Kamis, 27 Mei 2010

Amnesia (1)

Chapter 1
Riana??


Muka kusut. Sekusut seragam sekolah yang kancing atasnya sudah lepas dari lubangnya. Rambut pun nggak rapi lagi. Apalagi hati dan pikiran, semua kusut! Arjuna yang setiap pulang sekolah, sengaja ngambil tempat paling belakang di angkot – biar bisa melepaskan hayalannya ke mana-mana – sekarang duduk di depan. Sesekali bercermin di spion samping. Meskipun kusut, ketampanan masih terpahat di wajah yang berkulit putih bersih itu.

Penampilan yang kusut kali ini, ada hubungannya dengan wajahnya yang semua orang mengakuinya cakep. Kisahnya bermula, saat Riana – siswi pindahan dari Jakarta – tiba-tiba langsung datang menyerangnya dengan genit.

“Arjuna, kamu tambah cakep aja. Masih ingat aku kan? Kok bisa ada di sini sih?”

Bukan cuma bibirnya yang menari, jari-jari lentik Riana sesekali mencubit pipi mulus Arjuna. Awalnya Arjuna menghindar, berpikir kalau Riana salah orang, salah alamat, atau bahkan sok kenal karena jatuh hati padanya yang sekali lagi – Arjuna memang cakep. Tapi semakin menghindar, Riana semakin menggila.

“Arjuna, kamu sombong banget sih? Aku ini Riana, teman kecil kamu di Jakarta dulu. Atau jangan-jangan kamu amnesia?”

Amnesia? Arjuna termenung tiba-tiba. Dia teringat pada semua yang jadi pertanyaan dalam hatinya selama ini. Wajahnya yang cakep selangit, sedikit pun nggak tercermin pada rona wajah lelaki yang selama ini dipanggilnya sebagai ayah. Apalagi pada ibunya, nggak ada sedikit pun yang mirip antara dirinya dengan wanita yang sudah semakin bungkuk karena rutinitas sehari-harinya sebagai tukang cuci.

Terlebih, kasih sayang ayah dan ibunya, melewati batas normal. Hingga duduk di bangku SMA seperti sekarang, ayahnya masih sering tidur dengannya. Uang jajan apalagi, ibunya nggak pernah berpikir dua kali untuk memenuhi permintaan Arjuna. Bahkan kalau ibunya mau beralasan susah cari uang, Arjuna sebenarnya bisa jalan kaki ke sekolah. Cuma dua kilometer, sebagai cowok, itu bukan hal yang memberatkan. Masih jauh lebih berat pekerjaan ayahnya sebagai tukang becak.

Sekarang, jawaban dari ketaknormalan itu sudah dia dapatkan. Amnesia! Bukan nggak mungkin, kecelakaan pesawat, peluru nyasar, atau mungkin jatuh dari tebing saat mendaki gunung, lalu takdir mempertemukannya dengan orang yang selama ini dipanggilnya ayah dan ibu.

Arjuna kembali menghubung-hubungkan segala sesuatu yang bisa saja terjadi. Dia teringat, sebelum jadi tukang becak, ayahnya pernah naik-turun gunung untuk mencari edelweis yang kemudian dijual. Bukan nggak mungkin, dirinya ditemukan dalam keadaan tak sadar, dan setelah siuman, dia telah lupa segala tentang dirinya.

Saat segalanya dihubung-hubungkan, pikirannya tiba-tiba menemukan fakta yang sepertinya tak terbantahkan oleh siapa pun. Usia ayah dan ibunya boleh dibilang sudah renta, sementara usia Arjuna sendiri masih delapan belas tahun. Teman-teman yang seusia dengannya, punya orangtua yang masih muda. Usia seperti ayah dan ibunya, hanyalah pantas disebut sebagai kakek-nenek. Menurut Arjuna, itu nggak masuk akal. Riana mungkin benar, dia amnesia!

Arjuna kemudian menarik kesimpulan. Ayah dan ibunya selama ini sangat menyayanginya agar dia nggak nanya asal-usulnya, atau nggak akan tega ninggalin mereka jika amnesia Arjuna udah sembuh. Tapi Arjuna mana mau. Selama ini dia udah cukup tersiksa dengan keadaan keluarganya yang serba pas-pasan. Kalaupun selalu dibekali uang jajan ke sekolah, mana bisa dia bebas menggunakan uang untuk nonton film-film baru di bioskop, apalagi noton konser. Pakaian pun, puasnya cuma beli sekali dalam dua bulan. Itu juga harus merengek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar