Sabtu, 29 Mei 2010

Akhir Perjalanan (1)

Chapter 1
Teman Seperjalanan


Bima berdiri memberi jalan setelah yakin gadis itu memang hendak duduk di sebelahnya. Ia sengaja mengalah, mempersilakan gadis itu duduk di dekat jendela. Setahunya, penumpang bis lebih suka duduk di dekat jendela. Sebuah tindakan awal yang diharapkan bisa menumbuhkan simpati.

Bima tersenyum lagi.

“Kok senyum-senyum sendiri?” tegur gadis itu setelah duduk dan seketika membuat Bima makin lega dan gembira. Setidaknya ia punya teman seperjalanan yang tidak hanya cantik tetapi juga ramah dan suka bicara. Bima berharap, perjalanan semalam dengan bis antar kota ini tidak membosankan seperti biasanya.

“Kok kamu nanya begitu?” Bima balik bertanya.

“Heran aja,” kata gadis itu sambil menyempurnakan posisi duduknya. “Kamu senyum-senyum terus.”

“Aku cuma merasa senang dan lega aja. Bukankah lebih enak duduk berdampingan dengan seorang cewek cantik yang enak diajak bicara daripada seorang nenek yang tidur mendengkur?”

Gadis itu tersenyum tipis. “Jangan berharap lebih.”

“Maksudmu?”

“Mungkin aku akan tidur dan mendengkur lebih keras dari dugaanmu.”

Sebuah jawaban yang bagi Bima mengisyaratkan keramahan sekaligus kecerdasan.

“Kamu ke Solo?”

“Tentu aja. Memangnya bis ini mau ke mana?”

“Bisa aja kamu turun di Pekalongan, Semarang atau ...”

“Yogyakarta. Kamu?”

“Sama.”

“Tinggal di Solo?”

“Sekolah di sana. Aku tinggal bersama tanteku yang single parent. Sebulan sekali aku kembali ke rumah. Kamu?” Hati Bima semakin gembira. Jelas, ia punya teman seperjalanan yang enak diajak bicara.

“Aku tinggal di Solo.”

“Jadi kamu pulang setelah mengunjungi Jakarta? Seorang diri, cewek secantik kamu... nggak takut?”

“Aku sudah beberapa kali melakukan perjalanan seperti ini. Ada salah seorang sepupuku yang menikah dan aku menghadiri pestanya.”

“Sendiri?”

Gadis itu tersenyum getir. “Mewakili ortu yang... biasa, sibuk!”

“Kamu cewek pemberani.”

Gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku jins-nya. Menelepon seseorang.

Ia bicara cukup keras untuk mengimbangi bisingnya terminal Pulogadung yang menerobos ke dalam bis.

“Aku udah di atas bis dan segera berangkat. Jangan lupa jemput ya.... Jam berapa? Entahlah... nanti aku telepon setelah dekat Yogyakarta.” Gadis itu menutup sebelah telinganya. “Apa? Apa? Jangan gitu, dong! Please, kamu harus jemput aku. Nanti aku telepon lagi pas berhenti makan.”

Gadis itu menyudahi pembicaraan dan sesaat terlihat kesal.

“Kakakmu yang juga sibuk?” usik Bima.

“Cowokku.”

“Ooo...”

“Dia masih marah dengan kencan kami terganggu karena aku harus berangkat ke Jakarta agak mendadak.”

“Dia pasti menyesal.”

“Kenapa?”

“Sayang kalau sampai kehilangan gadis secantik kamu.”

Gadis itu menoleh dan menatap Bima sambil mendekap mulutnya untuk menyembunyikan tawa kecilnya. “Kamu merayuku? Sudah tiga kali kamu memujiku. Kamu tipe cowok yang gampang mengobral pujian!”

“Hanya ingin jujur aja.”

“Cewekmu pasti senang menerima pujianmu.”

Bima tertawa sengau. “Kami putus dua bulan yang lalu. Sekarang aku jomblo. Coba tebak, kenapa aku putus sama pacarku?”

“Kamu selingkuh? Mengobral pujian untuk cewek lain?”

“Bukan! Semakin lama dekat dengannya aku semakin nggak bisa memujinya.”

Gadis itu mengkerutkan keningnya, pertanda ia agak sulit mengartikan ucapan Bima.

Percakapan semakin seru. Mereka telah bertukar nama. Bis antar kota itu telah meninggalkan senja Jakarta.

“Kenapa aku nggak boleh tahu nomor telponmu, Del?”

“Nggak usah, Bim. Aku udah ada yang punya dan nggak ingin menebar benih masalah.”

“Pikirmu aku ini biang masalah?” Bima menyeringai. “Cowokmu cemburuan?”

“Jujur, kamu cowok yang menyenangkan, setidaknya sebagai teman seperjalanan. Tapi aku nggak ingin kamu muncul di antara aku dan Sony.”

“Kamu takut aku akan menyaingi Sony-mu? Membuatmu bimbang?”

“Jangan takabur!” Adelia berkata sengit.

Bima tertawa puas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar