Chapter 5
Akhir Sandiwara Cinta
Malam menghadirkan gelap bagai jubah hitam dalam rimba di atas Kota Bandung. Tak ada noktah gemintang seperti mata peri langit. Sementara kepungan awan tiap sebentar meniriskan gerimis, dan mengusir berpasang-pasang kaki kecil berceloteh riang pada sudut taman. Aku masih teronggok pada salah satu kenangan silam kita. Betapa banyak remah kepengecutan kita yang menabur di atas luka yang kian hari melebar di hati kita.
Jika ada penyesalan yang terdalam, maka akan kusesali ini: kenapa aku merasa berat meninggalkan taman ini, sementara kenangan kita telah semakin berdebu, dan tiap menyingkapnya maka hanya akan menyobek lembar demi lembar kenangan itu.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling taman, tak ada sesiapa kecuali sejumlah sepi yang mendendang dalam kesunyian. Ini lagu kekalahan kita, Kirana. Demikian banyaknya perbedaan yang telah memasung kita dan membentuk sekat indah pada relung hati kita.
"Cui, cepatlah menyusul aku. Kubantu mencarikan penghulu...."
Kita memang berbeda, Kirana. Jauh sangat berbeda. Keyakinan, suku, dan latar belakang yang kita dapati semenjak bayi bagai dua kutub yang berbeda. Kita mungkin dapat bersatu. Namun semuanya hanya akan menambah sejumlah rasa sakit.
Lalu, kita mulai menjadi aktor kawakan dalam teater yang kita mainkan. Sandiwara begitu sempurna. Ya, begitu sempurna sehingga babak demi babak penonton terkesima ketika kita akhiri semuanya dengan ending yang menyedihkan. Sangat menyedihkan!
"Kirana sudah bercerai!" Melati mengungkap. "Hanya setahun Kirana dapat bertahan dengan Marvel. Aku kira tak ada prahara yang merundungi keluarga mereka yang belum dikaruniai anak. Pada dasarnya, mereka memang tidak saling mencinta."
Jantungku berdegup. Melati mengabariku satu hal yang paling buruk sedunia, sekaligus kabar yang paling membahagiakan!
Astaga!
Aku menggigil dirayap keegosentrisan. Demikian tegakah aku bersukacita dan bersorak di atas kepedihan perceraian Kirana?! Aku memang lelaki keparat yang pernah dilahirkan di dunia ini.
"Kalian tidak pernah jujur."
"Banyak perbedaan di antara kami, Melati!"
"Justru perbedaan itu adalah sesuatu hal yang perlu disatukan. Bukannya...."
"Dia milik Marvel."
"Dia milik kamu, Andra! Marvel hanya orang yang beruntung karena dia hadir di dalam kesetaraan lingkungan Kirana. Berkeyakinan sama. Bersuku sama. Namun apa yang kamu lihat sekarang? Mereka hancur!"
Aku menghela napas dengan mata memerih. Kenapa cinta harus hadir pada saat yang salah?!
Aku menatap jam tanganku, sudah pukul delapan ketika gerimis sudah menirai deras. Empat jam di sini, aku hanya menjaring kenangan lapuk yang tercabik oleh dusta.
"Cui!"
Samar suara yang telah kuakrabi mengalun di gendang telingaku. Aku menoleh dan tersentak dengan denyut jantung memburu.
"Ki... Kirana..."
Ia berjalan menghampiriku. Pakaiannya basah oleh rinai hujan. Airmatanya jatuh dan membaur oleh air hujan.
"Ka-kamu baik-baik saja kan, Cui?"
Kerongkonganku tersekat oleh haru. Kenangan lama itu kembali menjerat dan membuatku tak mampu membendung tangis.
"Ak-aku baik-baik saja, Kirana...."
"Kamu tambah dewasa...."
Lidahku kelu tak mampu menggetarkan suara. Kukembangkan senyumku yang bercampur mimik tangis.
"Melati mengabariku, katanya kamu datang ke Bandung."
Aku mengangguk. Ia menatapku rindu.
"Kapan balik ke Amerika?"
Aku menggeleng. "Aku memutuskan untuk kembali saja ke Indonesia."
"Kenapa? Apa tidak ada stok gadis bule yang...."
Aku menangis. Entah, kali ini aku tidak merasa malu mengucurkan airmata di hadapannya. Sertamerta berdiri dan memeluk tubuh mungil yang kuyup oleh hujan itu.
"Aku tidak dapat melupakan kamu, Kirana! Aku cinta kamu!"
Ia turut menangis. Mempererat pelukannya di bahuku.
Kukecup bibirnya, singkat. Tangisnya memecah menjadi isak. Sandiwara telah kami akhiri. Dan berharap, biarlah waktu yang akan menyatukan cinta kami.
Akhir Sandiwara Cinta
Malam menghadirkan gelap bagai jubah hitam dalam rimba di atas Kota Bandung. Tak ada noktah gemintang seperti mata peri langit. Sementara kepungan awan tiap sebentar meniriskan gerimis, dan mengusir berpasang-pasang kaki kecil berceloteh riang pada sudut taman. Aku masih teronggok pada salah satu kenangan silam kita. Betapa banyak remah kepengecutan kita yang menabur di atas luka yang kian hari melebar di hati kita.
Jika ada penyesalan yang terdalam, maka akan kusesali ini: kenapa aku merasa berat meninggalkan taman ini, sementara kenangan kita telah semakin berdebu, dan tiap menyingkapnya maka hanya akan menyobek lembar demi lembar kenangan itu.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling taman, tak ada sesiapa kecuali sejumlah sepi yang mendendang dalam kesunyian. Ini lagu kekalahan kita, Kirana. Demikian banyaknya perbedaan yang telah memasung kita dan membentuk sekat indah pada relung hati kita.
"Cui, cepatlah menyusul aku. Kubantu mencarikan penghulu...."
Kita memang berbeda, Kirana. Jauh sangat berbeda. Keyakinan, suku, dan latar belakang yang kita dapati semenjak bayi bagai dua kutub yang berbeda. Kita mungkin dapat bersatu. Namun semuanya hanya akan menambah sejumlah rasa sakit.
Lalu, kita mulai menjadi aktor kawakan dalam teater yang kita mainkan. Sandiwara begitu sempurna. Ya, begitu sempurna sehingga babak demi babak penonton terkesima ketika kita akhiri semuanya dengan ending yang menyedihkan. Sangat menyedihkan!
"Kirana sudah bercerai!" Melati mengungkap. "Hanya setahun Kirana dapat bertahan dengan Marvel. Aku kira tak ada prahara yang merundungi keluarga mereka yang belum dikaruniai anak. Pada dasarnya, mereka memang tidak saling mencinta."
Jantungku berdegup. Melati mengabariku satu hal yang paling buruk sedunia, sekaligus kabar yang paling membahagiakan!
Astaga!
Aku menggigil dirayap keegosentrisan. Demikian tegakah aku bersukacita dan bersorak di atas kepedihan perceraian Kirana?! Aku memang lelaki keparat yang pernah dilahirkan di dunia ini.
"Kalian tidak pernah jujur."
"Banyak perbedaan di antara kami, Melati!"
"Justru perbedaan itu adalah sesuatu hal yang perlu disatukan. Bukannya...."
"Dia milik Marvel."
"Dia milik kamu, Andra! Marvel hanya orang yang beruntung karena dia hadir di dalam kesetaraan lingkungan Kirana. Berkeyakinan sama. Bersuku sama. Namun apa yang kamu lihat sekarang? Mereka hancur!"
Aku menghela napas dengan mata memerih. Kenapa cinta harus hadir pada saat yang salah?!
Aku menatap jam tanganku, sudah pukul delapan ketika gerimis sudah menirai deras. Empat jam di sini, aku hanya menjaring kenangan lapuk yang tercabik oleh dusta.
"Cui!"
Samar suara yang telah kuakrabi mengalun di gendang telingaku. Aku menoleh dan tersentak dengan denyut jantung memburu.
"Ki... Kirana..."
Ia berjalan menghampiriku. Pakaiannya basah oleh rinai hujan. Airmatanya jatuh dan membaur oleh air hujan.
"Ka-kamu baik-baik saja kan, Cui?"
Kerongkonganku tersekat oleh haru. Kenangan lama itu kembali menjerat dan membuatku tak mampu membendung tangis.
"Ak-aku baik-baik saja, Kirana...."
"Kamu tambah dewasa...."
Lidahku kelu tak mampu menggetarkan suara. Kukembangkan senyumku yang bercampur mimik tangis.
"Melati mengabariku, katanya kamu datang ke Bandung."
Aku mengangguk. Ia menatapku rindu.
"Kapan balik ke Amerika?"
Aku menggeleng. "Aku memutuskan untuk kembali saja ke Indonesia."
"Kenapa? Apa tidak ada stok gadis bule yang...."
Aku menangis. Entah, kali ini aku tidak merasa malu mengucurkan airmata di hadapannya. Sertamerta berdiri dan memeluk tubuh mungil yang kuyup oleh hujan itu.
"Aku tidak dapat melupakan kamu, Kirana! Aku cinta kamu!"
Ia turut menangis. Mempererat pelukannya di bahuku.
Kukecup bibirnya, singkat. Tangisnya memecah menjadi isak. Sandiwara telah kami akhiri. Dan berharap, biarlah waktu yang akan menyatukan cinta kami.
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar