Chapter 3
Salah Kelas
Vespaku berhenti di depan sebuah gerbang sekolah. Di atasnya ada plang besar bertuliskan SMU Tunas Bangsa. Jadi ini sekolah baruku. Hm… lumayan besar juga. Lebih besar dari sekolah lamaku di Bandung.
Tin… tin… tin…
Suara klakson mobil seperti anjing penjaga yang menyalak galak meminta aku untuk segera enyah. Aku menoleh. Bumper sedan mewah itu hanya bebarapa centi saja dari Vespaku. Kulihat pengendaranya melambai-lambai tangan meminta aku segera enyah dari hadapan mereka.
“Huh, sombongnya!”
Traaannnnkkk… Traaaannnkkk… kumainkan gas vespaku, membiarkan buangan asap knalpotnya menyembur, menciptakan kabut tebal. Orang-orang membekap telinganya. Knalpot Vespa tahun tua memang lebih rombeng dari kaleng rombeng sekali pun. Seorang satpam memperingatkanku. Aku hanya tersenyum. Mengangguk.
Setelah puas membuat pengendara sedan mewah berteriak-teriak dongkol, aku baru angkat roda vespa dari gerbang sekolah itu. Satpam yang tadi menegurku menunjukkan tempat motor-motor diparkirkan. Hampir kebanyakan motor-motor mewah keluaran tahun muda. Vespaku jadi kelihatan seperti seorang kekek tua yang centil, karen warna merahnya cukup membuatnya jadi pusat perhatian.
“Hai!” tegur seorang cowok berperawakan kucel, memarkir motor Vespanya yang penuh airbrush, di sebelah Vespaku. “Tahun berapa?”
“Gue?”
“Motor vespa lo!”
“Oh… tahun 65,” jawabku, “Punya lo?”
“Lima tahun lebih muda dari motor lo.” Matanya seperti meneliti aku, “Anak baru ya?”
“Lho, kok tau?”
“Ya tau lah!” katanya lagi, “Cuma anak baru yang pake seragam abu-abu pas hari senin.”
Aku melihat celana panjang kotak-kotak yang dikenakannya. “Tapi bisa aja kan celana gue lagi dicuci?” elakku.
“Persoalannya, gak ada anak sekolah sini yang bawa Vespa tua selain gue.”
Aku tersenyum, “Nama gue Bayu!” kataku menyodorkan telapak tangan.
“Gue Nico.” Cowok itu menyambutnya. “Di kelas berapa?”
“Belom tau.”
“Udah di kelas gue aja!” tawarnya, “ceweknya cakep-cakep!”
Seorang cewek berambut ikal turun dari sedan mewah yang tadi kukerjai. Lho… itu kan… wah, ternyata dia sekolah di sini!
“Kalo cewek itu di kelas berapa?” tunjukku ke arah cewek cantik yang kini tampak asyik berbincang dengan kedua temannya, sebelum mereka melangkahkan kaki dan menghilang di tikungan. Kulihat sedan yang dikendarai oleh sopirnya meninggalkan pekarangan sekolah.
“Dia anak kelas I A.”
“Sekelas sama elo?”
“Nggak. Kelas gue di sebelahnya.”
“Di kelas lo ada yang lebih cantik dari dia?”
“Wah, dia mah cewek tercantik di sekolah ini!”
“Namanya?”
“Shafira Adya Mecca.”
“Oke, sampe ketemu ya!” kataku menepuk pundak Nico, sebelum melangkahkan kaki menjauhi cowok kucel itu.
“Mau ke mana?” panggil Nico.
“Ke kelas 1 A!”
Masih sempat kulihat Nico tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
Hmm… ini dia kelasnya. Sebuah papan kecil bertuliskan Kelas I A melekat di bagian atas pintu kelas itu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Rupanya penghuni kelas ini cukup rajin juga. Sudah banyak siswa yang hadir di sana.
“Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga. Aku celingukan mencari-cari cewek bernama Shafira Adya Mecca. Di mana mejanya?
Mataku berkeliling mencari bangku yang masih tersisa.
“Di pojok dekat jendela gak ada yang dudukin,” kata seorang gadis berwajah agak manis berambut agak kecoklatan sambil agak tersenyum ke arahku, menunjuk bangku di belakang tempat duduknya.
Aku tersenyum sebelum melemparkan tas di atas meja.
“Anak baru ya?”
“Kok nuduh?” Aku mengempaskan tubuh di bangku sebelah gadis yang kupikir agak tomboy itu. “Nama gue Bayu!”
“Siapa?” Tanya gadis itu.
“B-a-y-u,” ejaku, “Bayu!” ulangku menegaskan.
“Yang nanya?”
Aku tersenyum kecut. Kena deh gue… cewek yang kupikir agak tomboy itu tertawa terbahak.
“Nama lo siapa sih?” tanyaku kemudian.
“Mau ngebales nih?” masih menyisakan tawa.
Aku menggeleng. “Gue nggak pendendam kok. Apalagi sama cewek manis kayak elo!”
“Gula kaleee manis!” katanya berseloroh, “Gue Aurel!”
“Hah?” mataku membulat.
“Elo mo bilang anggota ragunan kan?!” cewek itu mengepalkan tinjunya.
“Orang Jakarta demen nuduh, ya?” kataku, “Gue cuma heran aja, masa cewek tomboy namanya Aurel. Gak cocok ah.”
“Cocoknya apa?”
“Cuplis!” ujarku, disusul tawa. Sebuah tinju ringan mendarat telak di lengan atasku.
“Tadi lo bilang anak Jakarta demen nuduh,” kata Aurel setelah tawaku mereda, “Emang elo anak mana?”
“Gue lahir di Jakarta. Tapi sejak SMP sekolah di Bandung. Abis gue hopeless sama Jakarta yang panas.”
“Terus, kenapa lo pindah ke mari?”
“Bokap gue yang maksa. Dia gak tahan jauh-jauh dari anaknya yang keren ini.”
“Huuuu! Narsis abis lo.”
Suara bel mengudara. Para siswa segera berhamburan ke kelasnya masing-masing.
“Minggir lo!” kata Aurel mengusirku dari bangku yang tengah kududuki. Seorang gadis tersenyum berdiri di belakang tubuhku. Aku segera menyingkir ke meja di belakang tempat duduk mereka.
There she is! Aku benar-benar dibuat terpana oleh gemulai langkah Shafira Adya Mecca bersama ketiga temannya.
“Awas nanti ilernya netes!”
“Hah?” aku buru-buru memeriksa ujung mulutku. Tak ada liur yang menggantung di sana. Kulihat Aurel dan teman sebangkunya terpingkal. “Huh! Nggak lucu!”
Kulihat Shafira memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapannya menyiratkan sebuah tanya. Anak mana nih nyasar ke sini? Begitu kali kalo diterjemahin ke dalam bentuk kalimat. Salah seorang temannya seperti menyadari sesuatu. Dia mencolek lengan Shafira, sebelum membisikkan sesuatu ke telinganya. Lalu ketiganya berjalan menghampiri mejaku.
“Elo kan yang waktu di bioskop…”
“Nabrak elo!” sambarku memutus kalimat Shafira.
“Mau apa lo di sini?”
“Kenalin,” Aku mengulurkan tangan, “Gue anak baru di kelas ini. Nama gue Bayu.”
Shafira tidak segera menyambut uluran tanganku. Dia seperti berpikir sesuatu, sambil memandangi diriku dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Hmm… boleh juga,” katanya sambil tersenyum ke arah kedua temannya, sebelum kembali menatapku, “Oke deh Bayu, elo udah tau kan nama gue?”
Aku mengangguk-angguk sebelum menarik tanganku kembali. Hmm… sombong juga neh anak… Aku membalas senyum ketiga cewek itu. Senyum yang menyimpan sejuta makna. Lihat aja nanti!
Seorang pria berkaca mata, berambut jarang masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening. Kayaknya guru killer nih. Aku mencolek bahu Aurel. Cewek tomboy itu menoleh takut-takut.
“Siapa?” kataku berbisik.
“Pak Bambang Wiguna.”
“Galak ya?”
“Banget!”
Baru saja Aurel selesai mengucapkan itu, sebuah spidol meluncur deras ke arahku. Untung aku pernah diajarin silat sama Kakek, jadi hup! Spidol itu berhasil aku tangkap. Tapi… Pletak! Sebuah penghapus mampir di jidatku. Aduuuuhhh… Guru killer itu tersenyum penuh kemenangan.
Aku berinisiatif mengembalikan spidol dan penghapus itu ke meja Pak Bambang.
“Ternyata kamu nggak sehebat yang Bapak bayang kan. Tapi lumayan…” Pak Bambang menepuk bahuku, “Baru kamu seorang yang bisa menangkap lemparan Bapak.”
Aku hanya meringis saja.
“Sepertinya… bapak tidak pernah melihat kamu sebelumnya?”
“Saya anak baru, Pak,” terangku, “Pindahan dari Bandung.”
Pak Bambang mempersilahkan aku duduk kembali. Bel tanda selesainya jam pelajaran Pak Bambang hampir habis, saat seorang lelaki berkemeja biru motif garis-garis menapakkan kakinya di kelas, dengan sebuah map di tangannya.
“Maaf mengganggu,” dia memohon ijin pada Pak Bambang.
“Oh, silahkan. Jam pelajaran saya sudah selesai.”
Lalu lelaki berkemeja itu menatap ke arah bangku murid. “Ada anak baru yang namanya Bayu?”
Semua mata segera menyerbu ke arahku. Aku menoleh ke belakang seolah mencari-cari sesuatu, sebelum menyadari kalau yang mereka tatap itu adalah aku. He he he…
“Saya Pak!” Aku mengacungkan telunjuk ke udara.
“Kelas kamu bukan di sini. Tapi di kelas sebelah. Kelas I B.”
“Yah, saya udah terlanjur betah di sini.”
“Waduh… gimana ya? Habis wakasek bidang kesiswaan sudah terlanjur menempatkan kamu di kelas I B.”.