Kamis, 07 Januari 2010

Edelweiss (5)

Chapter 5

Sebuah Legenda




Bromo

Sekuntum edelweiss

Sepasang kuda hitam dan putih

Jejak-jejak kaki para pejuang cinta

Adalah hembusan angin

Yang ditiupkan dari tebing

Kita memang hanya setitik pasir

(Indra Danuatmadja)

Sebuah Legenda



***



Perjalanan ke lautan pasir Bromo sudah dimulai fajar tadi. Marvel Andromedha, pemimpin tur - salah seorang karyawan biro travel yang menyertai rombongan tur sekolah kami - sudah menyiapkan keperluan perjalanan plus sedikit wejangan agar tidak tersesat di rimba pasir malam kemarin. Dan begitu berisiknya bweker erdering pukul tiga, peserta tur yang asyik meringkuk dalam buaian mimpi terpaksa harus bangun. Bergegas masuk ke dalam bis sebelum ditinggal sendirian di bungalaw. Para bidadari sudah on time pukul setengah empat pagi. Telah membungkus diri dengan sweater dan jaket setebal kasur!



Tiba di tujuan, Beby Galia Putri mulai beraksi dengan kudanya - perjalanan ke tempat tujuan memang lebih aman dan cepat dengan menunggang kuda yang disewakan sekaligus dituntun oleh sang kusir. Tanpa kesulitan, dia langsung duduk di pelana punggung kuda dengan entengnya. Dipacunya kuda berlari tanpa dituntun oleh kusir penyewaan kuda. Agaknya gadis manis itu memang sudah terbiasa menunggang kuda. Dalam salah satu perannya di sinetron laga Brama Kumbara, Beby Galia Putri yang berperan sebagai Mantili memang diharuskan dapat menunggang kuda.



Syafa dan Chacha masih seiring sejalan. Naik kuda juga beriringan. Tapi karena seumur-umur belum pernah naik kuda selain kuda-kudaan di Dufan, maka pagi itu juga mereka nyaris bikin stori. Kuda yang mereka tunggangi melompat karena kekangan yang kekencangan. Persis serupa kuda pacuan di arena lomba rintangan berkuda. Untung mereka dituntun oleh kusir sehingga kuda tersebut menjinak. Menurut oleh satu tepukan lembut sang kusir di kepala.



***



Bromo, 11.35 Siang



Virgo masih mengekor seperti anak ayam di belakang Beby Galia Putri. Berhenti di Horse's Camp karena dia tidak berminat menunggang kuda ke pinggir kawah. Beby Galia Putri sudah melaju di atas kuda seperti pendekar dalam sinetron laga. Selain mengekor, cowok jangkung itu hanya mengambil gambar alam Bromo yang indah sepanjang perjalanan ke pinggir kawah. Jarang bicara apa-apa. Aku mendekatinya setelah berpisah dengan Reyhan Wijaya - wartawan dari majalah remaja yang kami undang untuk meliput kegiatan tur perpisahan - dan Marvel Andromedha yang memilih tinggal di Horse's Camp di perbatasan dusun Bromo. Tidak ikut menunggang kuda seperti peserta tur lainnya.



"Pemandangannya bagus banget ya, Go." Aku buka suara setelah dia sedari tadi terdiam. Hanya asyik dengan kameranya.



"Iya, Ndra. Tapi katanya...."



"Apa?"



"Katanya, kawah Bromo ini suka memakan korban."



"Masa sih? Kok gue baru denger ya?"



"He-eh. Makanya, setiap tahun penduduk disini mengadakan upacara semacam selamatan begitu."



"Namanya apa?"



"Gue juga nggak tahu. Tapi, sesajiannya bisa berupa kepala kerbau, ya macam- macam lah. Pokoknya serem deh, Ndra?"



"Masing-masing daerah itu kan punya upacara atau ritual kepercayaan khas tersendiri, Go. Ngaben di Bali, misalnya. Atau, upacara ritual pemakaman mayat yang khas di Toraja. Nah, itu semua kan budaya bangsa kita. Jadi, hal-hal kaya’ gitu jangan dianggap takhayul.



"Tapi, sudah banyak kejadian lho, Ndra. Setiap tahun ada saja yang meninggal di kawah Bromo."



"Itu insiden, Go. Kecelakaan. Human error. Siapa saja bisa jadi korban kalau lengah dan nggak berhati-hati. Tebing curam, longsor, badai pasir, dan banyak faktor alam lain lagi yang bisa jadi penyebab jatuhnya korban.



"Tapi legenda itu...."



“Legenda juga kan bisa dibilang mitos, kepercayaan orang-orang jaman dulu. Biasanya legenda atau mitos itu nggak bisa dipikir sama logika. Tapi banyak kok, orang-orang modern jaman sekarang yang percaya lagi sama yang begituan.”



Namun Virgo tidak menggubris penjelasanku. Tetap menganggap legenda itu sebagai sesuatu yang harus dan wajib dipercaya. Kami berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Bertemu beberapa bidadari yang sudah sedari tadi tiba di pinggir puncak Bromo.



Mengabadikan gambar sebagai sepenggal kenangan.



***



Denpasar, 01.22 dini hari.



Setelah dua malam di Bromo, perjalanan dilanjutkan ke Bali. Tiba di Bali, rombongan tur langsung diboyong ke Sanur. Sudah pukul satu lebih dua puluh dua menit ketika rombongan tiba, dan menginap di salah satu hotel kecil tapi nyaman. Anak-anak sudah kelelahan. Jadi, tidak ada yang berniat kelayapan di tengah malam kecuali untuk mengisi perut di warung-warung kecil yang berseliweran di sepanjang pantai Sanur.



Aku, Virgo, Ryan, dan Rendy memilih makan di luar, warung Padang. Sementara para bidadari ada yang sudah tidak kuat jalan, lebih memilih tidur atau makan di hotel saja. Reyhan Wijaya, Marvel Andromedha, dan Andhika Kusuma (Karyawan biro travel di Bali, kenalan Marvel di Bali) masih mengurus administrasi hotel.



Sehabis mengisi perut, Virgo mengeluh sakit pada lehernya. Sampai besok pagi pun, ketika kami sudah asyik mengelilingi obyek wisata di Pulau Dewata, cowok itu masih mengeluh kesakitan.



"Aduh, kaya’nya gue disambar benda halus nih, Ndra."



"Ya ampón Go, lo aneh-aneh aja sih!"



Aku sudah tidak tahan. Virgo kelewat terobsesi dengan kisah-kisah legenda sehingga membutakan akal sehatnya. Sejak di Bromo, anak itu selalu ngomong yang nggak-nggak seputar dunia gaib.



"Mungkin hantu barong para cenayang, kali nih Ndra!" tebaknya.



"Hus, sembarangan aja lo!"



"Tapi...."



"Lo tu cuma keseleo!"



"Ta-tapi...."



"Sekali lagi lo ngomong yang nggak-nggak, disambar Leak baru tahu rasa Lo!"



Aku ngomong sekenanya. Jengkel dengan keparnoan Virgo dalam benaknya. Dia meringis. Takut dengan ancaman itu.



"Ya udahlah, Go. Mendingan lo pergi urut leher di massage daripada ke dukun!"



"Tapi...."



Aku tidak menanggapi keluhannya lagi. Lebih memilih berkumpul dengan peserta tur lainnya. Mungkin ada bahan dan ide yang dapat dijadikan tema dalam novelku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar