Chapter 5
The Other Women
Mama memang tak pernah memperlihatkn tangis ketika kejadian itu. Wanita tersayang itu cuma diam pasrah. Tetapi siapa sangka di dalam hatinya ternyata mengalir darah dan nanah yang berasal dari luka yang teramat parah?! Dan semuanya mencapai puncak ketika pada suatu malam seisi rumah dikejutkan oleh jeritan Mbok Inah. Pembantu setia itu kedapatan tengah berdiri gemetar di ambang pintu kamar. Penuh ketakutan. Juga kengerian.
Jiwa Mama memang sempat tertolong malam itu. Darah yang keluar dari urat nadi pergelangan tangannya yang teriris sempat dihentikan sebelum membuat Mama meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Tapi toh pada akhirnya sama saja. Dan kenyataan yang tersuguh kemudian tetap membimbing Melati untuk tiba pada akhir yang miris.
Tekanan batin yang dahsyat rupanya memperlihatkan hasilnya, Keseimbangan jiwa Mama terganggu!
Setiap hari Mama melewati waktu dengan pembawaan yang berubah-ubah. Kadang diam tak mau bicara. Kadang menangis, meracau tak henti, atau mengeluh tentang dirinya yang tidak dicintai lagi oleh siapa pun. Oh, setiap kali mendengar Mama mengeluh begitu, hati Melati yang sudah terluka bagai dijatuhi air cuka bertetes-tetes. Pedih. Membuatnya gagal memendam tangis. Dan itu diiringi tekad untuk melakukan apa saja yang diinginkan Mama. Termasuk di antaranya agar jangan pernah alpa menjenguk beliau setiap ada kesempatan.
Seperti sekarang!
Kecuali urusan kuliah, tak ada lagi yang bisa menghalangi kepulangannya. Tidak bujukan teman-temanya. Tidak pula seorang Marvel!
“Segitu pentingnya sampai lo nggak bisa menyempatkan diri untuk pamit sama Marvel?” Suara itu mengalun jauh. Meneteskan kekosongan yang dalam di rongga hati Melati. Dipejamkannya mata. Dibayangkannya raut wajah terkasih itu. Dan hatinya lagi-lagi menangis.
“Vel, maafkan aku! batinnya menjerit sakit. Aku tahu kamu tersiksa dengan sikapku yang tiba-tiba tak dapat kamu pahami sejak tiga bulan ini. Tapi barangkali kamu tidak tahu betapa aku pun tersiksa melihat kegigihanmu. Untuk apa semua itu, Vel? Apa gunanya kepenuhmengertianmu selama ini bila semua itu hanya akan berubah seratus delapan puluh derajat begitu tahu dari keluarga macam apa sebenarnya aku berasal! Sama seperti apa yang dilakukan Bang Reyhan, pacar Kak Aurel. Dan itu hanya karena sepotong kalimat singkat namun teramat melukai, “Mamamu gila…”
Ya, Tuhan!
Melati betul-betul naik darah mendengar penghinaan itu. Nyaris didatanginya Bang Reyhan-keparat-busuk itu. Tapi Bang Dhika, dengan kebijakan yang entah dari mana datangnya, berhasil membujuknya. Memberinya kekuatan dengan kalimat-kalimat menyejukkan. Dan Melati terpesona. Si Sulung yang dulu kocak-seenaknya dan kerap membuatnya menangis kini tampak begitu dewasa. Ucapan-ucapannya tenang. Laksana belaian angin pegunungan di pagi hari. Membangunkan kekuatan sekaligus kesadaran yang meskipun terasa pahit namun toh harus dijalaninya.
Ya, Mama memang gila!
Itu kenyataan.
Tapi ia tak akan pernah rela bila keadaan Mama dijadikan senjata untuk menoreh luka di hatinya. Terlebih lagi ia tak ingin Mama dianggap sebagai penghancur kebahagian. Karena itu diputuskannya untuk melepas Marvel. Menjauh dari cowok tercinta itu. Sebelum ia tahu segalanya. Sebelum ia mengucapkan selamat tinggal, barangkali ada baiknya bila Melati mendahului. Setidaknya itu tidak akan seberapa menyakitkan.
Egois?
Barangkali.
Tapi bukankah ada saat dimana manusia tak punya pilihan kecuali memenangkan keakuannya?
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar