Sabtu, 15 Mei 2010

Kisah Cinta Yang Tak Berjudul (3)

Chapter 3
Hatiku Berdarah


"Tunangannya diundur tanggal 16 Maret nanti, Cui," katamu saat itu, ketika aku menemanimu mengambil kebaya untuk acara pertunanganmu di salah satu butik terkenal di Jakarta.

"Lho, kenapa memangnya?" tanyaku, mengerutkan kening kepura-puraan. Sungguh, sandiwara ini sangat menyakitkan! Entah mengapa hati kecilku berkata lain: sebenarnya aku lebih suka seandainya pertunanganmu dibatalkan untuk selama-lamanya!

"Pendetanya berhalangan, tidak bisa datang pada hari 'H', jadinya diundur deh."

"Memangnya, yang namanya tunangan itu harus ada Pendetanya? Kok kayak nikah saja?"

"Yah, sebenarnya tidak juga sih. Tapi, biar lebih serius dan sakral saja. Hei, rasanya malu ya kalau seandainya pertunanganku gagal dan aku tidak jadi nikah."

"Kenapa harus malu? Kalau ternyata banyak tidak cocoknya, apa masih mau diterusin? Nikah itu kan urusan pilihan hati. Dan, cinta pada dasarnya bukan rasa malu."

Sesaat aku melihat ada gurat keraguan di matamu. Lalu kamu tersenyum tak lama berselang.

"Aku yakin dengan pilihanku, Cui!"

Hatiku terkapar berdarah. Anggukan yakinmu membuat mataku membasah, berusaha kusembunyikan lewat seulas senyumku yang palsu. Entah, aku tiba-tiba menjadi orang yang paling malang di dunia!

Marvel memang bisa membawamu ke arah masa depan yang kamu impikan, Kirana. Aku tahu, setiap mimpi dan harapanmu, apa yang ingin kamu capai dalam hidup, tentulah bukan aku orang yang mampu mewujudkan itu semua! Tapi tahukah kamu, Kirana, hanya aku yang mencintaimu sedalam ini. Yang datang atas nama ketulusan! Dan, aku yakin cinta tidak pernah salah. Cinta hanya hadir pada saat yang tidak tepat!

"Kamu jahat kalau sampai tidak datang, Cui!" Kirana mengultimatum. "Aku mau orang-orang terdekat aku datang. Ini kan salah satu hari paling istimewa dalam hidup aku," demikian katamu lagi, saat kita bertemu sehari sebelum hari pertunangan.

"Maaf banget ya, Kiran, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa datang. Acaramu berbenturan sama acara keluarga aku," tolakku, menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba seperti bertopeng. "Ma-maaf...."

"Ya, sudah," napasmu menghembus berat. Aku tahu ada raut kecewa yang tak dapat kamu himpun dalam sebaris kalimat.

"Semoga kamu bahagia," kataku dalam nada terbata.

Kamu tersenyum. "Terima kasih ya, Cui."

Hatiku semakin berdarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar