Selasa, 12 Januari 2010

Pernikahan Simulasi (7)

Chapter 7
Kado Istimewa Raditya


Sore itu, Kirana pulang dengan hati berat. Ia sudah bertekad untuk bicara dengan Raditya malam itu juga. Ia takkan menundanya lagi. Begitu Kirana tiba di rumah, Raditya sudah menunggunya di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat Kirana mendekati teras, hingga Kirana pun berpikir, ada apa sebenarnya?

“Kok, lo udah ada di rumah?” Tanya Kirana.

Raditya menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng Kirana ke dalam rumah.

“Sst!”

“Ada apaan sih?”

Raditya membawa Kirana ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya. Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat menarik, berwarna hijau dengan gambar… mawar putih? Bunga favorit Kirana.

“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” Kata Raditya.

Mata Kirana beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Raditya benar-benar sumringah. Di matanya ada setitik keheranan melihat wajah Kirana yang pasti telah berubah warna…Pucat.

“Gue… Gue nggak punya hadiah apa-apa,” Gumam Kirana sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutnya. “Gue lupa…”

Raditya tertawa. “Sama ulang tahun lo sendiri aja l o lupa, Ran.” Kata Raditya.

Raditya duduk di ayunan itu. “Ayo,” Katanya sambil menarik tangan Kirana.

Kirana duduk disampingnya, tak tahu harus mengatakan apa. Kirana benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, dirinya dan Raditya menikah-simulasi. “Kenapa Radit harus menganggap hari ini sedemikian istimewanya, sementara gue sendiri sama sekali nggak inget?” Batin Kirana.

Raditya mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tangan Kirana. Raditya sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi Kirana sama sekali tak mendengarkannya. Di kepalanya berdenging ribuan kata-kata yang akan segera diucapkannya pada Raditya. Ia telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah dibangunnya runtuh menjadi serpihan.

“Kirana, kamu tidak menyimak kata-kata pak guru ya? Anak nakal.” Candaan Raditya membuyarkan renungan Kirana.

“Ada apa sih, Ran?”

Ditatapnya mata Raditya. “Dit, Pram pulang.”

Dahi Raditya berkerut. “Pram?”

“Mantan gue yang pergi ke Jerman.”

“Oh,” Raditya mengangguk. “Kapan?”

“Sebulan yang lalu, waktu gue ulang tahun.”

Raditya mengangguk lagi. Kirana tak bisa mengucapkan apa-apa lagi setelah itu. “Dia udah married?” tanya Raditya, seperti mendorong Kirana untuk bicara.

Kirana menggelang.

“Terus?”

“Dia mau married sama gue,” ujar Kirana cepat-cepat, tanpa memandang wajah Raditya sedikit pun. “Dia Cuma punya waktu sepuluh bulan lagi disini. Karena itu gue pengen kita pisah, cerai maksud gue.”

“Oh.”

Raditya tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, “Lo yakin dia masih cinta sama Lo, secara dia dulu ninggalin lo gitu aja ke Jerman buat ngejar karirnya?”

Kirana mengangguk.

“Lo yakin, lo bakalan bahagia kalo lo sama dia?”

Sekali lagi Kirana mengangguk.

“Kalo gitu selamat ya,” Ketulusan Raditya terdengar hangat. “Gue ikut bahagia.”

Kirana memberanikan dirinya untuk menatap wajah Raditya. Dan dia tidak menemukan setitik pun kekecewaan disana. Rasa lega membanjiri hatinya.

Raditya bertanya beberapa hal tentang Pram pada Kirana dan semua dijawab Kirana dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, Kirana sadar kalau Raditya tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritanya.

“Dit?” tegur Kirana.

“Ya?”

“Lo nggak ngedengerin gue ya. Lo lagi mikirin apaan sih?”

“Gue lagi mikir, cewek mana yang bisa gue ajak selingkuh, supaya lo punya alasan buat cerai sama gue.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar