Kamis, 07 Januari 2010

Malam Sejuta Bintang (6)

Chapter 6

Janji Sang Bintang Jatuh




Apakah aku mencintai Aditya?

Aku sendiri tak tahu

Dia pernah menjadi mimpiku

Tapi mimpi beda dengan cinta

Mimpi selalu indah

Tapi cinta adalah nyata



(Melati Ananda)

Marvel Andromedha, Cintaku yang Nyata



***



“Halo, Aditya....”



Aditya menyadari dirinya tengah termangu. Entah berapa lama ia terdiam tanpa menjawabi panggilan Marvel di seberang sana. Ditanggapinya sesegera mungkin panggilan personel Zinc 4 yang paling berpengaruh itu.



“Eh, ha-halo, Marvel....”



“Kamu kenapa sih, Aditya?” Suara di seberang sana bertanya dengan nada prihatin.



“Kok diam sampai lama begitu, sih? Apa kamu sakit?”



“Ti-tidak....”



“Aditya, kalian harus datang. Awas kalau tidak!”



Aditya menormalkan suaranya. Disikapinya dengan wajar berita gembira yang didengarnya barusan dari Marvel. Ia memang harus ikhlas. Demi kebahagiaan Melati meskipun hatinya kecewa. Jangan sampai gugup tingkahnya menggambarkan ketidakrelaan. Bukankah ia sendiri juga yang mendesak Marvel untuk mengejar Melati ke Pandewa?! Bahkan ia menyerahkan tiket pesawatnya sendiri kepada cowok itu setelah memukul dagunya karena ngotot tidak ingin mengejar Melati lagi!



“Beres. Kamu tidak usah khawatir. Momen bahagiamu dengan Melati hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Mana mungkin kami melewatkannya? Pasti akan kami rayakan dengan pesta besar! Eh, kalau perlu akan kami borong semua kembang api yang ada di Pandewa. Pestamu pasti bakal lebih meriah ketimbang 'Season of The Fireworks' di Pandewa.”



Suara di seberang sana tertawa. Aditya turut menderaikan tawa. Personel Zinc 4 lainnya, juga Kak Indra ikut tertawa. Dhika mengangkat gelasnya di depan ponsel Aditya. Seolah-olah hendak mengajak suara di seberang sana untuk bersulang. Tingkahnya yang kocak diikuti oleh Reyhan dan Kak Indra. Tiga detik terdengar bahakan yang menggema.



“Hei, kalian sedang apaan sih?” tanya Marvel di seberang sana.



“Berisik sekali!”



“Kamu pikir sedang apa lagi sih, Marvel? Ya tentu saja sedang merayakan kebahagiaan kamu dan Melati.”



“Oh....”



“So, apakah kamu sudah menyiapkan segalanya?”



“Maksudmu?”



“Maksudku, apakah kamu sudah minta restu dari orangtuamu?”



Suara di seberang sana terdengar tercekat. Terdiam untuk beberapa lama. Sedetik kesadaran berpendar di kepala pemuda introver itu. Aditya menyadari ketololannya. Tentu saja seumur hidup Mentari Olivia tidak akan pernah menyetujui hubungan putranya dengan Melati Ananda, gadis yang berasal dari keluarga miskin. Yang sangat tidak sepadan dengan Marvel. Marvel yang merupakan pewaris perusahaan konglomerat Continue Enterprise!



Mentari Olivia merupakan duri dan kendala utama dalam kisah kasih antara Marvel dan Melati. Hati wanita separuh baya itu seolah-olah terbuat dari pualam. Tidak pernah tersentuh oleh ketulusan cinta Melati pada putranya. Dan ketika Marvel memberontak, dan lebih memilih melarikan diri dari kungkungan ibunya, prahara cinta lainnya pun datang susul-menyusul seperti badai. Memporak-porandakan dua hati remaja itu.



Takdir seperti mempermainkan mereka. Di saat cinta Marvel dan Melati menyubur, malapetaka malah datang menghancurkan segalanya. Marvel mengalami kecelakaan parah di Pandewa, menyebabkannya gegar otak akut sehingga amnesia. Peristiwa tragis itu membuatnya melupakan semua identitas dan jati dirinya sendiri, tidak terkecuali kenangan indah yang pernah dijalaninya bersama Melati dahulu.



Setahun sudah peristiwa malang itu terjadi. Kini dua hati itu telah terpaut. Aditya tersenyum seperti biasa. Apakah aku tega menghancurkan kembali momen indah mereka di Pandewa dengan ketidakrelaanku?! Desisnya dalam hati.



“Aditya....”



“What?”



“Awas lho, kalau kalian sampai tidak datang!”



“Don't worry. Besok pagi kami akan langsung terbang ke sana. Hm, doakan semoga kami tiba dengan selamat besok sore di sana, ya?”



“Oke. Tapi, janji ya untuk datang?”



“Jangan khawatir.”



“Aditya....”



“Ada apa lagi?”



“Tolong jangan beritahu siapa-siapa kalau aku dan Melati akan married. Tidak terkecuali orangtua Melati. Juga Rendy. Kami berdua sangat merahasiakan hal ini. Hm, aku tidak mau orangtuaku tahu kabar ini. So, tolong jaga baik-baik rahasia yang kupesankan pada kalian ini.”



“Oke, oke. Pasti kami rahasiakan, kok! Kamu pikir aku mau melihat ibumu mengamuk dan datang mencak-mencak ke Pandewa seperti dulu lagi?”



“Thank you, Aditya.”



“Wait, Marvel! Bagaimana soal pekerjaan Melati?”



“Hm, aku pikir Melati akan memberitahu dan mengatakan pada atasannya di Avianca Travel bahwa dia akan mengambil cuti untuk sementara, dan mungkin akan kembali bekerja setelah pernikahan kami.”



“Oh, baguslah kalau begitu.”



“Apa lagi yang ingin kamu tanyakan?”



“Tidak ada. Hm, kalau begitu sampai besok ya? Jaga diri baik-baik, Marvel. Sampaikan salamku kepada Melati.”



“Oke. Akan kusampaikan.”



“Thank's. Bye.”



“Bye.”



Aditya mematikan ponselnya. Memandang ke arah ketiga sahabatnya yang masih menyembulkan senyum separuh girang. Tanpa diperintah, Dhika langsung mengaktifkan ponselnya. Menghubungi biro perjalanan kenalannya. Memesan tiket yang akan menerbangkan mereka ke Pandewa besok pagi.



Kak Indra kembali mengangkat gelasnya yang sudah nyaris tandas itu tinggi-tinggi ke udara. Dengan suara keras khasnya, ia kembali mengajak sahabat-sahabatnya untuk bersulang.



“Untuk kebahagiaan Marvel dan Melati!”



“Ya, untuk kebahagiaan Marvel dan Melati,” ujar ketiga personel Zinc 4, mengekori kalimat Kak Indra yang sember.



Sedetik setelah terdengar suara keras dentingan gelas di udara, maka membahanalah gelak tawa keempat pemuda itu. Membelah keheningan dinihari di Beemart. Menembusi langit kelam yang ditaburi gemintang.



***



Setelah menghubungi sahabat-sahabatnya di Beemart, Marvel memandang Melati yang masih berdiri di ambang jendela, melayangkan pandangannya ke jalan protokol depan hotel tempat mereka menginap. Wajahnya yang tirus terpantul cahaya dari lampu penerangan kamar. Ada sosok mungilnya membayang di jendela kamar hotel. Riuh aktivitas malam di Pandewa seperti tidak pernah mati. Lalu-lalang kendaraan, kelap-kelip temaram lampu penerangan kota, dan desingnan samar semilir angin dari kejauhan merupakan harmonisasi indah cinta mereka. Setahun lalu, di hotel yang sama, Melati dan Marvel merajut kebersamaan itu.



“Melati....”



Gadis berambut panjang itu mengalihkan perhatiannya dari noktah-noktah cahaya jauh di bawah sana. Dipandanginya wajah sedikit tegang dan lelah kekasihnya. Ia melangkah mendekat. Lalu duduk di pinggir tempat tidur. Marvel menyambut sepasang mata telaga gadisnya dengan menyembulkan senyum sisa euforia.



“Boleh aku minta izinmu?” tanya Marvel, merapatkan duduknya di sisi Melati.



“Apa itu?” Melati balik bertanya.



“Bagaimana kalau pernikahan kita ini disampaikan kepada Kak Tasya di New York?”

Melati terkekeh.



“Dasar Bodoh! Kupikir ada hal penting apa? Siapa takut memangnya kalau kabar gembira kita ini disampaikan pada Kak Tasya? Marvel, kupikir Kak Tasya pasti mendukung kita. Bukankah selama ini hanya dialah yang merestui hubungan kita?”



“Iya, sih. Tapi....”



“Apa kamu takut Kak Tasya akan membocorkan dan memberitahukan pernikahan kita kepada orangtuamu? Atau, kamu takut pernikahan kita ini akan sampai di telinga orangtuaku di Beemart?”



“Bukan begitu. Aku yakin kok kalau Kak Tasya tidak akan membocorkan rahasia kita ini kepada kedua orangtuaku. Justru, dia pasti merasa sangat gembira dengan keputusan kita ini. Cuma yang membuat aku tidak enak hati adalah, bahwa pernikahan kita ini masih dirahasiakan kepada orangtuamu, Melati.”



“Kalau demi kebaikan kita, apa salahnya? Anggap saja surprise buat mereka nantinya. Yang pasti, demi rahasia kita berdua memang selayaknya tidak ada yang tahu kecuali sahabat-sahabatmu di Zinc 4.”



“Aku minta maaf sebesar-besarnya atas kelancangan kita ini, tidak meminta izin dan restu dari kedua orangtuamu. Sebenarnya bukan maksudku begitu, Melati....”



“Sudahlah, Marvel. Nantinya mereka juga akan maklum, kok.”



“Tapi aku merasa bersalah. Aku sudah mempertimbangkan matang-matang untuk tidak memberitahu kedua orangtuamu itu. Pernikahan kita ini sakral, Melati. Aku tidak ingin pertemuan kita ini dipisahkan oleh orang-orang yang berhati egois seperti Ibuku, Melati. Maka dari itu, aku bertindak agak ekstrim dan hati-hati. Lagipula, pernikahan kita tidak dirayakan secara besar-besaran, kok. Aku ingin pernikahan kita berjalan mulus di Taman Century Flower besok lusa.”



Melati mengangguk maklum. Tak sadar airmatanya menitik. Pemuda di hadapannya kini bukan lagi pemuda yang dikenalnya pertama kali di Universitas Indo Power. Pemuda itu sudah jauh berubah. Ia tampak lebih dewasa dan matang. Bukannya lagi Marvel yang angkuh. Yang terlahir dari keluarga konglomerat sehingga menjadikannya sombong! Dan ia semakin jatuh hati padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar