua Lo. Tapi alangkah baiknya kalau setiap hari lo berdoa, supaya orangtua lo bisa rujuk lagi. Itu lebih bagus ketimbang bersugesti dengan legenda edelweiss."



"Aku...."



"Gue turut prihatin atas masalah yang menimpa keluarga Lo. Tapi, gue harap lo jangan terlalu sedih. Gue pikir semua itu cuma cobaan hidup buat Lo!"



Aku lihat mata gadis itu berkaca-kaca. Sepasang tangannya yang lembut menyentuh bunga-bunga edelweiss di atas meja. Mengusapnya dengan penuh rasa sayang.



"Ta-tapi bunga-bunga ini...."



"Simpan aja di kamar Lo setelah balik ke Jakarta. Gue yakin, edelweiss itu pasti bakalan membuat ruang kamar lo jadi lebih cantik."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar