Kamis, 07 Januari 2010

Edelweiss (4)

Chapter 4

Karya Isvara




Lautan pasir menenggelamkan aku

Dalam kata-kata tanpa suara

Ia hadir menghampar

Memaparkan keberadaan Isvara



(Indra Danuatmadja)

Karya Isvara



***



Bromo, 09.07 Pagi.

Wanita yang kami sebut dengan Mami itu sekarang sudah mulai melunakkan amarahnya. Sekarang dia tidak lagi ngambek, dengan cara mendiamkan kami. Banyak hal bagus, akan terlewatkan bila sepanjang perjalanan hanya membatu. Di pinggir puncak Bromo dia malah mulai bercanda dengan Rendy dan Ryan. Masalah semalam seakan sudah dibuangnya jauh-jauh. Interaksinya sebagai seorang ibu yang bersahabat telah merajut ikatan dalam lembar keharmonisan. Sebagai tetua, pemimpin, sekaligus teman yang menyenangkan. Dan dengan cepat beradaptasi dengan peserta tur yang didominasi sembilan puluh sembilan persen kaum muda.



"Pemandangan di sini bagus dijadikan lokasi untuk cerpen, novel dan puisi-puisimu Ndra," usul Mami begitu dia melihatku mulai mencatat nama lokasi di buku catatan kecilku. Kami berjalan beriringan bersama.



"Iya, Mi. Semua keindahan ini merupakan karya agung Isvara!"



"Isvara?! Apa itu?!”



"Oh, itu Tuhan, Mami. Dalam kitab agama Hindu, Isvara itu berarti Tuhan Yang Maha Esa."



"Dasar pengarang. Sepertinya semua hal kamu tahu, ya?"



"Ah, nggak juga Mi. Saya kan masih amatiran, masih belajar kok Mi. Tapi, bukannya penduduk asli Bromo memang penganut agama Hindu?!"



"Ah, iya. Seperti di Bali ya?"



"Iya."



"Terus, judul novel yang mau kamu tulis apa?"



"Belum pasti sih, Mi. Saya masih menulis draf-nya. Tapi mungkin, Sepenggal Kenangan Edelweiss."



"Wah, judulnya bagus banget, Ndra."



"Ah nggak juga Mi, biasa aja. Saya hanya terinspirasi dari alam sekitar."



"Ah, ya, ya. Itu tidak masalah. Yang pasti kalau jadi diterbitin, honornya buat traktir makan Mami dan Bebeb, ya?"



Aku tersenyum menanggapi. Bebeb yang dia sebut tadi adalah nama panggilan kesayangan Beby Galia Putri. Aku kembali tersenyum. Mami sebenarnya kocak. Anak-anak peserta tur semuanya akrab dengannya. Hanya sayang insiden miras semalam merecoki perjalanan tur kami yang cerah ceria.



Kemarin Ryan bikin ulah. Beserta Rendy, mereka menenggak miras di dalam bungalow. Sebenarnya tidak apa-apa, sih. Sebab aku yakin kedua anak itu minum miras bukan untuk mabuk-mabukan. Tapi Mami tentu saja tidak dapat menerima alasan itu. Miras ya miras! Dan anak muda semacam kami memang belum pantas menenggak air api itu. Dengan alasan dan atas nama apa pun!



Tapi untung pagi ini amarahnya sudah padam. Aku lega. Anak-anak biang kerok itu pun sudah mulai mengakrabi wanita empat puluh tahunan itu.



Keceriaan datang kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar