Sabtu, 15 Mei 2010

Rokok (7)

Chapter 7
Kecanduan Rokok


"Hai, hai...." Clara menyapa para sahabatnya pada janji temu di cafe resto langganan mereka.

"Cuti atau skorsing cara halus?" Melati bertanya sambil lalu seraya memanggil pelayan agar mencatat pesanan mereka.

"Kamu kelihatan kuyu, kusam," Chacha menelaah penampilan temannya. "Kenapa sih mesti ngerokok lagi? Padahal, aku sendiri kepingin banget bisa berhenti, lho?"

Clara mengangkat bahu. Tidak bisa dipungkiri, Chacha benar. Mata dan wajahnya tidak sebening dulu. Nafas pun terasa lebih sesak, belum lagi tenggorokan yang sering gatal tiba-tiba.

Pelayan datang. Mereka memesan makanan kesukaan masing-masing. Clara kemudian menceritakan kebiasaan lamanya yang kembali dilakoni.

"You are addicted, My Friend," kata Helen, ketika caffe latte-nya datang lebih dulu. "Semua kecanduan makin lama dosisnya makin besar. You name it... ciggarette, alcohol, drugs, gambling, sex..."

"Kecanduan bisa sembuh, kan ?" Clara mencoba mencari jalan keluar dengan argumentasi yang lemah. "Toh aku pernah stop."

"Iya, tapi terus balik lagi," tampik Melati sambil sembari menyomot kentang goreng dari piringnya yang baru saja diletakkan di atas meja. "Lagian, ngapain sih pakai ngumpet-ngumpet? Pakai menghabiskan bensin bolak-balik dari kantor ke kost, lalu memasang exhaust fan segala. Ya, sudah... enjoy saja lagi!" jelasnya. "Hm... atau mungkin karena kucing-kucingan itu barangkali, kamu merasa jadi semakin suspense dan menantang, tambah nggak bisa lepas. Seperti orang selingkuhlah kira-kira. Setiap saat yang dilalui bersama menjadi amat sangat berharga dan anything will be done to have that moment...."

"Ya, benar banget tuh, Ra," tambah Helen. "Cuek saja lagi. Just be yourself-lah. Jangan sok munafik," ujarnya enteng dengan mulut mengunyah makanan.

"Kalian bisa ngomong begitu karena di sini sudah umum melihat perempuan dengan rokok di tangan. Kalau kalian di kantor butuh refreshing tinggal pergi ke daerah tangga darurat dan merokok. Just like that," Clara menjentikan jari tengah dan ibu jarinya. "There, I really am against the environment, against the rules." Clara membela diri. "Lagian, aku kan mulai lagi karena sebel sama Arjuna."

"Please, deh...." Helen mulai bete. Ia paling tidak suka sahabatnya menjadi lemah karena patah hati. "Nggak ada hubungannya antara rokok dan Arjuna. Rokok ya rokok. Arjuna ya Arjuna. Masih bagus ketahuan dari sekarang dia bohongi kamu ketimbang setelah kalian menikah!"

"Tapi... for your information, Ladies, rokok itu sudah seperti teman baik, di bawah satu level dari kalianlah. Selalu ada saat aku sebal, hampa, bosan, sakit perut, senang, excited, dan banyak lainnya deh!" Clara tetap berusaha membela diri.

Chacha menginjak Helen yang asyik dengan spaghetti-nya. "Iya, Neng. Tapi kalau sudah sampai mengganggu pekerjaan sih namanya bukan teman lagi!" sanggahnya. Piring kedua berisi kentang goreng mendarat di hadapannya. "Tell you a secret, ya? Kami ini senang banget waktu kamu berhenti merokok, dan kepingin banget bisa kayak kamu."

"Iya, bener !" helen dengan mulut penuh melanjutkan. "Memang sih level niat berhentiku paling rendah dibanding mereka berdua... tapi at least ada niatlah...."

Clara tercenung. Mereka benar. Ini pertikaian antara ego melawan tawaran menjadi lebih baik dan lebih sehat. Pergulatan antara membuat keputusan serta komitmen versus keengganannya melepas kebiasaan. Arjuna? Kalau dipikir, ditimbang, dan dirasa lagi, Arjuna sebenarnya sudah 'ke laut'. Stop, jangan, stop, jangan. Clara tak berdaya. Tetap tak ada kancing yang dapat dihitung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar