Kamis, 27 Mei 2010

Lelaki Fatamorgana (3)

Chapter 3
Pantai Harapan


“Hai.., boleh numpang tanya?” tanya seorang pemuda yang melintas di depanku, ketika aku sedang menyapu halaman depan. Kuhentikan kerjaanku, dan aku pun menoleh kearahnya.

“Ya?” jawabku akhirnya.

“Em.., apa bener ini panti asuhan yang di asuh oleh Ibu Sudibyo?” tanyanya,

“Iya. Ada apa ya?”

“Nggak.. Saya Cuma pengen ketemu beliau.”

“Oh.., ya sudah, masuk saja. Mari saya antar.” Ucapku menawarkan. Dia tersenyum manis.

“Nggak usah terima kasih. Biar saya sendiri.”

“Oh, ya sudah…”

Entah siapa pemuda itu sebenarnya, yang jelas, aku sering berpapasan dengannya saat pulang kerja. Bahkan.., disaat kami bersimpang jalan, dia menegurku dengan ramah. Seolah kami sudah kenal lama.

“Hai…!” sapanya saat aku duduk sendiri di sebuah rumah makan sederhana, di dekat lokasi kerjaku.

“Hai…” jawabku sambil meraba – raba siapa dia.

“Sendiri?”

“Iya.” Jawabku.

“Oya, gue Arjuna, lu?” ucapnya seraya menyodorkan tangannya. Aku membalasnya.

“Clara.” Jawabku singkat. Dan sesaat kemudian suasana hening.

Aku bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan swasta, di kotaku. Aktifitasku yang itu – itu saja membuatku merasa sedikit jenuh. Yach, itulah sebabnya setiap kali akhir pekan aku dan teman – temanku pergi bareng. Walaupun hanya sekedar jalan – jalan atau makan bakso kesukaanku. Tapi kali ini, aku tidak gabung dengan mereka. Aku lebih memilih untuk sendirian.

“Em………” ucap kami bebarengan. Kami tertunduk malu. Bertemu pandang dengan wajah yang tak karuan, dengan hati yang berdetak jauh lebih kencang dari biasanya.

“Btw, ngapain disini?” tanya chandra.

“Gue lagi boring aja, makannya gue kemari.”

“Oh..”

“Lu sendiri.?” Balasku bertanya.

“Gue jalan – jalan aja.”

“Oh…”

Meski baru mengenal Arjuna, tapi aku merasa telah lama mengenal nya. Dia sosok yang asyik di ajak bicara.

“Oya, lu pernah main ke Pantai Wizard?” tanyanya.

“Hah? Pantai Wizard?”

“Iya. Di Pantai itu banyak orang – orang berdatangan menuangkan keluh – kesah dan menyampaikan jutaan harapan di unek – uneknya.” Jelasnya singkat.

“Gue belum pernah kesana..”

“Kalau gitu lu mau nggak kalau gue ajak kesana?” tawarnya. Aku berpikir sejenak. Lalu tersenyum dan menganggukkan kepalaku, sebagai tanda setuju.

Aku dan Arjuna pun melaju bersama sepeda motornya menuju Pantai Wizard yang katanya begitu indah. Ah, aku jadi tak sabar ingin cepat – cepat melihat keindahannya. Di atas kendaraan, kami ngobrol – ngobrol tentang banyak hal.

“Nah, kita udah sampai Ra,” ucap Arjuna sambil menunjuk ke arah Pantai yang dimaksudnya.

“Waw….? Keren banget…!!” seruku takjub.

Pantai yang indah, seindah harapan orang – orang yang bermimpi menggapainya. Hamparan pasir putih dan gelombang arus ombak tampak begitu indah. Disisi bibir pantai masih terlihat pohon kelapa yang nyiur melambai membiaskan angin – angin ramah pada para pengunjung.

Kutarik nafas panjang, merasakan oksigen di daerah ini. Aku tak bisa menahan diri untuk segera menjeburkan kakiku menikmati pantai itu. Kulepas sepatuku, dan tanpa sepatah kata, aku langsung saja menjeburkan kakiku. Arjuna hanya tersenyum melihatku. Kubiarkan pita – pita suaraku menjerit sekuat – kuatnya melepaskan keluh dan kesal.

Setelah merasa sedikit lega, aku pun beranjak dari dinginnya air Pantai Wizard itu. Kuhampiri Arjuna yang duduk di atas hamparan pasir putih yang indah, sambil melemparkan pandangan jauh ke depan. Menikmati pemandangan indah, dengan nada – nada sumbang dari bias riakkan air Pantai.

“Ini benar – benar indah..” komentarku.

“Ya..”

“Gue seneng banget. Thank’s ya?” ucapku lagi.

“Clara, memangnya kalau boleh tau apa yang jadi harapan lu, sampai lu nekad banget menjatuhkan diri di pantai ini?” tanya Arjuna.

“Yang jadi harapan awal gue sebenarnya adalah ibu.” Jawabku.

“Ibu…??”

“Ya, semenjak gue kecil, gue nggak pernah tau siapa sosok yang telah mengandung dan melahirkan gue. Yang gue tau, hanya bu Sudibyo-lah yang merawat gue sejak kecil sampai sebesar ini.” Jawabku.

“Harapan lain?” tanyanya lagi. Aku tertunduk. Dan rasanya tak bisa kubendung lagi air mata yang mengetuk – ngetuk pelupuk mataku, dan ingin meneteskan luluh hangat itu.

“Awalnya gue pengen banget berharap untuk bisa kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasih gue. Tapi setelah ketemu lu, harapan itu kabur.” Jawabku.

“Bersandarlah di pundakku jika dirimu butuh sandaran, curahkanlah keluh – kesahmu jika dirimu butuh diary untuk melepaskan pilar – pilar pilu yang singgah di asamu.” Ucap Arjuna. Kulihat ke arah chandra. Aku bingung dan tak mengerti apa maksudnya.

Arjuna menarikku, dibiarkannya aku menyandar di pundaknya. Dibelainya helaian rambutku. Aku merasa tenang dan nyaman. Dilantunkan nya sebuah lagu kesukaan ku.

“Hora..
Arimato oni tekorando saroni…
Arimomici…”
yach, “Hira’I”, begitulah judul lagu yang di nyanyikannya. Lagu jepang yang mengisahkan harapan – harapan senja tentang hari esok seorang gadis kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar