Kamis, 27 Mei 2010

Sesejuk Embun (2)

Chapter 2
Dunia Aurel


Matahari pukul 12 lewat 15 menit menyengat garang. Aurel melap keningnya yang dihiasi manik-manik keringat dengan sapu tangannya. Kadang-kadang tangan kirinya meraba leher jenjangnya yang bermandi peluh. Hhh... Aurel menghela nafas. Kesal. Ingin sekali dia memaki sang matahari yang telah menyiksanya, tapi otaknya masih cukup waras untuk melakukan perbuatan sia-sia itu. Maka, dengan hati yang mendongkol dia cuma bisa cemberut sambil sesekali mendesah.

"Hai Aurel! Ikut yuk!." Sebuan sedan putih berjalan lambat menghampirinya. Tangan halus Syafa menjulur ke luar dari jendela mobil.

“Makasih deh, Sya.” Aurel tersenyum sambil matanya melirik kepada empat orang penumpang di mobil Syafa.

"Jangan sungkan-sungkan. Rel," celetuk Chacha, salah seorang penumpang. “Tuh,
di bagasi masih ada tempat!" Dia menunjuk ke belakang. Syafa dan tiga orang gadis lainnya tertawa mendengar kalimat itu. Aurel ikut tertawa. Tawa yang sumbang.

"Yok Rel. Dadah!” Belum selesai tawa Aurel, mobil itu melaju kencang meninggalkan butir-butir debu yang langsung terhisap oleh Aurel. Reflek, Aurel menutup hidungnya. Batinnya menangis pedih. lnikah salah satu dukanya jadi orang tak mampu? Nasib, oh ... mengapa nasib buruk itu melanda keluarganya? Mengapa dia harus dipisahkan dari gelimang kemewahan ,yang sangat dibanggakan? Mengapa di saat dia terlena dalam hura-hura bersama kelompok elitenya, badai kemiskinan itu datang? Dan, sekarang ... lihatlah, satu demi satu kawan hura-huranya menjauh. Bahkan sikap mereka begitu sinis. Oh. betapa menyakitkan kenyataan ini.

Tak sadar. layar ingatan Aurel membuka kembali pertunjukkan drama sendu.

Aurel mengulum permen mentosnya. Matanya terpaku pada adegan yang sangat menegangkan dan menyeramkan.

“Aurel“, suara mami mengusiknya. Aurel tidak menoleh, masih asyik dengan film kesayangannya.

“Aurel. sini sebentar nak." Panggil mami lagi.

“Ada apa sih. Mi?" Aurel bertanya tanpa menoleh. Di layar televisi, Kristen Stewart yang sedang memerankan tokoh Bella Swan sedang lari untuk menghindari salah satu vampire yang mau menjadikan dirinya makanan di Twilight.

“Aurel." Kali ini papi yang memanggilnya. Mau tak mau Aurel bangkit dari duduknya. Dengan papi dia tak bisa bersikap seenaknya. Lelaki yang rambutnya mulai ditumbuhi uban satu dua itu memiliki wibawa, yang dapat membuat Aurel patuh pada apa yang dikatakannya.

“Duduk di sini, Aurel,” Papi menunjuk kursi di sebelahnya ketika dilihatnya Aurel berdiri mematung saja dengan mata bertanya.

“Ada apa sih, pi?” tanya Aurel begitu pantatnya menyentuh kursi.

“Aurel, pernahkah kamu mendengar kalimat ini “kehidupan itu seperti roda yang berputar.” Adakalanya berada di atas tapi di lain waktu berada di bawah?” Papi balik bertanya seraya membakar ujung rokoknya. Aurel diam. Merasa aneh dengan pertanyaan itu. Diliriknya papi yang sedang menikmati rokoknya. Asap putih ke luar dari celah bibir papi. Bau rokok menyergap hidung Aurel.

“Aure pernah dengar, pi,” kata Aurel sembari mengibaskan tangan mengusir asap rokok yang menerpa wajahnya.

"Kamu mengerti artinya, Aurel?” tanya papi. Aurel mengangguk.

“Ngerti, pi.” Aurel mengangguk.

“Coba kamu jelaskan sama papi,” pinta papi sambil mematikan rokoknya yang masih panjang. Aurel terdiam sejenak. Papi ini kenapa sih? Pikirnya bingung. Ditatapnya mami. Wanita itu pun tengah menatapnya. Mata mereka bertemu dan mami tersenyum seperti memberi isyarat, agar dia berbicara.

“Kehidupan itu seperti roda berputar, maksudnya enggak selamanya manusia itu hidup senang,” kata Aurel akhirnya.

“Nah, kamu sudah mengerti artinya.” Papi tersenyum. “Tapi bisakah kamu menerimanya bila keadaan keluarga kita seperti roda yang berputar ke bawah?" tanya papi.

“Maksud papi?” Aurel menatap papi heran. Aneh, hari ini papi kok ngomongnya berbelit-belit? pikirnya.

“Aurel,” Mami buka suara. Perusahaan papi terlibat hutang yang tak bisa dilunasi dalam waktu satu dua tahun. Dan kita ter……,” Mami menghentikan kalimatnya. Ada butir mutiara di kedua sudut matanya. “Kita tidak punya apa-apa lagi, Aurel. Rumah ini pun harus disita.” pelan sekali suara mami.

Aurel merasa kerongkongannya terbakar. Berita ini sangat mengejutkannya. Sungguh, dia tidak menyangka hal seperti ini dapat menimpa keluarganya. Oh, rasanya dia tak mampu membayangkan seperti apa kehidupannya kelak bila kemiskinan selalu menemaninya. Selama tujuh belas tahun dia hidup berkecukupan. Bagaimana mungkin tiba-tiba saja harus hidup serba prihatin? Tidak! Rasanya dia tidak bisa menerima kenyataan ini.

“Apakah tidak ada jalan lain, Mi?” tanya Aurel kemudian. Mami menggeleng.

“Papi ...,” Aurel menatap papi, meminta kepastian.

“Hutang itu harus dilunasi, Aurel, “ Kata papi. “Jika tidak, kita harus membayar bunganya. Dan itu lebih berat lagi, karena perusahaan kita semakin jarang menerima order. Padahal karyawan-karyawan harus digaji dan kita butuh biaya untuk kebutuhan sehari-hari.”

Aurel terhenyak di kursinya. Ya, mau apa lagi kalau keadaannya sudah tidak memungkinkan?

“Kamu takut, Aurel?” Papi membelai rambut Tara.

Bibir Aurel ingin mengatakan 'tidak' tapi kepalanya mengangguk. Ya, dia memang takut sekali pada hari mendatang yang akan dikecapnya tanpa kemewahan.

“Mengapa harus takut, Aurel?" Papi bertanya. “Bukankah di dunia ini selalu ada dua sisi, susah dan senang, pahit dan manis. Dan, bila hari ini kita menerima sisi yang pahit, itu adalah hal yang wajar. Semua orang tentu pernah dan harus mengalaminya.”

“Lagi pula,” lanjut papi sambil membetulkan letak kacamatanya. “Hidup ini harus bervariasi, Jadi, apa salahnya kalau kita mencicipi bagaimana susahnya hidup dalam kemiskinan. Anggap saja peristiwa ini sebagai bumbu penyedap, agar perjalanan hidup kita, tidak monoton. Ya kan, Mi?” Papi menatap mami dengan mata melotot jenaka. “Lain kali kalau pak guru sedang mengajar, kau harus memperhatikan. Mengerti?" ujarnya dengan lagak seorang guru killer.

Wajah mami yang tadi mendung kini berubah cerah. Bibirnya mengukir senyum. Mau tak mau Aurel ikut tersenyum. Ah, papi selalu begitu. Walau sedang menghadapi kesulitan, dia masih bisa bergurau.

“Belum pulang. Aurel?”

Layar itu menutup. Aurel tersentak. Kepala mungilnya menoleh ke arah si pemilik suara yang menegurnya. Sepasang mata kelam menatapnya ramah. Aurel terpana. Ditelitinya wajah wajah tampan itu, mencoba mencari tanda-tanda kebencian disana. Sia-sia. Wajah itu tetap memancarkan keramahan dan…..Akh, mengapa baru disadarinya sekarang kalau cowok yang pernah sangat dibencinya ini ternyata begitu tampan. Lihatlah matanya yang bagus itu. Hidungnya yang mancung dan rahangnya yang kukuh. O, o….betapa mempesona.

“He, ada apa di wajahku?” Si pemilik mata kelam mengibaskan tangannya di depan wajah Aurel.

Aurel tergugu. “Oh..eh…enggak…enggak ada apa-apa…” Katanya terbata.

“Menunggu jemputan ya?”

“Aku…..,” Aurel menatap mata kelam itu. Apakah dia tidak tahu atau .. pura-pura tidak tahu? Hh, pasti dia pura-pura tidak tahu. Ya, dia pasti sama saja seperti yang lain. Dia pasti ingin mengejek keadaanku yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi aku selalu menyakiti haitnya. Tak sadar benak Aurel memutar kembali episode yang telah lewat.

Bel istirahat berdering. Cepat, Aurel maju ke depan kelas. Sementara Syafa dan Chacha dengan sigap menutup pintu kelas.

“Teman-teman,” kata Aurel, “Jangan ke luar dulu. Ada yang mau aku omongin nih.”

"Uh, soal apa sih?" kata beberapa anak cowok.

“Seminggu lagi pak Burhan, wali kelas kita akan berulang tahun. Nah, gimana kalo kita ngadain pesta kecil-kecilan untuk merayakan ultahnya?”

“Wah, asyik juga tuh. Pestanya dimana?” tanya Marvel.

“Di kelas. Setuju ‘kan?” Aurel tersenyum lega mendengar usulnya disetujui Marvel.

“Setujuuuu!!!” Koor seluruh siswa.

“Tapi….kalian harus nyumbang buat beli kado dan makanan kecil. Kalo kue tartnya biar aku dan Syafa yang beli. Oke?” Aurel menatap mata teman-temannya.

“Huuuuhhh!!” Kegaduhan seketika memenuhi seluruh ruang kelas. Protes bermunculan dari berbagai penjuru.

“Tenang! Tenang!” Aurel mengangkat kedua tangannya. “Kalo kalian nggak nyumbang, dari mana kita dapat uang buat ngadain pesta?”

“Tul! Jangan mau enaknya aja dong!” Chacha mengangguk setuju.

“Jumlah sumbangan bebas kok. Gak usah gede-gede. Yang penting ikhlas.” Syafa menimpali.

“Nah, gimana? Bersedia nyumbang kan?” Aurel bertanya lantang.

“Aku bersedia.” Helen mengacungkan telunjuknya.

“Thanks, Len….,” Aurel tersenyum manis. “Yang lain?” tanyanya sambil mengedarkan pandang ke seluruh kelas.

Kegaduhan kembali mengudara. Beberapa anak menyatakan bersedia, tapi lebih banyak yang menolak. Kelas menjadi bising.

“Teman-teman…..tenang!” Tiba-tiba Reyhan yang sejak tadi diam, berseru. Serentak semua mata memandangnya. “Menurutku,” kata Reyhan setelah tidak ada lagi anak yang berbicara. “Kita nggak usah ngadain pesta. Cukup ngasih kado aja.”

“Akh, enggak seru! Pak Burhan ‘kan guru kita yang paling baik, masa cuma dikasih kado.” Aurel memandang Reyhan, sebal.

“Memberi kado ultah ‘kan sudah menunjukkan perhatian kita. Jadi, tanpa diadakan pesta pun pak Burhan pasti sudah merasa happy. Lagian, kalo ngadain pesta kita harus nyumbang uang lebih banyak. Padahal, banyak diantara kita yang nggak mampu. Selain itu, kelas adalah tempat belajar. Bukan tempat pesta.” Dengan kalem, Reyhan memberi penjelasan.

“Yup! Aku sependapat dengan kamu, Rey!” Ujar Edo, sang ketua kelas.

“Aku juga!” Seru Aluna, murid cewek yang paling n’dut.

“Idem! Me too!” Anak-anak yang lain satu per satu menyatakan setuju.

Alhasil, semua anak menyetujui pendapat Reyhan kecuali Aurel dan ganknya. Tentu saja, Aurel jengkel bukan main. Dia merasa tidak dihargai, merasa dikalahkan oleh seorang Reyhan yang dianggapnya anak kelas bawah. Ya, Reyhan yang anak pegawai kecil, yang tidak memiliki apa-apa, telah menggagalkan rencananya. Dan, dia terpaksa mengikuti pendapat cowok miskin itu.

Itulah awalnya, awal kebenciannya pada Reyhan. Karena sejak itu, dia selalu merasa dikalahkan oleh Reyhan terutama dalam hal pelajaran. Posisinya sebagai juara kelas ketika semester ganjil semakin tersisih. Angka-angka gemilang yang diraih Reyhan, memupus harapannya untuk mempertahankan gelar juaranya. Padahal, dulu-dulu dia selalu yang paling unggul meskipun tanpa ketekunan yang luar biasa. Memang, dalam kamus hidupnya tidak ada istilah belajar 'mati-matian'. Dengan otaknya yang encer, mudah saja dia meraih nilai-nilai tertinggi. Tapi itu dulu.

Sekarang masa kejayaannya memudar. Dan dia bukannya berusaha untuk lebih giat, malah mencari-cari kesempatan untuk melemparkan rasa bencinya pada Reyhan. Kata-kata terselubung hina berulang kali dilontarkannya. Tidak itu saja, setiap gerak dan laku Reyhan dicari celanya. Lalu bersama kelompoknya dia melancarkan kan sindiran-sindiran halus tapi menusuk. Kebenciannya pada cowok sederhana itu memang melangit.

“Aurel ...”

“Eh, apa?” untuk kedua kalinya Aurel tergugu.

“Kamu melamun,” mata kelam itu menatapnya lembut. “Ada masalah ya?”

Aurel menggeleng. Merasa kikuk ditatap sedemikian rupa.

"Sudah seminggu aku enggak melihat mobilmu. Lagi sakit ya?" suara tenor itu mencoba bergurau.

"Mobil itu sudah dijual," Aurel menunduk. Pasrah. Biarlah, apa yang terjadi, terjadilah. Dia sudah siap mendengar tawa mengejek. Itu lebih baik daripada dia harus berpura-pura bahwa dia masih Aurel yang selalu kemana-mana dengan mobil mewahnya.

"Dijual? Kamu tidak bergurau kan?"

Aurel menggeleng. Matanya menerawang jauh.

"Sebenarnya, apa yang telah terjadi Aurel?" tanya Reyhan lembut. Aurel menatap wajah tampan di sampingnya itu, ragu.

"Maaf, Aurel. Kalau aku terlalu ingin tahu. Aku ..,”

"It’s okey, Her," ujar Aurel.

Saat itu, sebuah bus tingkat lewat. "Busnya sudah datang. Aku duluan ya?" kata Aurel lalu melambaikan tangan ke arah bus.

"Aku juga naik bus ini." Reyhan tersenyum. "Ayo," katanya seraya menggamit lengan Aurel. Aurel tersentak. Tak menyangka mendapat perlakuan seramah ini. Padahal, rasanya tak terhitung kata-kata pedas yang diucapkannya dulu pada Reyhan. Lalu, hati ini ... duh ,Aurel tak mengerti mengapa ada getar-getar aneh di sana?

Dan, entah kenapa hari ini Aurel sangat menikmati perjalanan pulang sekolahnya. Bus yang penuh tubuh-tubuh berpeluh terasa lapang. Lenggang. Udara yang panas terasa sejuk seperti di Puncak gunung es. Tapi, semua rasa itu lenyap, mana kala dia teringat sikapnya pada Reyhan di waktu-waktu lalu. Akh, sejuta sesal, tiba-tiba merasuki hatinya menimbulkan galau benaknya.

Berkali-kali Aurel melirik Reyhan yang duduk di sampingnya. Uf, betapa ingin dia mengucapkan sepotong kata maaf tapi ... lidahnya terasa kelu. Dan, mulutnya seperti terkunci. Hhh…. Aurel menghela nafas mencoba mengumpulkan energinya untuk membuka suara.

"Rumahmu masih jauh, Aurel?" Reyhan yang mendengar helaan nafas itu, menoleh. Menatap Aurel yang duduk resah di sampingnya. Aurel cepat mengangguk, menghindari tatapan Reyhan.

"Kamu sekarang pendiam deh!" kata Reyhan sambil terus menatap Aurel. Aurel mengangkat kepalanya, balas menatap Reyhan. Ah, pijar-pijar apakah di kelam mata itu? gumam hati Aurel. Mengapa begitu lembut? Sepertinya menyimpan sesuatu. Sesuatu yang ... ugh, kenapa pula jantung ini berdegup riuh?

"Tenggorokanmu sakit ya? “suara Reyhan terdengar lagi. "Ditanya kok diam?"

Aurel tersenyum. "Kamu baik sekali, Rey," ucapnya dengan suara rendah.

"Baik?" Reyhan mengerutkan kening." Aku kan tidak berbuat apa-apa yang bisa disebut kebaikan."

"Memang, tapi sikapmu itu menunjukkan kebaikan hatimu."

"Aku enggak ngerti maksud kamu," kata Reyhan bingung.

“Rey, apa kamu sudah lupa, betapa sadisnya aku menghinamu dulu?" tanya Aurel pelan.

"Kamu tentu ingat setiap kata yang pemah kuucapkan. Tapi, kamu enggak dendam sama aku. Sikapmu tetap ramah dan bersahabat Itulah kebaikanmu, rey. “ Aurel berhenti beberapa saat, lalu :

“Aku ingin minta maaf, Rey. Kamu mau ….,”

"Tanpa kamu minta, aku sudah maafin kok., “ potong Reyhan lembut.

"Oh, terima kasih Rey. Kamu baik banget sih!," Aurel tersenyum senang.

“Jangan terlalu memuji. Gak punya uang kecil nih." Reyhan menepuk saku bajunya.

"Uang besar juga boleh." Aurel tertawa.

"Hm, sayang, aku lagi bokek. Tapi kalau kamu mau menerima ..." Reyhan menggantungkan kalimatnya.

"Menerima apa?"

"Ini," Reyhan menunjuk dadanya. "Sepotong cinta yang lama terpendam," katanya dengan suara bergetar.

"Reyhan ..., “

"Aku nggak mau memaksamu, kok..,” tukas Reyhan getir. "Aku sadar siapa aku. Hanya seorang cowok kere yang ….. "

“Stop, Rey….." Aurel menyentuh lengan Reyhan. "Keadaan kita sama. Aku bukan lagi Aurel yang dulu. Perusahaan papi telah gulung tikar dan kami tidak punya apa-apa lagi, kecuali semangat untuk memulai hidup baru yang penuh liku."

Reyhan menggenggam jemari Aurel. "Aku enggak menyangka kalau kamu akan mengalami hal seperti itu, “ Ujarnya. “Tapi yakinlah, setiap cobaan pasti ada hikmahnya. Dan, kalau kamu ijinkan, aku ingin mengiringi langkahmu meniti hari-hari mendatang."

“Thanks, Rey. Aku bahagia mendengarnya," bisik Aurel haru. Sesuatu yang sejuk mengalir di relung hatinya. Sesejuk embun di pagi hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar