Kamis, 27 Mei 2010

Amnesia (3)

Chapter 3
Ayah & Ibu


“Dek, turun di mana?”

Arjuna tersentak saat sopir di sampingnya membuyarkan lamunannya. Ternyata dia sudah sampai di Terminal Daya, jauh dari rumahnya. Terpaksa sekali dia ikut pulang lagi dengan angkot yang sama karena nggak punya uang untuk pindah angkot. Untungnya sopir angkot berbaik hati mau membawanya pulang. Dan Arjuna nggak memberi ucapan terima kasih begitu saja. Dia mencermati baik-baik wajah pak sopir, bahkan mencatat nomor plat mobil, agar saat ketemu dengan mama dan papanya nanti, dia akan datang mencari sopir itu dan membayarnya sepuluh kali lipat.

Tiba di rumah. Ayahnya yang baru pulang dari narik becak, langsung menyambutnya dengan senyum. Senyum di antara napas lelahnya yang masih sulit diatur. Ibunya sibuk menghidangkan menu makan siang di meja makan. Apalagi kalau bukan dengan tempe goreng, sayur kol, kalaupun ada ikan – pastilah ikan kukus – biar nggak banyak makan minyak goreng. Arjuna menghadapi meja makan dengan lesu. Tiba-tiba saja, menu yang selama ini membesarkannya, hambar seketika. Nggak ada selera makan.

“Kamu sakit ya, Arjuna?” tanya ayahnya.

Tentu saja bukan pertanyaan basa-basi. Ayahnya memang sangat perhatian padanya.

“Tapi kalo emang dia bukan ayahku, kok mereka tahu kenal aku sebagai Arjuna.” Batinnya. “Akh, mungkin aja, mereka mendapatkan kartu pengenal saat menemukanku, lalu mereka memberi nama yang sama dengan namaku yang sebelumnya.”

“Kalo emang belum selera, kamu istirahat aja dulu. Ibu bikinkan teh hangat ya?” ibunya nggak kalah perhatian, berucap dengan ngelus rambutnya.

Sepanjang ingatan Arjuna, ayah dan ibunya nggak pernah memarahinya. Dia pernah nyolong celengan ayam ibunya, untuk dipakai hura-hura dengan teman kelasnya. Ibunya nggak marah, dengan suara keras pun, nggak. Dia cuma diingatkan jika mencuri itu dosa. Padahal kalau mau dipikir, uang itu dikumpulkan berbulan-bulan, ditambah dengan penghasilan ayah sebagai tukang becak. Arjuna semakin yakin, kasih sayang dan ibunya yang terlalu berlebihan, bermaksud untuk menutup-nutupi sesuatu.”

“Bu, boleh Arjuna nanya sesuatu?”

Ibunya yang sudah selesai menyiapkan semua hidangan yang telah dimasaknya, mengangguk tanda setuju dengan permintaan Arjuna.

“Arjuna anak kandung ayah dan ibu kan?”

Ayahnya yang sementara serius menyuap nasi, langsung menghentikan aksinya. Kedua orang tua itu saling tatap, lalu memindahkan tatapan ke Arjuna. Arjuna menerima tatapan itu penuh selidik. Nggak salah lagi, respon kaget mendengar pertanyaannya barusan, dinilai Arjuna sesuatu yang ada apa-apanya. Ibunya bahkan belum bisa berucap.

“Kenapa ayah dan ibu, tega misahin aku dengan mama dan papaku?” Arjuna mulai nembak sasaran.

“Maksud Arjuna?”

“Ayah nggak usah pura-pura. Arjuna bukan anak kandung ayah dan ibu kan?” Arjuna berdiri dari kursinya, meski nggak ninggalin ruang makan. “Kalo ayah dan ibu mengasihi aku, melebihi mama dan papa kandungku. Mereka pasti kehilangan aku.”

“Mama dan papa kandung? Ibu jadi nggak ngerti.”

“Arjuna amnesia kan? Ayah dan ibu dapetin aku saat amnesia, lalu ngakui aku sebagai anak.”

“Kamu keterlaluan, Arjuna!” Ayahnya berucap sambil nangis. Tapi Arjuna mana percaya dengan tangisan itu. “Ayah dan ibu sudah nyayangi kamu maksimal, sepenuh hati. Tapi kamu masih meragukannya, malah menganggap kami ini bukan orangtua kandungmu.”

“Tapi kenyataannya gitu, kan? Ngaku aja, Yah! Kalo nggak, aku bisa lapor polisi karena telah menggelapkan data pribadiku. Aku punya saksi, orang yang tau jelas asal-usul orangtua kandungku!”

“Kamu silakan lapor polisi. Silakan hadirkan saksi. Ayah nggak takut!” bentak ayahnya. Inilah yang pertama kalinya Arjuna mendengar suara ayahnya sekeras itu.

Ibunya menangis sejadi-jadinya. Arjuna nggak peduli. Dia bahkan keluar dari rumah tanpa melepaskan seragam sekolahnya. Dia mau pergi menjemput Riana untuk dijadikan saksi. Bahkan saat ibunya mengejar langkahnya dan menuturkan kisah – yang menurut ibunya – kisah sebenarnya, Arjuna tetap berlalu. Menepis tangan ibunya yang berpegang di lengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar