Chapter 2
Bromo dan Sebuah Kenangan
Biduk di langit masih kering tertawa
Melihat aku yang tetap bercumbu dengan khayal
Menari kata dalam balutan puisi
Membingkaikan rasa dalam bait
Puisi adalah aku
Aku bercinta dengan kata
Dan merangkai menjadi satu kenangan indah
Dekapan kalimat panjang membuai mesra diri
Mengantarkan angin bersenandung lirih di telinga
Menceritakan sebuah kenangan penuh makna
(Indra Danuatmadja)
Sebuah Kenangan
***
Bromo. 10:30 Malam
Dalam perjalanan ke Bromo pagi tadi, bis yang kami tumpangi singgah untuk mengisi bahan bakar di sebuah POM bensin. Ryan iseng membeli wiski di sebuah supermarket mini. Katanya, bekal untuk penghangat badan di daerah dingin ini nantinya. Tanpa sepengetahuan Mami, beserta Rendy dia membeli sebotol ”Minuman Api” itu secara sembunyi-sembunyi.
Sayang nasib tak berpihak. Malang tak dapat dielakkan. Rendy dan Ryan kedapatan sedang meneggak miras. Kontan saja Mami mencak-mencak. Aku segera mengambil langkah darurat untuk menyelamatkan situasi. Dan mengaku sebagai pemilik miras itu.
“Thanks, Ndra.”
“Buat apaan?”
“Kalau bukan karena lo, kita pasti sudah kena gampar.”
“Mami nggak mungkin segalak itu-lah.”
“Tapi....”
“Emangnya lo udah pernah kena gampar Mami, apa?”
“Belum pernah, sih. Tapi....”
“Jangan berasumsi kalau belum terbukti.”
Rendy menundukkan kepalanya. Dipandanginya botol minuman berakohol yang menjadi biang kemarahan Mami. Ryan sudah melarikan diri entah kemana. Anak itu memang rese’. Sudah lempar batu malah sembunyi tangan. Sialan!
“Hai, guys!”
Aku mengedarkan mata ke arah asal suara.
Beby Galia Putri dan Virgo - hm, mereka baru saja jadian, cinlok! - berdiri di bawah bingkai pintu seperti sepasang Ninja. Pakaian hangat yang mereka kenakan sampai menutupi wajah. Hanya menampakkan sepasang mata saja. Aku tahu mereka berdua baru pulang dari warung sebelah bungalo kami. Minum wedang jahe sekaligus 'ehem'.
“Lho, kok pada diem-dieman sih?” Helen nyeletuk dari belakang sepasang 'Ninja' itu.
“Sariawan, ya?” Chacha dan Syafa kompakan, seperti melafalkan dialog skenario.
Mereka muncul serempak, seperti anak kembar.
Rendy duduk terdiam, masih menatapi botol bening berisi cairan berwarna teh di atas meja. Aku berdiri. Mengambil botol itu. Lalu mengangsurkan botol itu ke arah mereka.
“Gara-gara ini!”
“Hei, ini kan parfum dari Paris?” Syafa berteriak girang.
“Ini bukan parfum, dodol!” Chacha menjitak kepala 'kembaran'-nya itu.
“Ini miras! Baca baik-baik! Wiski Cap Topi Miring!”
Syafa nyengir. Mengelus-elus kepalanya yang kena jitak. “Habis, warnanya mirip....”
Chacha mencibir. “Huh, dasar mata rabun!”
Anak-anak peserta tur tertawa terbahak.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar