Chapter 4
Datanglah Gemintangku
Aku adalah Marvel Andromedha yang lolos dari maut
Biarkan aku katakan padamu seperti apa mati itu
Mati adalah saat kau ingin melakukan sesuatu
Tapi sudah tak sempat
Mati adalah ketika kau sudah tak punya kesempatan
Sekalipun hanya untuk menyeka airmatamu
Mati adalah ketika kau bahkan tak punya kesempatan bernapas tiga bulan
Jadi apakah kau memilih menyerah
Pada sisa napasmu
Yang tinggal tiga bulan ini?
(Marvel Andromedha)
Dialog Jingga Menjelang Ajal Keysha
Lembayung di Pandewa mulai menaungi jejeran bangunan kuno dengan sinarnya yang menjingga ketika Taman Century Flower kembali menjadi saksi bisu bertautnya dua hati. Marvel melepaskan pelukannya pada bahu gadis mungil di hadapannya. Entah berapa lama ia terpaku, memeluk erat Melati yang masih menitikkan airmata haru.
Semuanya seperti mimpi! Legenda petaka cincin meteor itu telah berlalu. Serangkaian kisah getir telah mereka arungi bersama. Namun keagungan cinta mereka mengalahkan segalanya. Meski takdir seolah-olah mempermainkan mereka. Mengorbankan dua hati orang yang pernah mereka kasihi sepenuh jiwa. Keysha di satu pihak. Dan Aditya di pihak lainnya.
“Melati, aku ingin melamarmu!” Marvel berbisik, menyentuh kembali pundak mungil Melati. Suaranya terdengar pelan, gugup namun terdengar tegas.
Sontak wajah tirus itu mendongak. Seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, ia menatap dalam-dalam wajah sumringah Marvel. Ditelusurinya kedalaman sepasang mata telaga di hadapannya. Menerka-nerka gambaran yang tercetus di dalam kalimat yang terlontar barusan. Mungkin saja pemuda itu tengah mengigau akibat euforia pertemuan yang sangat membahagiakan mereka. Namun setiap menatap sepasang mata itu, ia malah mendapati kesungguhan yang berasal dari palung hati.
“Kamu mau kan, Melati?” desak Marvel pelan, menggetarkan lembut bahu gadis berambut panjaang itu.
“Kita akan bersatu. Kita akan lalui semua rintangan bersama-sama. Tidak peduli seberapa besar hambatan yang bakal menghalangi cinta kita lagi.”
Sesaat Melati tidak tahu harus berbuat apa. Ia menunduk seperti biasa. Degupan di jantungnya terdengar riuh. Keputusan yang dilesatkan oleh Marvel memang serupa mimpi. Dan ketika anak panah kalimat itu menancap tepat di hatinya, ia masih meyakinkan dirinya tengah bermimpi. Sama sekali tidak menyangka pertemuan mereka akan diawali dengan selantun permintaan indah.
“Tapi....”
“Tapi kenapa?!”
Gadis itu membisu. Kerongkongannya perih. Ada rasa sakit yang kembali mengaduk-aduk hatinya. Seraut wajah lara membayang di pelupuk matanya. Banyak hal yang belum dapat dituntaskannya hanya dengan sekali rengkuh. Aral yang membentang terlalu garang untuk ditempuh oleh tubuh rapuh seorang Melati Ananda. Menjawabi desakan pemuda itu hanya akan menambah sejumlah luka di hatinya. Mungkin terlalu dini apabila ia mengangguk. Sebab hari-hari yang menjelang belum mencetuskan sebuah asa yang pasti. Dan ia lebih memilih untuk menyimpan saja impian cintanya itu hanya dalam hati saja tanpa harus memupuknya dengan segenggam harapan.
Atmosfer sunyi di Taman Century Flower melingkupi dinding-dinding dua hati. Dari kejauhan lonceng tua di salah satu puncak menaranya bergetar pelan ditiup semilir angin. Syahdu pertemuan dua hati sekaligus menggamangkan. Melati terisak. Satu di antara seribu kenangan indah mereka berdua menguak kembali di memori kepalanya. Mungkinkah takdir akan kembali mempermainkan cinta mereka?! Mungkinkah takdir akan kembali memisahkan tautan hati mereka?!
“Kamu meragukan ketulusanku?!”
Melati menggeleng.
Tidak! Bukan karena hal itu! Kesungguhan dan ketulusan yang telah kamu berikan padaku jauh sebelum ikrar kita di bawah hujan meteor, telah membuktikan betapa besarnya cintamu padaku, Marvel! bisik Melati dalam hati.
“Melati....”
“Marvel, jangan mendesakku!”
“Tapi....”
“Aku pikir....”
“Kamu pikir apa?”
Melati menghapus airmata yang menitik di pipinya. Diuraikannya senyum simpul di bibir. Tersenyum di antara isak tangisnya.
“Kamu belum percaya....”
“Kamu mencintaiku tulus, aku tahu dan percaya itu. Tapi, aku pikir kita tidak mungkin dapat bersatu....”
Wajah tampan itu mengeras. Sontak sepasang tangannya yang sedari tadi bersandar di bahu Melati terlepas. Ia menggeleng samar.
“Takdir?!”
Melati memejamkan matanya di ujung kalimat sinis Marvel. Mungkin takdir merupakan biang masalah dalam hubungan mereka berdua seperti yang diucapkan pemuda itu barusan. Entahlah. Yang pasti ia merasa cinta mereka berdua sejak awal memang tidak direstui.
“Marvel, kamu jangan menganggap aku tidak pernah serius dengan hubungan kita ini. Aku juga punya mimpi untuk dapat bersama denganmu. Selama-lamanya. Tapi....”
“Tapi apa?”
“Hubungan kita tidak direstui. Ingat itu, Marvel. Meski Kak Tasya
(Natasya Permata-Kakak Marvel Andromedha yang tinggal di New York) merestui hubungan kita ini, tapi orangtuamu tidak! Ibumu, mungkin juga Ayahmu masih menyimpan harapan yang besar pada putranya, Marvel Andromedha, yang merupakan pewaris perusahaan besar Continue Enterprise (perusahaan terbesar di Beemart milik keluarga Marvel). Mereka lebih mengharap dan menganggap kelangsungan hidup perusahaan mereka lebih penting ketimbang memikirkan calon pendamping untuk putranya. Apalagi....”
“Cukup, Melati!” Marvel menghardik, menempelkan jari telunjuknya tepat di tengah bibir Melati.
“Aku tidak mau mendengar apa yang kamu bilang....”
“Buktinya aku memang....”
“Apapun dan dari mana asalmu, aku tetap mencintaimu!”
“Apa yang dapat mereka peroleh dari seorang 'Rumput Liar'?!”
“Aku tidak peduli semua itu! Melati, jangan menyiksaku lagi! Aku mencintaimu, dan aku tidak ingin kehilangan kamu lagi.”
“Tapi....”
“Aku tidak peduli seberapa besar Ibuku menentangmu! Aku juga tidak peduli dengan Continue Enterprise! Aku tidak peduli semua itu! Aku cuma berharap dapat bersamamu selamanya. Sebab itulah kebahagiaanku yang sesungguhnya. Jauh dari semua apa yang ditawarkan oleh Ibuku. Menjodohkan aku dengan gadis pilihannya yang sama sekali tidak aku cintai, mengatur hidupku, dan menghalangi aku mencintai gadis sebaik kamu! Ibuku terlalu egois, Melati! Tidak sedikit pun Ibuku pernah mau memikirkan kebahagiaan putranya sendiri!”
“Marvel....”
“Melati, aku ingin menebus semua kesalahanku! Aku minta maaf! Selama ini, aku telah menyakiti hatimu!”
“Ti-tidak....”
“Aditya sudah menceritakan semuanya. Rupanya banyak hal yang tanpa kusadari telah melukai hatimu. Selama ini aku telah mencampakkanmu. Aku juga....”
“Ta-tapi, aku tahu bukan maksudmu sebenarnya berbuat begitu. Marvel, ketika itu kamu memang tidak tahu, dan tanpa sadar melupakan semua hubungan yang pernah kita jalin dulu karena amnesia.”
“Tapi....”
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, meski Keysha…”
“Keysha. Keysha hanyalah sepenggal takdir yang diturunkan dari langit dalam skenario cinta kita, Melati. Aku terluka dan sakit hati ketika menghadapi dilema, harus memilih siapa. Cinta sejatiku yang berarti memilihmu, atau cinta karena jasa dan kebaikan yang berarti memilih Kaysha. Tapi tahu tidak, setiap merenung dan menanyai hati kecilku, maka yang terpikirkan hanyalah kamu seorang. Hanya kamulah cintaku, Melati!”
“Tapi....”
“Aku tidak ingin menyakiti hatimu untuk yang kedua kalinya, Melati. Aku ingin menebus semua kesalahan masa laluku terhadapmu. Itulah sebabnya aku mengikuti ajakan Keysha mengelilingi dunia untuk yang terakhir kalinya. Itu semua karena aku ingin memutuskan pilihan yang tegas, yaitu memilihmu dan hanya menganggap Keysha sebagai bagian dari perjalanan hidupku yang… selamanya akan kusimpan sebagai kenangan di hatiku. Lewat perjalanan kami berdua itulah, maka aku memiliki banyak waktu untuk mencetuskan keterusteranganku pada Keysha. Bahwa selamanya seorang Marvel Andromedha tidak pernah dapat melupakan Melati Ananda. Cinta sejatiku!” jelas Marvel, menatap gadis di hadapannya dengan wajah memelas.
“Pada waktu itu aku merasa sangat berdosa kepadamu. Bagaimana mungkin aku dapat meninggalkan cinta pertamaku di Beemart, sementara di lain pihak aku bersama-sama gadis lain melanglang dunia.”
“Ta-tapi, kamu telah melukai hati Keysha, Marvel!”
“Apakah aku harus menyalahkan takdir?! Tidak, Melati! Keysha adalah kenangan, bagian dari takdir. Sekarang dan selamanya, Melati adalah bagian dari cinta sejatiku!”
“Marvel....”
“Sudahlah, Melati!” Marvel mengibaskan tangannya pelan.
“Jangan menghancurkan harapan dan kebahagiaanku untuk dapat mencintaimu selama-lamanya!”
“Ta-tapi....”
Tak ada jawaban atas kalimatnya yang protes. Tubuh mungilnya itu tersentak ke depan oleh sepasang tangan kekar yang merengkuhnya. Pemuda itu memeluknya erat-erat. Membelai rambut panjangnya. Menyalurkan kehangatan pada bilah hatinya yang bimbang.
Dan sesungguhnya, jauh di lubuk hatinya, ia memang tidak ingin Marvel melepaskan pelukannya setelah terpisah sekian lama.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar