Sabtu, 15 Mei 2010

Kisah Cinta Yang Tak Berjudul (4)

Chapter 4
Cinta Masa Lalu

Malamnya aku menangis. Seikhlas apapun, aku tetap merasa ada bagian dari hatiku yang terluka. Sejak saat itu aku memang sedikit demi sedikit menghindarimu, menghilang darimu. Dan kita tidak pernah bertemu lagi karena kamu pun memutuskan untuk melanjutkan studi S2-mu di Bandung, dan aku memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari teman ayahku di Amerika.

Waktu merayap dengan sangat cepat. Ia menelan sejumlah kenangan kita, Kirana. Namun aku masih terkapar dalam memori biru yang pernah kita rajut.

Sudah satu tahun kita tidak bertemu, aku baru seminggu pulang dari Amerika. Entah apa yang membawaku ke kota ini. Mungkin getar rindu masih belum sepenuhnya pudar. Hingga pada suatu Senja, Melati – sahabatmu, mengabariku di Jakarta: kamu tengah berada di Bandung. Ia memberiku secarik kertas bertulis alamatmu di sana.

"Andra, Kamu harus ketemu Kirana!"

"Untuk apa?"

"Jangan lagi tanya untuk apa. Kepergianmu yang tanpa kabar setahun lalu sudah cukup membuatnya terkapar berdarah!"

"Aku sudah melupakan masa laluku dengannya, Melati!"

"Tidak bagi Kirana. Selamanya tidak."

Dadaku serasa tersekat sesuatu yang menggumpal setelah sesaat tadi menggemuruh. Masihkah ada pijar yang berkilatan serupa unggun yang akan menyala abadi di hatinya?

"Please, temui Kirana. Aku mohon dengan sangat Andra, Enyahkan kekerdilan yang senantiasa membuatmu jadi pecundang."

Tapi sesuatu melerai niatku untuk bersua denganmu. Dan sesuatu itu adalah benang merah masa lalu kita, yang kuputuskan sepihak kala aku benar-benar terluka: Tak kukabari keberangkatanku ke Amerika padamu!

Aku tahu, kamu pasti marah!

Langit semakin kelam ketika lelampu taman sudah mulai dinyalakan. Aku masih sendiri, merajut lembar demi lembar kenangan yang sudah usang. Beberapa kenangan itu menjadi sepihan dan koyak oleh ulah kita yang tak pernah jujur mengungkap isi hati.

Aku tahu, kamu menangis dalam senyum. Kita sama-sama bersandirwara. Marvel adalah jaring yang diciptakan sebelum kamu menemukan dunia penuh bunga denganku. Ia sudah terlanjur memenjarakan kamu dalam tuntutan cinta tak berujung. Sehingga kamu mampu menepis sebaris kalimat seputih mutiara di dalam hatimu: Sesungguhnya, aku sebenarnya cinta padamu, Cui!

Di sini, aku masih sendiri. Menghukum diriku dalam sejumlah rasa bersalah. Dusta di antara kita telah menciptakan dusta-dusta lain. Apakah kamu berbahagia bersamanya?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar