Selasa, 12 Januari 2010

Tak Seperti Janji Matahari (3)

Chapter 3

Curhat-ku




Ternyata, ciuman kilatku itu berbuntut panjang. Saat bertemu lagi dengan Helen, dia langsung mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi kiriku, sambil bilang bahwa aku ini anak kecil gila.



Namun, pertemuan berikutnyalah yang membuat aku jadi dekat dengannya. Pertemuan dalam situasi yang sebenarnya tak begitu menyenangkan. Saat itu, aku baru saja dari markas tempat aku dan ‘Genk Rockets’-ku biasa ngumpul. Dengan sempoyongan dan mata setengah tertutup, aku berjalan ke arah pusat kota, untuk menunggu angkot yang akan membawaku pulang ke rumah. Seperti biasa, aku tak lagi berpakaian putih-biru, namun sudah berganti baju biasa. Kalau dilihat sekilas, gayaku kayak anak kuliahan saja.



Pandangan mataku yang kini melihat semuanya sudah menjadi dua, membuat aku agak kesulitan untuk berjalan. Akhirnya, setelah sukses menabrak pagar sebuah restoran, aku langsung terjerembab ke sebuah parit di dekat situ.



“Ya ampun, Rendy.....” Terdengar sebuah suara prihatin. Lalu kurasakan seseorang memegang tanganku, mencoba menolongku untuk bangkit. Perlahan kubuka mataku yang terasa berton-ton beratnya.



“He... he... he... ada dua Kak Helen....” kataku asal.



“Lo kenapa, sih? Rendy… Rendy… Kecil-kecil kok udah belajar mabuk....”



Gadis itu lalu memapahku ke arah sebuah bangku di sudut taman yang berada di sebelah restoran.



“Rendy.... ya ampun, apa kata Nyokap-Bokap Lo kalau mereka ngeliat keadaan Lo kaya’ gini?” Helen mengambil saputangannya, lalu membersihkan debu-debu di bajuku.



Mungkin karena pengaruh alkohol dalam darahku, tiba-tiba saja mulutku mulai menyerocos. Dan, aku lalu mulai ngomong tentang diriku yang merasa kesepian di rumah, tentang absennya kedua orangtuaku secara rutin. Tentang aku, anak semata wayang yang rindu perhatian dari mereka. Hingga aku selesai ngomong, hari sudah mulai gelap. Helen masih dengan sabar duduk di sampingku, mendengar semua keluhanku.



“Ren, Lo mau nggak nemenin Kak Helen nonton besok?” tanya dia.

Aku langsung mengangguk mengiyakan. Dia tak berkomentar sedikit pun setelah aku mengisahkan jalan hidupku.



Esoknya, seusai nonton, kami berdua lalu berjalan ke arah pantai, dan duduk di sana. Dan, setelah itu mungkin itulah yang dinamakan cinta. Ada sebuah reaksi “kimia” yang menarik kami berdua, sampai akhirnya aku tersadar, kepala Kak Helen sudah bersandar di bahuku, dan aku sudah mengecup keningnya lembut. Oh, my God!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar